Konten Media Partner

Nasionalisasi Aset PT KAI dari Perusahaan Belanda Selesai Tahun 2003

30 September 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kereta Api di Stasiun Cirebon Kejaksan.(Juan)
zoom-in-whitePerbesar
Kereta Api di Stasiun Cirebon Kejaksan.(Juan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ciremaitoday.com, Cirebon – Proses nasionalisasi aset PT KAI dari perusahaan Belanda selesai di tahun 2003 lalu. Karena, di tahun 2003 seluruh utang yang dibebankan pemerintah Belanda pada saat itu dibayar lunas oleh pemerintah Indonesia. Pelunasan utang menjadi salah satu syarat aset-aset KAI yang semula dimiliki oleh Belanda dilimpahkan ke pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Sejak tahun 2003 utang-utang sudah lunas, kini seluruh aset 100 persen sudah dimiliki oleh PT KAI atau milik pemerintah Indonesia,” kata Peneliti Sejarah Aset PT KAI Harto Juwono saat menjadi narasumber talkshow mengenai aset-aset PT KAI di salah satu stasiun TV lokal di Cirebon Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, beban utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah Indonesia diangsur selama 35 tahun dan lunas pada tahun 2003 lalu. Di tahun yang sama, pemerintah Belanda tutup buku untuk penagihan utang ke Indonesia.
“Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjabat sebagai Menko Ekuin pada tahun 1966 sebagai utusan dari pemerintah Indonesia membuat kesepakatan dengan Belanda mengenai pembayaran ganti rugi nasionalisasi sebesar 600 juta gulden diangsur selama 35 tahun,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, proses nasionalisasi aset dari Perusahaan Kereta Api Belanda ke pemerintah Indonesia terdapat 3 versi di antaranya adalah pengambilalihan. Dalam versi ini, aset Perusahaan Kereta Api Belanda (Staatsspoor) dari pemerintah Hindia Belanda diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Republik Indonesia.
“Yang diserahkan adalah semua asetnya, semua badan usahanya, semua administrasinya, pegawainya termasuk utang-utangnya. Saat proses pengalihan ini terjadi, pemerintah Indonesia tidak perlu membayar ganti rugi karena utang-utangnya sudah dibebankan,” ujarnya.
Versi kedua adalah pengambilalihan aset ketika perusahaan Kereta Api Swasta berhenti atau habis masa konsesinya.
“Pada saat perusahaan Kereta Api Swasta ingin melakukan perpanjangan konsesi, pemerintah Indonesia menolaknya karena sudah bisa mengelola sendiri. Dengan berakhirnya masa konsesi tersebut, aset negara dengan status meminjam dikembalikan. Aset milik perusahaan Kereta Api Swasta yang tidak bisa dibawa, dibeli oleh pemerintah Indonesia,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Dan versi ketiga adalah, pada tahun 1958 ketika terjadi kemacetan dialog antara pemerintah Indonesia dengan Belanda dalam menyelesaikan masalah Irian Barat. Pemerintah Indonesia mengancam Belanda, jika tidak mau mengembalikan Irian Barat maka aset perusahaan swasta yang dimiliki Belanda akan dinasionalisasi.
“Itu terjadi pada bulan Desember tahun 1958 dengan Undang Undang Nomor 86 diikuti dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1959 khusus Perusahaan Kereta Api. Di sinilah, sebanyak 10 persen perusahaan swasta Belanda yang masih berlaku konsesinya semua dinasionalisasi. Tetapi nasionalisasi ini membutuhkan ganti rugi, kalau tidak maka dianggap menyita. Sehingga akan rentan diadukan di pengadilan internasional. Ganti rugi nasionalisasi inilah yang kemudian diangsur dan lunas pada tahun 2003 lalu,” pungkasnya.(Juan)
ADVERTISEMENT