Gaduh di Keraton Kasepuhan, Secara Tradisi Putera Mahkota Jadi Pewaris Takhta

Konten Media Partner
15 Agustus 2020 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Putera Mahkota, PRA Luqman Zulkaedin dan istrinya. (Instagram)
zoom-in-whitePerbesar
Putera Mahkota, PRA Luqman Zulkaedin dan istrinya. (Instagram)
ADVERTISEMENT
Ciremaitoday.com, Cirebon - Keluarga Besar Keraton Kasepuhan Cirebon menanggapi polemik kekuasaan yang terjadi sepeninggal Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat yang wafat pada 22 Juli 2020. Kisruh kekuasaan disesalkan keluarga besar Keraton Kasepuhan karena terjadi saat suasana masih berkabung.
ADVERTISEMENT
Mengenai berkembangnya polemik tentang takhta Kesultanan, Keraton Kasepuhan hingga kini masih berpegang pada ketentuan berdasarkan adat tradisi turun temurun yang berlaku di Keraton Kasepuhan.
Tradisi tersebut sebagaimana telah dilaksanakan pada masa jumeneng Almarhum Sultan Sepuh XIV dan para Sultan sebelumnya, yakni pengganti Sultan harus putra Sultan (laki-laki) dan sebelumnya telah ditetapkan sebagai Putera Mahkota. Untuk diketahui Putera Mahkota Sultan XIV adalah PRA Luqman Zulkaedin.
Perwakilan keluarga Kasepuhan Cirebon Muhammad Akbar mengatakan, pandangan dan pendapat mengenai takhta kesultanan di Keraton Kasepuhan, adalah hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan pikirannya sebagaimana dijamin oleh Undang-undang, namun sampai saat pihaknya belum menerima secara langsung masukan, baik berupa usulan, pendapat ataupun pandangan dari pihak-pihak terkait.
ADVERTISEMENT
"Mungkin ada di antara kerabat keturunan Kesultanan Cirebon yang merasa lebih berhak atas takhta kesultanan, hal itu seyogyanya haruslah didukung dengan dasar pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun aspek legal formal serta didasarkan pada kesesuaian dengan adat dan tradisi, serta dasar hukum yang jelas," ujarnya.
Menurutnya, fokus keluarga besar Keraton Kasepuhan adalah memikirkan keberlangsungan tata kelola Keraton sebagai institusi pelestarian adat tradisi dan syiar Islam sesuai petatah petitih Sunan Gunung Jati "Ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin " hingga ke masa depan.
"Kami hanya ingin memperkuat silaturahmi diantara famili yang diharapkan semakin guyub, rukun dan damai, daripada berselisih tentang masa lalu yang hanya akan melanggengkan perpecahan diantara kerabat kesultanan Cirebon, apalagi tanpa dasar argumentasi dan hukum yang jelas," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, para leluhur dengan segala kelebihannya juga adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan. Ia pun meminta, hal ini menjadi teladan untuk segala kebaikan keluhuran budi.
"Sejarah menjelaskan riwayat perjalanan bangsa, manusia sepanjang waktu, ada kisah kejayaan, kemenangan, dan ada pula peristiwa tragis yang memilukan," jelasnya.
"Hal yang terjadi di masa lalu, yang kita sendiri tidak mengalami dan menyaksikannya, apalagi dari sumber-sumber yang kebenarannya masih dipertanyakan. Bukanlah untuk dipergunjingkan, dipertentangkan, apalagi bahan propaganda politik kepentingan, cukuplah untuk diambil pelajaran dan diperoleh hikmah. Jika itu benar-benar terjadi, untuk tidak terjadi lagi di masa kini dan yg akan datang," pungkasnya.