Kisah Bung Hatta dengan Para Pembantunya yang Setia

Cipta Sajati
Suka berbagi cerita-cerita unik di balik sebuah peristiwa sejarah. Bekerja sebagai pengajar pada SMAN 52Jakarta
Konten dari Pengguna
2 September 2021 10:58 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cipta Sajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Hatta, Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bung Hatta, Foto: AFP

Bung Hatta, tokoh besar bangsa ini yang terkenal bukan hanya karena jasanya, tapi juga teladan perilaku yang ia tunjukkan pada kita semua. Sebut saja, jujur, bersahaja, idealis, dan visioner adalah salah satu sikap yang menjadi teladan untuk kita semua. Kisah hidupnya selalu dapat menginsipirasi banyak orang, salah satunya yaitu kisah Bung Hatta dengan para pembantunya. Berikut sedikit kisah “orang Kecil” yang dibuat 'Besar' oleh 'Tuan Besar'.

ADVERTISEMENT
Pernah suatu ketika, ada dalam pikiran saya, kenapa orang orang pada masa lalu, bisa begitu loyal bekerja (secara informal) pada seseorang sampai dengan jangka waktu yang panjang. Kalau kalian punya kakek atau nenek yang termasuk “besar” pada masa lalu, pasti punya satu pekerja yang sudah bergabung untuk bekerja pada keluarga kalian sejak kakek atau nenek kita masih muda.
ADVERTISEMENT
Setelah saya membaca beberapa referensi, mengapa seseorang dapat begitu loyal seperti itu, ternyata, ikatan antara “majikan” dengan “pembantu” tidak hanya diikat oleh kekuatan materi saja, tapi ada beberapa hal diluar materi yang ditawarkan oleh majikan tersebut, mulai dari perlakuan yang baik, menganggap saudara, sampai “derajatnya” dinaikan dengan cara tidak lagi dianggap sebagai pembantu, tapi lebih sebagai seorang rekan, yang menjadi tempat berbagi baik suka maupun duka.
Selain itu, faktor lainnya adalah, ada sebuah ikatan janji yang tidak tertulis antara orang tua majikan dengan orang tua pekerja. Semisal, kakek kita punya orang tua, nah orang tuanya yang menjadi majikan ini punya pekerja, lalu saat majikan ini meninggal, ia mengamanatkan pada pekerjanya untuk menjaga anak majikannya sepeninggal dirinya. Untuk memenuhi janji tersebut, maka saat si pekerja sudah mempunyai anak dan meninggal, maka hal yang sama akan ia lakukan, yaitu untuk menjaga anak majikannya, karena dahulu ia sudah berjanji sebelumnya. Maka janji tak tertulis ini terus terjadi sampai beberapa generasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tapi tentu saja bukan janji ini yang membuat seseorang loyal luar biasa, tapi adalah perlakuan yang manusiawi dan mensejajarkan derajat antara majikan dan pekerja, yang menjadi faktor utama seseorang “betah” untuk mengabdi.
Itu pula yang terjadi pada Bung Hatta. Tokoh Besar ini memiliki beberapa pekerja yang sangat setia mengikuti beliau pada setiap waktu. Dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan, diceritakan beberapa pekerja beliau yang ikut serta semenjak masa beliau membangun Republik ini diawal kemerdekaan.
Pertama ada sosok bernama Suyatmi Surip, Bung Hatta biasa memanggilnya Surip, keluarga yang lain memanggilnya dengan Mbah Ip, atau Ippy. Mbah Ip mulai bekerja pada Bung Hatta pada tahun 1947, saat Bung Hatta dan keluarga berada di ibukota Republik Indonesia saat itu, Yogyakarta. Mbah Ip sebelumnya bekerja pada mertua Bung Hatta, Bapak Rachim. Sebelum Mbah Ip, sudah terlebih dahulu kakaknya yang bernama Suyati bekerja pada Bung Hatta.
ADVERTISEMENT
Setelah kedaulatan diraih Indonesia, keluarga Bung Hatta pindah ke Jakarta dan menempati rumah dinas Wakil Presiden. Mbah Ip bertugas sebagai koki utama Wakil Presiden. Menurut penuturan Mbah Ip, rumah ini cukup besar untuk ditempati, dan terkenal angker. Suatu malam dirumah itu Mbah Ip kesurupan, rekan sejawat dan mertua Bung Hatta, Ibu Rachim sampai mengetahuinya. Keesokan harinya kabar ini sampai pada Bung Hatta, lalu beliau bertanya pada Mbah Ip “Ada apa Surip semalam?”. Lalu Bung Hatta memberikan nasihat agar tidak terlalu pulang malam setelah bekerja dan harus banyak berdoa kepada Tuhan. Bung Hatta paling tidak suka mendengar orang takut setan, menurutnya hantu itu tidak ada!!
Mbah Ip memanggil Bung Hatta dengan sebutan Tuan Besar. Tuan Besar menurut Mbah Ip merupakan seseorang yang sangat baik. Suatu ketika saat kumpul keluarga untuk makan malam, di sana ada Bung Hatta, Ibu Rahmi, dan ketiga anaknya, serta mertua Bung Hatta. Mbah Ip dipanggil ke dalam, lalu ditanya oleh ibu mertua Bung Hatta, “Ippy, siapa yang paling baik di antara kita semua ini”? menunjuk pada semua anggota keluarga. Dengan tegas Mbah Ip menjawab “Tuan Besar”. Semua anggota keluarga tertawa, dan anak anak bertepuk tangan. Keesokan harinya, Mbah Ip dipanggil oleh Bung Hatta, lalu diberi hadiah berupa kain sarung dan dua buah piyama. Kemungkinan ini merupakanhadiah dari Tuan Besar yang dikatakan paling baik. Perhatian Bung Hatta dan keluarga pada Mbah Ip sangat besar, seperti saat Mbah Ip akan pergi naik haji, semua ikut sibuk mempersiapkannya, dan Bung Hatta menasihati dan mendoakan Mbah Ip semoga selamat pulang pergi dan baik baik selama di Tanah Suci.
ADVERTISEMENT
Bung Hatta tidak segan segan memuji atas pekerjaan yang dilakukan oleh Mbah Ip. Sebagai juru masak, tugas utama Mbah Ip adalah menyediakan makanan untuk Tuan Besar. Suatu ketika, Mbah Ip membuatkan menu empal untuk Tuan Besar. Setelah memakannya Bung Hatta berkomentar
Menurut penuturan Mbah Ip, Bung Hatta menyukai makanan apa saja, asal tidak terlalu asin. Seperti kebiasaan yang lainnya, dalam urusan makan Bung Hatta memiliki yang sangat teratur. Diawali oleh sayuran berkuah, dilanjut dengan nasi dan lauk pauk utama, ditutup dengan buah-buahan dan minum kopi. Nampaknya kebiasaan ini sudah dilakukan Bung Hatta semenjak ia muda, seperti yang tertulis pada Memoarnya. Bung Hatta tidak pernah makan dengan berlebihan, meskipun menunya itu sangat lezat.
ADVERTISEMENT
Untuk memberi penghargaan atas dedikasi yang telah dilakukan oleh Mbah Ip kepada Bung Hatta dan keluarganya, maka pada tahun 1972, atau tepat 25 tahun Mbah Ip bekerja, dibuatkanlah sebuah surat keterangan oleh Bung Hatta untuk Mbah Surip. Surat ini terlihat sederhana, namun inilah sebagai bentuk penghargaan kepada seorang pekerja yang telah dengan setia membantu pekerjaan rumah tangga, dan pengakuan sebuah peranan yang mungkin dianggap kecil oleh sebagian orang, tapi memiliki fungsi yang cukup vital dalam kehidupan sehari-hari. Surat keterangan itu berbunyi:
ADVERTISEMENT
Perhatian yang ditunjukkan Bung Hatta kepada Suyatmi, menjadikan dirinya bukan hanya sebagai pekerja namun sudah menjadi bagian dari keluarga besar Bung Hatta. Tidak heran saat Bung Hatta meninggal 14 Maret 1980. Mbah Ip merasa sangat kehilangan. Sehari setelah Bung Hatta meninggal, Mbah Ip yang sudah terbiasa menyediakan sarapan untuk Bung Hatta, tetap melakukan tugasnya. Ia terheran melihat ruang kerja Bung Hatta yang masih semrawut, lalu ia baru tersadar bahwa Tuan Besar yang ia cintai sudah tidak ada. Mbah Ip lalu menyimpan bawaannya dan berlari lalu menangis sejadi-jadinya.
Sosok kedua yang dengan setia membantu Bung Hatta dalam mengurus pekerjaan rumah tangga, bernama Munthalib. Pak Munthalib mulai bekerja pada Bung Hatta sekitar tahun 1950, ia bertugas membantu tugas administrasi terutama sebagai pengurus perpustakaan pribadi Bung Hatta dan juga mengantarkan surat.
ADVERTISEMENT
Pak Munthalib menceritakan bahwa Bung Hatta merupakan sosok yang sangat baik. Beliau tak pernah marah, apalagi mengeluarkan kata-kata yang kasar dan menyakiti hati orang lain. Pernah suatu ketika Bung Hatta kesal pada Pak Munthalib, karena kesalahanya dalam mengantarkan surat. Dua surat diantarkan namun tertukar alamat, salah satunya diantarkan ke kedutaan Polandia. Kedutaan lalu mengembalikan surat tersebut karena isinya salah. Bung Hatta yang mengetahui ini marah kepada Pak Munthalib, tapi semarah-marahnya Bung Hatta tak pernah mengeluarkan kata makian, paling kata yang keluar hanyalah “lancang” dan setelah dua menit marahnya pun menjadi reda.
Saat Bung Hatta masih aktif menjadi Wakil Presiden, Pak Munthalib sering diajak untuk keliling daerah. Tugas Pak Munthalib adalah mengurus pakaiannya Bung Hatta. Selama berkeliling daerah, Bung Hatta sangat memperhatikan keadaan Pak Munthalib dan rombongan lain yang ikut serta. Beliau selalu menanyakan dimanakah Pak Thalib tidur, Bung Hatta tidak ingin kalau Pak Munthalib terlantar tidurnya pada saat perjalanan.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa kejadian pada saat Pak Munthalib mengantarkan Bung Hatta untuk keliling daerah, salah satunya terjadi saat kunjungan ke Aceh. Pada suatu pagi, Pak Munthalib harus segera mandi, agar siap melayani Bung Hatta yang terkenal sangat tepat waktu, namun kamar mandi yang disediakan untuk Pak Munthalib sangat jauh dari kamar tidur ia menginap, maka mau tidak mau Pak Munthalib harus mencari kamar mandi yang terdekat. Kebetulan tidak jauh dari kamar Pak Munthalib ada sebuah kamar mandi yang di depannya tertulis “Khusus untuk Wakil Presiden dan Gubernur”. Di depan kamar mandi ada seorang penjaga, yang melarang Pak Munthalib untuk menggunakan kamar mandi itu, namun setelah menjelaskan bahwa dia adalah rombongan dari Jakarta, maka penjaga itu memperbolehkan Pak Munthalib masuk ke kamar mandi.
ADVERTISEMENT
Sedang asik mandi, tiba tiba dari luar pintu kamar mandi terdengar suara Bung Hatta yang akan menggunakan kamar mandi itu, Bung Hatta bertanya pada penjaga “siapa di dalam? Bukankah ini kamar mandi untuk saya dan gubernur?”. Penjaga tadi menjadi gelagapan, ia menjelaskan bahwa yang di dalam adalah orang yang mengaku rombongan dari Jakarta. Bung Hatta bertanya “siapa orangnya?”, penjaga itu hanya bisa menjawab “entahlah, orangnya tinggi-tinggi”. Setelah penjaga itu selesai menjawab, Pak Munthalib keluar dari kamar mandi hanya dengan sarung dan singlet dan menjelaskan bahwa ia harus segera mandi agar dapat menyiapkan keperluan Bung Hatta. Melihat Pak Munthalib yang menggunakan kamar mandinya, Bung Hatta hanya bereaksi “Oh engkau Thalib”, lalu berkata pada penjaga “kalau dia, boleh mandi disini”.
ADVERTISEMENT
Selama perjalanan ke daerah, Bung Hatta sangat memperhatikan keadaan bawahannya. Sehingga Pak Munthalib dan rombongan menjadi sangat akrab, termasuk dengan Bung Hatta. Bung Hatta selalu baik pada bawahannya, selain pada Pak Munthalib, Bung Hatta juga sangat memperhatikan keadaan sopirnya yang bernama Mohammad Dali, yang telah mengabdi 20 tahun pada Bung Hatta. Pak Dali yang memiliki 12 anak yang dipenuhi semua kebutuhannya oleh Bung Hatta, termasuk membiayai semua obat-obatan dan rumah sakit ketika Pak Dali sakit. Hingga akhirnya Pak Dali meninggal dunia, Bung Hatta berada disisi Pak Dali, seolah Pak Dali menunggu Bung Hatta, untuk menghembuskan nafas terakhirnya.
Sepeninggal Pak Dali, maka sosok yang menggantikan untuk menjadi sopir Bung Hatta adalah Abdul Madjid. Pak Madjid mulai bertugas ketika ia diminta oleh sekretariat Negara untuk menjadi sopir Bung Hatta pada tahun 1977. Tugas yang diidam-idamkan oleh Pak Madjid begitu dengan senang hati ia terima.
ADVERTISEMENT
Pak Madjid mendapatkan kehormatan untuk menjadi pengemudi mobil dengan pelat nomor B-17845. Pernah suatu ketika mobil itu harus selap selip sana sini agar bisa tepat waktu sampai tujuan. Saat Bung Hatta melakukan perjalanan ke daerah Kota, Sawah Besar, Bung Hatta melihat arlojinya, ternyata lima menit dari waktu yang telah ditentukan ia harus segera minum obat dan melakukan tetes mata sebagaimana dianjurkan dokter. Untuk kebiasaan satu ini Bung Hatta sangat disiplin terhadap perintah dokter. Inilah yang membuat ia dapat melawan penyakitnya dalam waktu yang lama.
Pada tahun 1963 Bung Hatta harus mendapatkan perawatan di Swedia, karena perlengkapan kesehatan di sana lebih baik. Setelah mendapatkan perawatan di sana, Bung Hatta diperbolehkan pulang. Empat tahun kemudian Bung Hatta kembali melakukan perjalanan ke sana. Para dokter di sana tercengang dengan keadaan Bung Hatta, karena menurut para dokter dengan penyakit semacam itu Bung Hatta tidak akan bisa bertahan, namun karena kemauan yang tinggi untuk sembuh yaitu dengan menjalani hidup disiplin, maka penyakit tersebut dapat diatasi oleh Bung Hatta.
ADVERTISEMENT
Kembali pada cerita Pak Madjid. Pak Madjid bingung bagaimana caranya lima menit sampai ke Jalan Diponegoro (rumah Bung Hatta) sedangkan keadaan lalu lintas sedang padat. Pak Madjid akhirnya melakukan segala cara selap-selip sana-sini, dengan kecepatan tinggi. Tiba tiba ada seorang polisi yang melihat cara pak Madjid mengendarai mobil dan akan menghentikannya, namun setelah melihat pelat nomor B 17845, polisi tersebut langsung hormat. Bung Hatta yang duduk di kursi belakang hanya tenang saja dengan cara Pak Madjid berkendara, sambil senyum membalas hormat polisi tadi. Akhirnya waktu lima menit bisa terpenuhi, dan Bung Hatta bisa meminum obat dan melakukan tetes mata.
Perlakuan Bung Hatta pada pak Madjid sama seperti pada pada pekerjanya yang lain, selalu baik dan tidak pernah marah sampai mengeluarkan kata-kata makian. Sampai pada harinya Bung Hatta harus meninggalkan dunia ini, Pak Madjid setia berada di samping Bung Hatta, bahkan dua hari sebelum meninggal, Pak Madjid bertugas untuk menjaga Bung Hatta di rumah sakit, namun ada kebiasaan yang cukup tidak seperti biasanya, Bung Hatta yang biasanya terkenal dengan kedisiplinannya pada perintah dokter, kali ini ia terus meminta Pak Madjid untuk diantar pulang. Dua hari kemudian 14 Maret 1980, Bung Hatta meninggal dunia, Pak Madjid tersadar bahwa keinginan pulang Bung Hatta dua hari sebelumnya, bukan ingin pulang ke rumah, tapi pulang ke haribaan Allah SWT. Saat pemakaman, Pak Madjid mengemudikan B 17845 tepat dibelakang mobil Jenazah, air mata Pak Madjid bercucuran, melepas Tuan Besar yang baik hati meskipun hanya pada pegawai “kecil” seperti Pak Madjid.
ADVERTISEMENT
Bung Hatta, sang Tuan Besar selalu memperhatikan semua pekerjanya dengan sangat baik, perhatian yang ditunjukkan Bung Hatta sangatlah besar, hal inilah yang membuat para pekerjanya sangat mencintai beliau. Bahkan ia sangat tidak suka apabila anak-anaknya memperolok “orang kecil”. Seperti yang terjadi saat Bung Hatta berakhir pekan di Villanya di daerah Megamendung. Di sana terdapat seorang penjaga bernama pak Suli. Pak Suli sudah bekerja menjadi penjaga villa Bung Hatta sejak tahun 1957. Pada saat keluarga berkunjung di akhir minggu ke villa ini, salah satu sudut ruangan gelap, lalu Bung Hatta meminta anaknya Gemala untuk menyalakan lampu. Namun ternyata lampunya tidak ada, padahal baru saja diganti minggu sebelumnya oleh Ibu Rahmi. Bung Hatta lalu bertanya pada Pak Suli, “Suli dimana bohlamnya? Dimakan Kucing?”. Dengan lugunya dan saking bingungnya Pak Suli menjawab “Ya”.
ADVERTISEMENT
Keluarga Bung Hatta serentak tertawa mendengar jawaban Pak Suli, tapi tidak dengan Bung Hatta, ia cepat meminta anak-anaknya untuk stop tertawa. Lalu keluarga semuanya menahan tawa, tidak lama kemudian Meutia Hatta berkata “Lucu ya Yah”?, Bung Hatta menjawab “Ndak!”. Beliau Nampak tidak suka apabila anak-anaknya menertawakan pembantu, orang kecil, yang sudah pasti tidak memiliki kemampuan untuk membalas olok-olokan majikannya.
Pak Suli menjadi salah satu pekerja Bung Hatta yang paling setia. Meskipun Pak Suli sering melakukan hal-hal yang “unik”. Seperti saat hewan kesayangan Bung Hatta di Megamendung berupa seekor ikan bernama si Rabun mati. Pak Suli yang ketakutan pergi ke Jakarta, membawa bangkai si Rabun dan melaporkan kematiannya pada Bung Hatta. Akhirnya biaya penguburan Si Rabun menjadi mahal karena Bung Hatta harus mengganti ongkos Pak Suli pulang pergi Jakarta. Dengan perilaku yang unik, Pak Suli menjadi pekerja yang paling tahan dengan teguran Bung Hatta, namun Pak Suli selalu menerima teguran yang dilakukan Bung Hatta, karena tak pernah dengan makian serta Bung Hatta tetap menerimanya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Itulah sedikit cerita mengenai bagaimana Bung Hatta sang Tuan Besar memperlakukan orang kecil di sekitarnya. Loyalitas yang ditunjukkan para pekerjanya, tidak hanya karena materi yang diberikan, tapi lebih karena sikap Bung Hatta yang memandang semua orang sama, sederajat dan harus diperlakukan dengan baik. Para pekerja Bung Hatta tidak hanya hubungan antara majikan dan pembantu, tapi sudah menjadi keluarga. Satu lagi teladan dari sang Tuan Besar, Bung Hatta.