CIA membendung Komunisme melalui Congress for Cultural Freedom (CCF)

Cipta Sajati
Suka berbagi cerita-cerita unik di balik sebuah peristiwa sejarah. Bekerja sebagai pengajar pada SMAN 52Jakarta
Konten dari Pengguna
12 Maret 2024 11:10 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cipta Sajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerja sama antara CIA dan CCF, sumber: dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerja sama antara CIA dan CCF, sumber: dokumen pribadi
ADVERTISEMENT

Pada masa Perang Dingin (1945-1990), CIA memainkan peranan begitu penting dalam kurun waktu tersebut. Tujuannya satu, membendung pengaruh komunisme di berbagai belahan dunia. Berbagai langkah dilakukan oleh CIA untuk mencapai tujuan tersebut, dimulai dari propaganda politik, bantuan ekonomi, hingga menginflitrasi dalam aspek budaya. Pada yang terakhir disebutkan, CIA membuat sebuah strategi dengan mendanai dan mengarahkan sebuah organisasi yang dikenal dengan Congress for Cultural Freedom (CCF).

Berbeda dengan perang sebelumnya yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (USSR), dalam perang dingin ini bukan lagi sebuah peperangan yang hanya mengandalkan invasi miter untuk digunakan sebagai jalan satu-satunya untuk mencapai kemenangan. Tapi terdapat berbagai jalan lain yang mana hal itulah yang justru menjadi karakteristik utama pada perang ini. Pada perang dingin ini kedua negara saling menyebarkan pengaruhnya melalui proses yang kompleks karena melibatkan berbaga pihak dan cara yang belum digunakan pada perang-perang sebelumnya. Hegemoni budaya adalah salah satu cara yang digunakan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada perang dingin ini.
ADVERTISEMENT
Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki pandangan yang sama mengenai bagaimana cara ‘memenangkan’ perang yang mereka berada didalamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Scott Kamen (2008) dalam jurnalnya Competing Visions: The CIA, the Congress for Cultural Freedomand the Non-Communist European Left, 1950-1967, Amerika Serikat dan Uni Soviet menyadari bahwa budaya memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh sosial dan politik yang nyata dan budaya dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan sosial dan/atau politik. Perbedaan budaya yang dimiliki oleh pihak barat dan timur yang cukup tajam, pada akhirnya menciptakan sebuah ungkapan yang tercipta selama Perang Dingin, yaitu Perang Dingin Budaya.
Dengan pandangan seperti itu maka Amerika Serikat dan Uni Soviet sama sama berupaya untuk mewujudkan hegemoni budaya mereka masing-masing. Untuk Amerika Serikat, salah satu upaya yang mereka lakukan adalah melalui sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Congress for Cultural Freedom (CCF).
ADVERTISEMENT

Berawal dari keresahan

Pada tahun 1948, Biro Informasi Komunis (Cominform) meningkatkan inisiatifnya dengan mensponsori berbagai komunitas internasional untuk ikut serta dalam ‘mendukung’ penyebaran komunisme. Dalam upaya tersebut diadakanlah pertemuan intelektual untuk membicarakan mengenai sebuah tantangan bagi perdamaian dunia. Dalam pertemuan tersebut intens dibahas bahwa perdamaian dunia mengalami tantangan dan terancam oleh sifat imperialistik agresif negara-negara kapitalis, seperti Amerika Serikat. Pertemuan yang diadakan atas inisiasi pihak ‘timur’ ini diadakan langsung di jantung pihak barat, yaitu di hotel Waldorf-Astoria kota New York, Amerika Serikat.
Pertemuan yang seolah menusuk jantuk pihak barat ini, mendapatkan respon dari pihak yang disebut NCL (Non-Communist Left) atau “sayap kiri anti komunis”. Sayap kiri anti komunis ini sebutan baik untuk individu maupun kelompok yang memiliki padangan progresif dan berada pada spectrum politik komunis, tapi mereka menolak segala macam bentuk prinsip yang dikemukakan oleh komunisme atau marxis-leninisme. Mereka berjuang untuk kesetaraan dan prinsip keadilan sosial yang harus diraih oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertemuan di Astoria tersebut direspon oleh para sayap kiri anti komunis ini dengan reaksi yang cukup keras. Mereka mengeluarkan pertanyaan yang bersifat mengejek kepada para delegasi Soviet yang hadir di pertemuan tersebut dengan bertanya mengenai pendapat para delegasi mengenai keterlibatan Uni Sovet sebagai sponsor dalam konferensi perdamaian tersebut. Selain itu, Sidney Hook, salah satu pihak sayap kiri anti komunis, paling keras mengemukakan pendapat mengenai World Peace Conference tersebut. Dalam sebuah pertemuan dengan para Sayap Kiri Anti Komunis lainnya, seperti yang dikutip dalam Untitled, Politics, no. 4 (1949) ia menyatakan
"Berikan saya seratus juta dolar dan seribu orang yang berdedikasi, dan saya akan menjamin untuk menciptakan gelombang ketidakpuasan demokratis di antara massa—ya, bahkan di kalangan prajurit—dari kekaisaran Stalin sendiri, sehingga semua masalahnya untuk waktu yang lama akan bersifat internal. Saya bisa menemukan orang-orangnya."
ADVERTISEMENT
Pandangan yang cukup keras dari para sayap kiri anti komunis ini berkembang dimana mereka merencanakan sebuah pertemuan yang didalamnya dibahas mengenai bagaimana cara untuk mempromosikan budaya untuk melawan hegemoni budaya totalitarian yang dianggap menggerus kebebasan budaya.
Keresahaan yang dikemukakan oleh kelompok Sayap-Kiri Anti Komunis ini nampaknya sejalan dengan kritik yang ingin dikemukakan oleh pemerintah Amerika Serikat. Mereka melihat bahwa kritik yang dilontarkan World Peace Confference ini dimaksudkan untuk menyerang dan mendegradasi budaya Amerika Serikat. Melihat fakta bahwa banyak para intelektual yang berada pada sisi mereka maka Amerika Serikat merasa perlu terlibat langsung untuk menandingi apa yang dilakukan oleh Uni Soviet.
Pada tahun 1950, maka diadakanlah pertemuan di Berlin, Jerman Barat, yang dihadiri para intelektual dari berbagai disiplin. Pertemuan yang dilaksanakan di Jerman Barat ini menjadi sebuah kegiatan penting selama periode Perang Dingin. Dari pertemuan itu akhirnya lahir lah sebuah organisasi atau gerakan yang disebut dengan Congress for Cultural Freedom (CCF).
ADVERTISEMENT
Di Berlin mereka merumuskan berbagai pandangan untuk semakin mengeksplor berbagai cara agar masyarakat tersadarkan akan bahaya pembatasan kebebasan budaya yang sedang dipromosikan oleh pihak Uni Soviet. Misi lain dari pertemuan ini adalah menekankan bahwa pemerintahan totaliter seperti Uni Soviet merupakan ancaman yang mendesak dan berbahaya terhadap tradisi kebebasan budaya-intelektual yang dihormati oleh intelektual Barat.
Dengan pengaruh pada kelompok sayap kiri-anti komunis tersebut maka CCF ditujukkan untuk memberikan pandangan yang dapat menyadarkan masyarakat mengenai bahanya totalitarian komunisme yang dianggap oleh barat sebagai jalan menuju pengekangan budaya dan intelektualitas.
Padangan kontra terhadap hegemoni budaya Uni Soviet yang ditunjukan oleh para intelektual dalam CCF, nampaknya memperlihatkan bahwa organisasi tersebut sejak pendiriannya sudah merupakan bagian dari operasi CIA yang disinyalir untuk menandingi dan menahan arus hegemoni budaya yang tengah dilakukan Uni Soviet. Meskipun sumber primer yang ada mengenai kongres pertama tersebut belum menunjukkan bukti signifikan bahwa sejak pertama kali CCF didirikan sudah terlibat langsung dengan kegiatan CIA.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi pendapat lain disampaikan oleh Michael Warner dalam jurnal yang berjudul Origins of the Congress for Cultural Freedom, 1949-50, bahwa keterangan dari berkas agency (CIA) menujukkan sejak kongres pertama tersebut CIA sudah menancapkan pengaruhnya dengan tujuan yaitu bagaimana membentuk sebuah pandangan masyarakat mengenai bagaimana komunisme memperlakukan budaya yang bersifat mengekang dan anti kebebasan. Keterlibatan CIA semakin nyata dalam CCF saat seorang agensi bernama Michael Josselson tergabung dan menjadi perwakilan utama CIA di CCF.
Pandangan mengenai bagaimana cara yang paling efektif dalam membendung pengaruh komunisme menjadi salah satu hal yang menjadi perhatian CCF. Pada awal pendiriannya, padangan CCF untuk membendung kekuatan komunisme terbagi dua. Hal ini karena terdapat dua orang berpengaruh yaitu penulis Austria Arthur Koestier and dan penulis Italia, Ignazio Silone. Dalam hemat Koestier, bahwa untuk membendung komunisme maka yang diperlukan adalah cara frontal yang tidak mengenal atau musuh. Sedangkan di sisi yang lain Silone menawarkan sebua cara
ADVERTISEMENT
Dengan cara yang lebih lembut dan halus, Silone menganjurkan Barat untuk mendorong reformasi sosial dan politik sebagai upaya untuk mengurangi daya tarik moral dan sosial yang seringkali membuat komunisme lebih menarik daripada demokrasi kapitalis di kalangan intelektual.

Pergerakan Congress for Cultural Freedom (CCF)

Berbasis di Paris, Perancis CCF memiliki kantor perwakilan di berbagai negara dan memperkerjakan ratusan orang. Selama masa operasinya CCF telah mengorganisir berbagai kegiatan yang meliputi penerbitan majalah dan jurnal, mengadakan pameran seni, mengorganisir konferensi internasional, serta memberikan dukungan dan kesempatan pertunjukan publik untuk musisi dan seniman.
Pembentukan Congress for Cultural Freedom (CCF) dianggap sebagai salah satu operasi rahasia dan strategi yang paling berani serta efektif yang digunakan oleh CIA selama periode Perang Dingin. Hal ini karena CCF mampu menjadi jembatan bagi CIA untuk mengumpulkan para intelektual hampir diseluruh dunia untuk mengonter berbagai macam pengekangan budaya dan pemikiran yang dilakukan oleh rezim totalitarian komunis.
ADVERTISEMENT
Pergerakaan utama dan yang paling terkenal dari CCF adalah saat organisasi ini menerbitkan majalah Encounter yang berbasis di London. Menurut Patrik Iber (2017) dalam sebuah artikel berjudul The Spy Who Funded Me: Revisiting the Congress for Cultural Freedom, ia menjelaskan bahwa majalah itu memiliki nuansa perkotaan dan semangat perjuangan, secara budaya menganut modernisme (walaupun modernisme kehilangan unsur subversifnya), dan memiliki kesesuaian politik dengan demokrasi sosial moderat yang dianut oleh sayap kanan Partai Buruh Inggris. Encounter menerbitkan antara lain karya-karya dari Bertrand Russell, W. H. Auden, Mary McCarthy, C. P. Snow, Nancy Mitford, dan Isaiah Berlin.
Dengan pandangan menganut pada argumen yang dikemukakan oleh Silone, maka CCF bergerak dengan lebih lembut dan halus untuk memberdayakan para intelektual agar mampu secara lebih lanjut untuk menunjukkan berbagai macam kelebihan yang ditawarkan oleh barat. Sebagaimana pergerakan mata-mata lainnya, maka keterlibatan CIA dalam CCF pun tidak terlihat secara kasat mata, bahkan hampir tidak nampak sama sekali.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperjelas dengan arahan dari Michael Josselson, perwakilan utama CIA di CCF, yang memiliki pandangan bahwa Encounter sebagai majalah utama CCF di Inggris lebih baik tidak terlibat dan terlihat langsung dalam sebuah gerakan spionase. Serta lebih ingin Encounter mengkampanyekan akan budaya barat yang ‘lebih baik’ dari budaya totalitarian Komunis. Jadi meskipun Encounter, majalah CCF, yang menjadi salah satu corong pembendung komunisme, tapi konten yang terdapat dalam majalah tersebut tidaklah bersifat radikal dan menunjukkan kemarahannya pada komunisme. Justru Encounter memilih untuk menyebarkan budaya barat agar para pembacanya menjadi kritis dan ‘memilih’ budaya barat. Salah satu artikel yang paling banyak dibicarakan berjudul "America! America!" sebuah esai satir tentang budaya Amerika Serikat yang ditulis oleh Dwight Macdonald. Artikel ini di terbitkan ulang oleh majalah CCF di Italaia, Tempo Presente.
ADVERTISEMENT
Encounter sebagai majalah utama CCF menjadi sangat terkenal dan mampu untuk menembus pembaca di perkotaan dan mencetak hampir 30.000 kopi, dan berkurang hanya sepertiganya saat skandal keterlibatan CIA dalam CCF terungkap pada tahun 1967.
Dukungan dana dari CIA untuk CCF, memberikan pergerakan organisasi tersebut menjadi lebih luas. Menurut Hugh Wilford penulis buku The MIghty Wurlitzer: How The CIA Played America, CIA menyuntikkan jutaan dolar ke CCF melalui yayasan palsu dalam beberapa tahun. CCF mengelola festival seni, menerbitkan majalah sastra, dan mengadakan konferensi di seluruh dunia. Mereka juga mendirikan afiliasi nasional di hampir 40 negara.
Pergerakan lain yang terkenal dari CCF adalah saat mereka memperkenalkan dan mempromosikan gerakan seni, terutama lukis, yang dikenal dengan Ekspresionisme Abstrak. Sebuah aliran seni yang muncul di Kota New York setelah Perang Dunia II. Ini merupakan aliran seni pertama yang lahir di Amerika dan mencapai ketenaran internasional, dan itu tidak terjadi secara kebetulan. Ekspresionisme abstrak bersifat bebas tanpa struktur, spontan, dianggap sebagai ekspresi murni dan duniawi dari insting manusia.
ADVERTISEMENT
Aliran seni ekspresionisme abstrak ini menunjukkan pada dunia, terutama pada Uni Soviet, bahwa Amerika Serikat memiliki budaya tinggi yang dapat dibanggakan dan membuktikkan anggapan Uni Soviet salah. Wilford mengemukakan bahwa Amerika Serikat mengklaim seni ekspresionisme abstrak ini adalah sesuatu yang sangat mengesankan, sulit dan tidak akan dapat diikuti oleh seniman Uni Soviet yang terjebak dalam realisme sosialis menjadi estetika budaya dominan, dan seniman tampak sangat terkendali dan teratur.
Berbagai pameran diselenggarakan CCF, dengan sponsor CIA, untuk semakin menggaungkan seni dengan aliran ekspresionisme abstrak ini. Jackson Pollock, dengan teknik percikan catnya yang terkenal, merupakan salah satu dari sedikit seniman yang karyanya dipromosikan di seluruh dunia melalui pameran yang didanai oleh CIA.
ADVERTISEMENT
Semakin besarnya gerakan CCF yang merambah berbagai aspek, namun dunia dan termasuk seniman, penulis, jurnalis, yang terlibat dalam pergerakannya tidak pernah, setidaknya menyangkal, mengetahui bahwa gerakan ini berada di bawah kendali operasi mata-mata CIA. Karena seperti gerakan spionase pada umumnya, gerakan CIA di CCF juga tidaklah nampak. Beberapa agen CIA membantu gerakan CCF dengan membantu menjalankan operasional organisasi ini dan tidak menunjukkan gelagat kaku layaknya penggambaran agen mata-mata. Maka dari itu gerakan ini dapat berlangsung hingga hampir 20 tahun lamanya, menyumbang perkembangan intelektual pemikiran di berbagai negara tanpa disadari bahwa ada CIA didalamnya. Diantara banyak orang yang terlibat di CCF, menurut Frances Saunders, penulis buku Who Paid the Piper? CIA and Cultural Cold War, bahwa ada sebagian kecil orang-orang di CCF yang menyadari bahwa gerakan mereka dikendalikan dan didanai oleh CIA. Beberapa intelektual yang dilibatkan dalam rahasia ini adalah mereka yang kemudian membawa intelektual dan seniman lainnya untuk bergabung, tetapi tanpa memberi tahu mereka kebenarannya. Lebih lanjut Saunders (2000) dalam bukunya The Cultural Cold Wae: The CIA and the world of arts and letters yang dikutip oleh Hill (2011) menyatakan bahwa setidaknya ada dua luisn tokoh penting dalam organisasi CCF yang menyadari keterlibatan CIA. Kesadaran akan keterlibatan CIA dalam CCF ini dilukiskan dengan ungkapan ‘rahasia yang amat terbuka’
ADVERTISEMENT
Hubungan CIA dan CCF akhirnya terbongkar dan menjadi santapan publik saat sebuah majalah bernama Ramparts, membongkar aktivitas mereka selama hampir 2 dekade. Ramparts memasukan kegiatan CIA dalam CCF sebagai bagian dari laporan media ini yang menjelaskan mengenai keterlibatan CIA dalam perhimpunan mahasiswa, serikat buruh, dalam organisasi dan yayasan internasional. Dengan terungkapnya dukungan CIA dalam kegiatan CCF, maka selanjutnya CCF memutuskan untuk tidak lagi menerima dana dari CIA. Pada September 1967, CCF menegaskan bahwa mereka tidak lagi menerima uang dari CIA, dan menjadikan Ford Foundation, yang sudah menjadi donor mereka sejak 1966, menjadi penyumbang dana tunggal untuk organisasi. Selain itu untuk mereka yang masih tergabung dalam CCF-karena banyak yang meninggalkan organisasi ini pasca terbongkarnya hubungan dengan CIA- memutuskan untuk mereformasi CCF menjadi International Asssociation for Cultural Freedom (IACF). Akan tetapi menurut David T. Hill mengutip Saunders, bahwa masih ada agen CIA yang bekerja di IACF, ia adalah John Hunt yang merupakan agen CIA di CCF sejak 1956, yang juga merupakan asisten Josselson, tetap bekerja di IACF sampai 1968, lalu ia diberi penghargaan oleh CIA saat pemakamannya pada tahun 1978.
ADVERTISEMENT

Jejak CCF di Indonesia

Sebagai negara yang cukup menjadi perhatian pada periode perang dingin, maka Indonesia menjadi salah satu medan pertarungan ideology antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua negara saling berebut pengaruh agar masing-masing dari mereka mampu untuk menancapkan pengaruhnya di Indonesia. CCF sebagai bagian dari upaya Amerika Serikat, melalui CIA nya, untuk menyebarkan paham liberalism dan membentuk paradigma akan buruknya pengekakangan rezim komunis, juga hadir di Indonesia. CCF bertujuan untuk menumbuhkan kaum intelektual liberal yang berorientasi Barat di Indonesia.
Jejak pertama CCF di Indonesia terlihat pada tahun 1955 saat seorang jurnalis terkemuka Indonesia Mochtar Lubis ikut hadir dalam konferensi CCF tentang Kebebasan Budaya di Asia di Rangoon pada tahun 1955. Akan tetapi setelah momen tersebut, pergerakan CCF untuk membangun hubungan yang lebih intens dengan para intelektual mengalami tantangan yang cukup hebat. Usaha mereka untuk melekat pada para intelektual Indonesia dan mencoba untuk membangun relasi yang lebih mendalam, mendapatkan kendala saat rezim Sukarno pasca 1955 menjadi lebih ‘kiri’ dari sebelumnya. Penjelasan Peter Coleman yang dikutip artikel berjudul Liminal Liberalism? Ivan Kats, the Congress for Cultural Freedom, and the Obor Foundation in Cold War Indonesia karya Giles Scott-Smith, memperlihatkan bahwa usaha awal CCF untuk membangun hubungan, relasi dan kerja sama dengan parak intelektual Indonesia mengalami kendala yang sangat berarti. Karena pada masa itu dimulai suatu era yang dikenal dengan Demokrasi Terpimpin. Pada era ini rezim Sukarno membuat CCF tidak mungkin membangun basis yang kuat dalam lingkungan politik yang tegang. Mereka yang bekerja di bidang media dan pendidikan yang mendukung Indonesia pasca-kolonial yang liberal, termasuk pers yang bebas dan peradilan independen yang melindungi warga negara dari gangguan negara, berada di penjara atau di pengasingan.
ADVERTISEMENT
Merasa perlu menyesuaikan diri dengan ‘lingkungan’ yang serba ketat tersebut maka CCF mengeluarkan sebuah strategi yang lebih senyap namun tetap berhrap tujuan utama mereka terlaksana. PAda tahun 1960 CCF mulai mengirimkan literatur terpilih ke sekitar 150 intelektual Indonesia yang berada pada garis demokratis serta ke perpustakaan universitas. Tidak hanya sampai disitu CCF juga aktif melibatkan individu dalam konferensi yang disponsori CCF di tempat lain. Salh satu tokoh intelktual lain yang tergabung dalam pergerakan CCF ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang pada tahun 1961 menerbitkan sebuah buku berjudul Indonesia di Dunia Modern melalui Kantor Urusan Asia CCF di New Delhi.
Para tahun 1966 berdiri sebuah majalah bernama Horison. Menurut Hill (2011) Pada edisi pertama majalah ini, Horison dinyatakan sebagai ‘majalah kesusastraan bulanan dala arti yang seluas-luasny’. Majalah ini dijadikan sebagai penampung para pemikir khususnya di bidang kesusastraan, di bidang budaya pada umuny, untuk memberikan gagasan dan pandangan yang mereka miliki. Majalah yang didirikan oleh Mochtar Lubis ini, setelah ia keluar dari penjara, merencanakan jalan yang akan ditempuh dengan tujuan ‘nilai-nilai kebebasan dan konstruktif’. Majalah ini didirikan dengan pembiayaan yang awalnya berasal dari para pengusaha rekan-rekan Mochtar Lubis. Akan tetapi memasuki tahun 1970an, majalah Horison mulai kekurangan dana untuk mendukung operasionalnya. Maka dari itu Mochtar Lubis mencoba peruntungan dengan menoleh pada IACF, penerus CCF, dan berhasil mendapatkan suntikan dana dari organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Meskipun majalah seperti halnya Encounter, yang merupakan bagian langsung dari CCF, Horison memiliki ‘jiwa’ yang sama dengan Encounter dalam membendung dan mengkritik komunisme. Sering kali dimuat sebuah kritik mengenai bagaimana Orde Baru memperlakukan para Komunis, tapi majalah ini sangatlah kecil kemungkinannya untuk melakukan dialog atau bertukar pandangan dengan kaum komunis. Maka dari itu setidaknya meskipun CCF nya tidak langsung mengendalikan Horison, tapi nilai dan pandangan mereka terhadap komunisme tetaplah pada jalur yang sama. Bahkan setelah tidak lagi menerima dana dari IACF Horison tetaplah menjadi majalah yang bersifat oposisi terhadap komunisme.
Dapat disimpulkan bahwa jejak CCF, yang dikendalikan CIA, tidaklah terlalu nampak di Indonesia. Hal ini karena para Intelektual Indonesia tidak membuka pintu terlalu lebar untuk mereka dapat ‘dikendalikan’ seperti halnya intelektual lain yang tergabung di CCF. Jika para intelektual lain di CCF ada dua golongan, pertama yaitu yang benar-benar tidak tahu bahwa organsasi ini mendapat dukungan dari CIA, dan kedua, ada juga yang tahu tapi menutup mata akan keadaan tersebut, maka nampaknya para intelektual Indonesia seperti Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, termasuk pada golongan yang pertama. Setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh Mochtar Lubis dalam Biografinya yang di tulis oleh David T. Hill, ia menolak dan sangat kesal jika keterlibatannya dalam CCF berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan oleh CIA. Ia berujar bahwa sebagian besar anggota organisasi itu tidak tahu dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan CIA.
ADVERTISEMENT
Melihat apa yang dilakukan oleh Mochtar Lubis setelahnya, bahkan saat ia diangkat menjadi Dewan Eksekutif IACF, sangatlah jauh dari kegiatan yang terpapar ‘spionase’. Dari apa yang diperjuangan oleh Mochtar Lubis melalui Indonesia Raya dan Horison nampaknya nilai-nilainya sangat lekat dengan kemanusiaan dan perjuangan keadilan, sesuatu yang nampaknya akan sulit dilakukan apabila ia berada pada pengaruh kepentingan suatu pihak.