Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Korupsi: Warisan yang Akan Selalu Ada
24 Agustus 2021 12:01 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Cipta Sajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Vonis 12 tahun penjara yang dijatuhkan hakim pengadilan tipikor terhadap terpidana kasus korupsi Bantuan Sosial Juliari Batubara tengah hangat menjadi sorotan masyarakat. Selain karena hukumannya yang dirasa tidak adil karena melihat apa yang telah dilakukan Juliari, namun masyarakat juga seolah terhenyak dengan pertimbangan Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis dalam mengeluarkan vonis yang ‘hanya’ 12 tahun tersebut. Ia mengatakan bahwa pertimbangan yang meringankan vonis Juiari menjadi hanya 12 tahun dikarenakan “terdakwa sudah cukup menderita dengan dicerca, dimaki dam dihina oleh masyarakat”. Mendengar pernyataan tersebut siapa pun yang mempunyai nurani dalam hati kecilnya pasti akan bereaksi. Namun, putusan sudah diambil, Juliari akan segera menjalani masa hukumannya, dengan kemungkinan dipotong masa tahanan dan remisi, kita masyarakat, ya kembali pada aktivitas masing-masing menunggu lagi berita lain yang lebih besar, yang akan membuat lupa dengan ‘drama’ yang memuakkan itu.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kita tidak akan membahas lebih lanjut ‘drama’ di atas, kali ini mari kita sejenak merenungkan kembali, kenapa korupsi ini tak pernah padam, selalu ada, dan bahkan muncul dengan setting drama yang hampir sama. Berikut coba kami paparkan beberapa hal yang mungkin bisa menjadi alternatif perspektif dalam melihat bagaimana korupsi dapat muncul terus menerus.
Dalam hemat kami, saat berbicara korupsi maka tidak bisa tidak, kita akan menghubungkannya dengan perilaku. Maka saat kita menghubungkannya dengan perilaku, di situ ada sebuah unsur pewarisan yang “diajarkan” oleh generasi sebelumnya. Apakah proses “pengajaran” perilaku seperti ini didapatkan secara langsung dan terencana, sehingga perilaku seperti ini, seolah memang harus dimiliki? Ataukah proses “pengajaran” perilaku ini direpresentasikan melalui keadaan situasional yang tanpa disadari mengarahkan pada perilaku tersebut?
ADVERTISEMENT
Syahdan, untuk menjawab pertanyaan apakah perilaku ini memang harus dimiliki? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Pendidikan sebagai salah satu perwujudan kebutuhan manusia untuk menerapkan nilai dan norma yang telah berlaku di masyarakat sebelumnya, sudah barang tentu tidak akan mengarahkan kepada sebuah perilaku yang jelas keluar dari nilai dan norma yang telah terbentuk dan juga dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Lalu pertanyaan apakah perilaku ini muncul karena keadaan situasional yang tanpa disadari mengarahkan pada perilaku tersebut? Maka jawabannya cukup jelas, ya! Perilaku korupsi muncul bukan “diajarkan” secara sengaja dan diharapkan, tapi melalui proses “pengajaran” yang secara tidak sengaja akibat dari pada situasi yang dimunculkan oleh generasi yang sedang berada pada panggung penguasa.
ADVERTISEMENT
Sejak kapankah perilaku korupsi “diajarkan” secara tidak sengaja-dalam beberapa periode adakalanya perilaku ini disengaja oleh generasi yang sedang berada pada panggung penguasa? Mari kita rekonstruksi.
Ada sebuah oral story pada masyarakat kita apabila mencoba untuk mencari akar perilaku korupsi. Oral story tersebut akan mengarahkan akar perilaku korupsi pada masa kolonialisme yang dilakukan Belanda atas bangsa kita. Apakah oral story tersebut pantas ditampik, atau justru ada benarnya?. Apabila kita merunut pada apa yang telah dilakukan oleh kolonialisme Belanda (VOC 1602-1799 atau Pemerintah Kolonial 1816-1942),maka tidaklah terlalu berlebihan apabila akar perilaku korupsi menyemai pada periode ini.
Pada masa Kolonial Belanda, peristiwa yang akhirnya ter-blow up dan menjadi peristiwa paling terkenal akan korupsi pada masa pemerintah kolonial adalah peristiwa Lebak tahun 1850-an, yang melibatkan Bupati Lebak PA Kartanegara dengan Edward Douwess Dekker. Peristiwa ini kemudian ditulis di dalam novel yang sangat terkenal berjudul Max Havellar yang ditulis Multatuli yang tak lain adalah Edward Douwess Dekker aktor utama yang ikut terlibat dalam peristiwa ini.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini sendiri berkisah mengenai Bupati Lebak yang menerima berbagai macam upeti dari warga desa. Hal ini menurut Douwess Dekker adalah suatu pungutan yang tidak sah, namun sang Bupati merasa tidak bersalah karena ia dibesarkan di lingkungan yang melegalkan cara-cara seperti ini. Akhirnya justru Pemerintah Kolonial membiarkan Bupati Banten, Kartanegara tetap bertahan, dan malah memindahkan Douwess Dekker ke tempat lain. Terjadi pergulatan luar biasa dalam diri Douwess Dekker, karena dengan pemindahan dia dari Lebak, bukan berarti akan terjadi perubahan signifikan pada sistem yang koruptif ini, justru ia akan dilempar ke tempat yang sama saja. Dengan penuh kesadaran akhirnya Douwess Dekker memilih mundur dari jabatannya sebagai asisten residen dan memilih hidup melarat di Belgia sambil menulis novelnya yang dahsyat “Max Havelaar”.
ADVERTISEMENT
Maka disinilah terlihat bahwa Belanda membiarkan praktik ini terjadi, dan seolah bahwa hal tersebut wajar untuk dilakukan, karena mereka punya tujuan agar kekuasaannya-yang bersifat indirect rule dan upaya mereka meraup keuntungan sumber daya daerah ini tetap terjaga, dengan posisi Bupati yang dapat menguntungkan pihaknya.
Sartono Kartodirdjo berpendapat bahwa karakteristik birokrasi pada dewasa ini, apabila ditilik lebih mendalam dan komprehensif, tidak dapat dipungkiri bahwa merupakan pewarisan dari karakteristik sistem birokrasi kolonial yang bersifat dualistis, yang memilki arti semi-feodal dan legal rasional.
Meskipun pendapat Sartono Kartodirdjo tersebut bukan melihat pada sistem birokrasi Indonesia pada dewasa ini-periode orde reformasi-namun kami melihat bahwa apa yang diungkapkan oleh Sartono Kartodirdjo masih sangat relevan dengan sistem birokrasi kita saat ini. Meskipun pada periode sekarang telah banyak mengalami dalam perubahan tata birokrasi, Indonesia masih sangat kental terhadap sifat semi-feodalistis yang sama karakternya dengan pada masa pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, saat seseorang ingin memiliki jabatan akan tetapi dia tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk meraih dengan jalan yang seharusnya, maka akan melakukan ‘pendekatan’ kepada atasannya dengan cara-cara yang disenangi atasannya, seperti melakukan proses penghambaan dengan bersikap diluar batas kewajaran atau memberikan hadiah yang dapat menyenangkan hati sang atasan. Atau contoh lain meskipun telah dilaksanakan Pilkada secara langsung dengan sifatnya yang sangat terbuka bagi siapa pun untuk dapat mencalonkan diri, namun tetap pada akhirnya yang dapat mencalonkan dan memenangkan pertarungan adalah individu-individu yang “direstui” bukan oleh kekuatan rakyat dengan kedaulatannya, namun oleh kekuatan yang lebih besar terutama partai politik yang karakternya sangat jauh dari representasi kedaulatan rakyat.
Partai Politik akan sekuat tenaga memenangkan calon dengan asal dengan syarat yang mutlak harus dipenuhi, yaitu mahar atau kata lainnya uang jaminan kepada partai agar dengan nama besar partai mampu memobilisasi massa untuk mendukung seorang calon.
ADVERTISEMENT
Apakah karakter tersebut telah berubah dari karakteristik yang diwariskan pemerintah kolonial? Tentu saja tidak. Pada masa kolonial, Camat yang ingin tetap menjadi Camat atau seseorang yang ingin menjadi Camat, maka diharuskan memberikan suatu jaminan uang kepada sang Bupati sebelum pemilihan dengan tujuan agar terpilih menjadi Camat, dan setelah terpilih, untuk melanggengkan kekuasaan sang Camat. Selain itu pemerintah Kolonial Belanda akan menjamin kedudukan seorang penguasa-misalkan bupati, agar dapat terus dapat berkuasa dan menjadi penguasa tunggal atas daerahnya, dengan syarat, para bupati tersebut memberikan keleluasaan pada pemerintah kolonial agar dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya yang ada di daerah tersebut.
Terdapat suatu karakteristik yang apabila kita hubungkan sebenarnya sama saja dan tidak berubah, yang berubah hanyalah kemasan luar dari tata birokrasi yang terlihat modern, namun dari segi praktik nyata sekali bahwa tidak ada yang berubah dari karakteristik yang diwariskan pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
Setelah membahas mengenai sistem birokrasi Indonesia dengan ciri memiliki sifat semi-feodalistis yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial. Sekarang bagaimana sifat tersebut dapat menjadikan perilaku korupsi terus berkembang di masyarakat kita?. Dalam sistem birokrasi yang bersifat seperti tersebut, maka korupsi akan menjadi suatu yang sangat jelas terlihat dan menjadi perilaku yang seolah lumrah untuk dilakukan.
Sistem yang bersifat semi-feodalistis tersebut kepemimpinan akan sangat bersifat otoritarian, maka apabila bersifat tersebut, pemimpin memiliki segala kuasa untuk menentukan arah subjek yang dipimpinnya. Maka dari itu, subjek yang berada di bawah kepemimpinan yang bersifat otoritarian ini apabila ingin berada pada keadaan yang ‘aman’, harus untuk melakukan proses penghambaan kepada sang pemimpin.
Proses penghambaan ini mengharuskan individu mencari sumber daya untuk ‘menyenangkan’ sang pemimpin, dari mana sumber daya tersebut, maka perilaku koruptif lah yang ditunjukkan, dimulai dari mengelabui laporan keuangan, atau memeras pihak yang lebih lemah dari padanya. Sang pemimpin agar tetap berkuasa, dan melanggengkan sistem otoritariannya ini maka haruslah mencari sumber daya untuk menunjang keinginannya ini. Dalam proses pencarian sumber daya inilah maka korupsi adalah salah satu jalan yang harus ditempuh, dimulai dari menggunakan kekuasaannya untuk bekerja sama dengan pemilik modal yang ingin menggarap daerah yang terlarang, meminta hadiah dari bawahan, atau menggelembungkan anggaran yang direncanakan.
ADVERTISEMENT
Sistem birokrasi yang semi-feodalistis dilanggengkan sejak dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga sampai saat ini. Alasan yang cukup dapat menjelaskan hal tersebut terjadi adalah, karena dengan sistem semi-feodalistis ini maka ada pihak yang kepentingannya terpenuhi, siapa mereka? Apabila pada masa pemerintah kolonial, jelas yang kepentingannya yang terpenuhi adalah pemerintah kolonial Belanda.
Mereka memerlukan suatu sistem yang dapat memungkinkan mereka dapat meraih keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa ini, sehingga mereka menggunakan perantara pemimpin rakyat, mereka mempergunakan penguasa rakyat karena Belanda tahu bahwa di masyarakat Indonesia yang bersifat feodal akan menganggap semua hasil kerjanya bahkan keluarganya adalah milik sang penguasa. Maka di satu sisi Belanda memerlukan pemimpin rakyat untuk meraup keuntungan dari rakyat-yang sulit apabila diambil secara langsung oleh Belanda untuk diserahkan pada Belanda, disisi lain penguasa membutuhkan Belanda untuk melegitimasi mereka sebagai satu-satunya penguasa rakyat, dari sistem seperti ini maka praktik korupsi tak terelakkan lagi.
ADVERTISEMENT
Memasuki periode jauh setelah pemerintah kolonial berakhir dan berganti era yang termasuk di dalamnya periode orde reformasi, maka yang diuntungkan adalah para kapitalis yang memerlukan sumber daya milik rakyat, dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang tidak berubah secara sepenuhnya dari sistem feodal, maka akan sama seperti pada masa kolonial, memberikan sumber dayanya untuk penguasa, perbedaannya adalah apabila masa kolonial, rakyat menganggap penguasa adalah segalanya, kalau sekarang rakyat dikelabui dengan iming-iming kesejahteraan yang luar biasa apabila sumber daya diserahkan pada penguasa.
Penjelasan di atas kiranya cukup untuk menjelaskan bahwa situasi lah yang pada akhirnya menimbulkan perilaku korupsi yang akut. Pemerintahan kolonial yang bertahan dalam waktu yang lama, memiliki cukup waktu untuk menjadikan sistem seperti ini menjadi melembaga, maka tidak heran meskipun Belanda telah jauh pergi dari bangsa ini, karena telah melembaganya sistem seperti yang mereka wariskan, perilaku korupsi seolah “diajarkan” secara tidak disadari kepada generasi ke generasi.
ADVERTISEMENT
Apakah semua salah Kolonialis Belanda?
Akar perilaku korupsi yang telah dijelaskan di atas, maka terdapat suatu kesimpulan, bahwa karakteristik dari pada sistem birokrasi kolonial yang masih terdapat pada sistem birokrasi kita saat ini yang menyebabkan kita sekarang tidak bisa terlepas dari perilaku koruptif karena sistem birokrasi yang masih semi-feodalistis. Namun pertanyaannya, apakah kita hanya bisa menyalahkan Belanda atas ‘warisan’ yang telah mereka berikan pada kita? Ataukah justru kita lah yang ingin menggunakan ‘warisan’ itu semaksimal mungkin?
Bung Hatta dalam tulisannya dalam majalah Daulat Rakyat No. 85 tanggal 20-1-1934 berjudul “Di atas Segala Lapangan Tanah air, Aku Hidup Aku gembira” mengutip seorang filsuf bernama Herbert Spencer mengatakan,
ADVERTISEMENT
Syahdan, apabila kita melihat rujukan penjelasan di atas, maka dalam diri seorang manusia ada sebuah keinginan mempertahankan keadaan yang sama seperti sebelumnya. Apa sebab sehingga masyarakat memiliki keinginan seperti tersebut, maka di sini akan terarah pada suatu yang disebut dengan needs atau kebutuhan yang mendesak dari pada jiwa alami manusia. Pemenuhan kebutuhan ini membutuhkan sesuatu yang disebut dengan sumber daya (resources). Maka dalam konteks seperti yang diutarakan Bung Hatta berdasarkan pendapat Spencer di atas, maka kebutuhan manusia akan pemenuhan kebutuhan yang bersumber dari sumber daya tersebut, membuat seseorang tidak ingin terlepas dari kondisi lama yang di mana hal tersebut sangat menguntungkan bagi pemenuhan kebutuhan.
Kondisi atau kebiasaan lama yang diperlihatkan oleh sistem kolonial yang mempertahankan sistem feodalistis, secara tidak langsung dirasakan dapat memenuhi kebutuhan manusia, terutama bagi orang-orang yang berada pada lingkungan tersebut. Dengan kondisi yang menguntungkan tersebut, maka ada sebuah usaha untuk mempertahankan kondisi agar sistem yang diberlakukan tetap dapat memenuhi kebutuhan. Pihak yang bertanggung jawab di dalam usaha mempertahankan sistem birokrasi seperti ini adalah mereka yang secara langsung memiliki kepentingan di sana. Sehingga meskipun perubahan sosial telah terjadi di masyarakat, untuk tetap mempertahankan posisi mereka mendapatkan keuntungan, maka secara tidak langsung mereka ‘mengajarkan’ pada penerusnya untuk berada pada lingkaran ini. Perubahan akan sangat bergantung pada proses ini.
ADVERTISEMENT
Perbedaan kepentingan antara masyarakat pada masa kolonial dengan masyarakat dewasa ini dalam mempertahankan sistem semi feodalistis terdapat pada tujuan pencapaiannya. Pada masa kolonial orang-orang yang berada di lingkungan semi feodalistis, mempertahankan karena dengan tujuan jelas yaitu mempertahankan kekuasaan tak terbatas pada rakyat, namun pada masa dewasa ini usaha mempertahankan bertujuan bukan untuk meraih kekuasaan tak terbatas pada rakyat, tapi untuk meraup keuntungan dari sumber daya dan menjalin hubungan dengan para pemodal yang dapat sangat menguntungkan, intinya adalah masyarakat dewasa ini tujuannya adalah kekayaan.
Maka sudah cukup terang lah, ada sebuah usaha mempertahankan kebiasaan dan sistem lama karena ada kepentingan di sini, Belanda memang turut andil dalam mewariskan sistem dan kebiasaan seperti ini semi feodalistis namun mereka nampaknya bukan menjadi faktor utama kenapa kebiasaan dan sistem seperti ini dapat terinternalisasi dalam kehidupan birokrasi kita, karena ternyata ada usaha dari beberapa pihak yang disebut Spencer bersifat kuno, untuk mempertahankan sistem yang diwarisi Belanda, karena mereka sadar bahwa sistem seperti ini sangat menguntungkan,dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka sebagai manusia.
ADVERTISEMENT