Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Gedung Linggarjati: Saksi Bisu Kemerdekaan Indonesia yang Awalnya Hanya Gubuk
13 Agustus 2020 9:28 WIB
ADVERTISEMENT
Ciremaitoday.com, Kuningan - Momentum HUT RI ke-75 akan diperingati seluruh warga bangsa Indonesia pada Senin (17/8/2020). Kemerdekaan Indonesia dari penjajah tidak lepas dari sejumlah tempat bersejarah.
ADVERTISEMENT
Salah satu paling populer adalah Gedung Perundingan Linggarjati di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan. Gedung bersejarah yang dikelilingi hamparan taman tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh dan terawat.
Namun mungkin hanya sedikit yang tahu, bahwa sejarah gedung tersebut mulanya sebuah rumah gubuk. Bahkan sempat beberapa kali dijadikan hotel oleh 3 negara yaitu Belanda, Jepang dan Indonesia.
Tak sampai di situ, bangunan tersebut sempat pula dijadikan sebuah Sekolah Dasar (SD) selama 25 tahun. Semenjak itu bangunan tak lagi dijadikan hotel maupun sekolah, namun dialihfungsikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai museum sejarah.
Pengelola Gedung Perundingan Linggarjati, Sukardi (57), menceritakan, Rabu (12/8/2020), sejarah gedung sebelum dijadikan tempat perundingan pada mulanya sudah berdiri rumah gubuk. Kemudian direnovasi hingga menjadi bangunan permanen.
ADVERTISEMENT
“Kalau sejarah gedungnya, sebelum dijadikan tempat perundingan itu di sini sudah berdiri sebuah rumah gubuk milik Ibu Jasitem pada tahun 1918. Kemudian beliau (Jasitem) menikah dengan Tuan Tersana, nah setelah menikah baru dibangun semi permanen,” terangnya.
Pada tahun 1930, lanjutnya, pemilik bangunan rumah tersebut hendak pulang ke Belanda. Akhirnya bangunan rumah semi permanen dijual kepada warga asal Belanda bernama Van Os.
“Nah oleh Tuan Van Os dibangun seperti sekarang ini, dan menjadi tempat tinggal selama 5 tahun. Pada tahun 1935, bangunan ini dikontrakan kepada Tuan Theo Huitker seorang pengusaha dari Belanda,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, saat dikontrak oleh Huitker, bangunan dijadikan sebuah hotel tempat peristirahatan orang belanda dengan sebutan Hotel Rustoord hingga tahun 1942. Saat tahun 1942, Jepang mulai menjajah bangsa Indonesia dan bangunan diambil alih oleh pemerintahan Jepang.
“Setelah itu dijadikan hotel diganti dengan nama Hotel Hokay Ryokan. Sedangkan setelah proklamasi kemerdekaan diambil alih oleh RI dijadikan Hotel Merdeka, kemudian pada 1946 dipakai menjadi tempat perundingan sebagai penyelesaian perselisihan antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda, melalui diplomasi atau yang disebut Perundingan Linggarjati,” bebernya.
ADVERTISEMENT
Tak sampai di situ, kata Sukardi, bangunan kembali diambil alih oleh pemerintah Belanda untuk dijadikan markas tentara Belanda sejak Agresi Militer ke-II tahun 1948-1950. Setelah penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia, bangunan ini kosong tidak kembali dijadikan hotel.
“Namun dijadikan Sekolah Dasar selama 25 tahun sejak tahun 1950-1975. Nah saat tahun 1975, ada rencana akan dipugar oleh Pertamina, tapi Pertamina hanya sampai pemindahan sekolah dasar karena menimbulkan pro dan kontra," jelas Sukardi yang telah bertugas mengelola Gedung Perundingan Linggarjati selama hampir 31 tahun.
"Akhirnya bangunan ini dijadikan sebagai museum, maka oleh pemerintah pusat diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bagian museum kepurbakalaan pada saat itu. Agar dapat direnovasi dan dijadikan museum bersejarah, sehingga pada tahun 1976 resmi dijadikan museum Gedung Naskah Perundingan Linggarjati,” ungkapnya menambahkan.
ADVERTISEMENT
Sekadar diketahui, Perundingan Linggarjati berlangsung pada 11-13 November 1946. Pemerintah Indonesia diwakili Perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan Pemerintah Kerajaan Belanda diwakili Dr Van Boer dan yang menjadi pihak penengah Lord Killearn perwakilan dari Kerajaan Inggris.
Perundingan itu menghasilkan naskah perjanjian Linggarjati terdiri dari 17 Pasal. Lalu ditandatangani di Jakarta pada 25 Maret 1945.