Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kisahku tentang Lepas dari Toxic Relationship
1 Mei 2021 9:58 WIB
Tulisan dari Citra Isfira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama tingkat tiga di tahun 2015, dengan belum terkenalnya kalimat “toxic relationship ”, aku akui bahwa aku berharap kalimat itu sudah ngetren dari dulu. Mungkin saja inner voice dalam diri ini tak begitu suram suaranya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, usiaku masih 13 tahun. Masuk SMP, ada kakak tingkat yang menaksirku. Aku pikir hal seperti itu terjadi di film-film saja tapi ternyata benar terjadi kepadaku. Dari mulai menanyakan kabar sampai pertanyaan sepele seperti “udah makan?”, saat itu aku merasa bahwa akhirnya aku mendapat perhatian. Untuk sekali itu saja, aku merasa berarti dan ada seseorang yang peduli akan aku.
ADVERTISEMENT
Tak lama dari itu, hubunganku dengan kakak kelas itu kandas. Patah hati, jelas. Tapi, beberapa saat dari itu hadir lagi sosok lainnya yang tak kalah perhatiannya dari si kakak kelas.
Aku mulai nyaman akan perhatian dari luar dan aku terus membutuhkan perhatian itu layaknya obat yang membuatku tetap merasa bahwa aku manusia, bahwa aku layak, bahwa aku berharga dan diinginkan.
Hubungan datang dan pergi, aku terus mencari perhatian tersebut dari sosok-sosok yang datang di hidupku. Rasanya tak pernah cukup, aku jadi ketagihan akan pertanyaan-pertanyaan dasar dan perhatian-perhatian dari sosok-sosok lelaki. Tak ada istirahat, mereka datang dan pergi.
Hingga suatu saat di awal kelas 3 SMP, aku dipertemukan dengan seseorang lelaki yang satu kelas denganku, sebut saja Aan (nama samaran). Awalnya aku tidak menyukainya tetapi ia seakan memaksaku untuk berpacaran dengannya. Sekali lagi, karena aku kesepian akhirnya aku menerima ajakannya untuk berpacaran.
ADVERTISEMENT
Ternyata Aan terobsesi kepadaku, mulai dari membawa kamera pocket ke mana saja untuk memotretku bahkan di waktu-waktu tak terduga sampai menjadikan foto-foto ku wallpaper di segala macam layar. Dari layar telepon genggam hingga laptop. Jujur saja aku tak suka dengan hal ini, tapi apa daya sudah terlanjur “bucin”.
Layaknya tahanan yang dibebaskan dari penjara, setiap kali aku keluar rumah aku harus melapor- pergi ke mana, dengan siapa, naik kendaraan apa? Rasanya tersiksa. Bahkan untuk naik layanan ojek online, itu pun menjadi sebuah hal terlarang. Pernah suatu hari aku mencoba diam-diam naik layanan tersebut dan akhirnya ketahuan karena ada notifikasi e-mail histori penggunaan layanan ojek online. Walhasil, hari itu aku kena marah dan driver ojeknya terkena imbas dengan mendapat rating bintang satu.
ADVERTISEMENT
Tamparan, cubitan, bahkan jambakan menjadi makanan sehari-hari. Adu mulut di depan umum pun menjadi suatu agenda tatkala ada kesalahan yang ku buat. Kesalahan minor seperti baju terlalu ketat bisa menjadi suatu kejadian di mana aku akan pulang dengan luka lebam di badanku. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk hijab demi menutup diri sepenuhnya agar tak ada lagi luka di tubuh dan ujaran kebencian tentang bagaimana aku menampilkan diri di depan umum layaknya ‘pelacur’ hanya karena bajuku terlalu ketat atau terlalu tipis.
Aku kehilangan sosok diri sendiri. Siapa aku? Seringkali aku berkaca dan menghabiskan waktu berjam-jam dengan pertanyaan “siapa aku?”
Hari-hari Sekolah Menengah Atas dihabiskan anti sosial karena aku percaya akan semua kalimat buruk yang dilontarkan padaku.
ADVERTISEMENT
Selama SMA, aku tak mengikuti satupun kegiatan ekstrakurikuler ataupun punya teman yang banyak. Bahkan hingga kini sepertinya aku tampak seperti tidak pernah bersekolah di SMA yang aku datangi dulu. Minim kontribusi apalagi sosialisasi.
Mungkin benar katanya kalau aku memang jelek seperti apa katanya yang setiap hari bertemu denganku. Mungkin benar katanya kalau aku tidak berharga makanya ia memperlakukanku seperti itu. Mungkin ada benarnya bahwa memang masa laluku adalah pelacur hanya karena memakai baju yang ketat saat keluar rumah.
Takut untuk memulai kembali, aku lebih baik sendiri. Akhirnya hubungan itu selesai dengan Aan yang berselingkuh dengan wanita baru di SMA barunya. Tentu saja awalnya aku merasa hancur, seperti ditinggalkan jodoh padahal aku sendiri saat itu tidak pernah berdoa untuk mendapat jodoh yang abusive seperti dia, aku sering merasa kesepian, dan menganggap bahwa ada yang salah denganku.
ADVERTISEMENT
Aku terus mencari sosok yang bisa mencintai apa adanya, menerima aku dengan segala kekuranganku dan semua kerusakan yang ada. Berharap suatu hari seseorang “menyembuhkan” aku dari semua beban yang aku anggap sebagai penyakit di dalam tubuh ini.
Tiga tahun setelah hubungan itu usai, baru aku benar-benar menemukan pasangan yang aku rasa tepat. Seseorang yang memiliki hubungan sehat denganku, dengan keluargaku, teman-temanku, dan yang paling penting dengan dirinya sendiri sehingga rasanya semua menjadi mudah. Tetapi bahkan setelah tiga tahun hubungan itu usai, ada saja kejadian yang membuat aku ketakutan setengah mati lagi, menangis kencang lagi, memukul, dan menampar diri sendiri lagi seakan aku masih terperangkap dalam hubungan toxic itu.
Ada malam-malam di mana suara itu muncul lagi di otakku. Saat aku gagal dalam suatu pekerjaan atau mengalami hari yang buruk. Suara yang mengatakan seakan-akan semuanya salahku, seakan kehadiranku di dunia ini adalah sia-sia, seakaran aku tidak cukup baik untuk siapapun dan apapun. Ada waktu-waktu di mana aku ingin hilang, menghapus semuanya tentang diriku dari sejarah dunia ini. Bukan bunuh diri, hanya ide sepele untuk menjadi “hilang”, untuk menghapus eksistensi diri.
ADVERTISEMENT
Malu karena aku tak bisa berteriak minta tolong saat aku masih terperangkap di hubungan itu, malu karena ternyata aku bisa menjadi sebodoh dan senaif itu, malu karena aku. Aku yang didikte untuk melakukan sesuatu yang aku tidak mau lakukan. Aku yang rusak, yang habis digerogoti oleh ego seorang lelaki yang bahkan hari ini aku tak mau sebut-sebut lagi namanya.
Perlu waktu lama untuk mengumpulkan identitas diriku yang sebenarnya, untuk mencari sosok “aku” yang hilang di suatu waktu di tahun 2015. Kadang aku merasa bahwa 4 tahun hidupku mulai 2015 – 2019 hingga hubunganku selesai sebagai remaja telah hilang begitu saja. Tak ada kenangan manis atau kenakalan khas remaja, punya geng atau bersenang senang di sosial media.
ADVERTISEMENT
Ketika kalimat “young and dumb” yang identik dengan sifat remaja menjadi terlalu ekstrem sampai aku jadinya naif dengan semua perlakuan orang. Ketika aku tak lagi bisa membedakan warna-warna di dunia ini, benar dan salah, dan semua perkataan negatif bisa menghancurkanku cukup dengan satu ucapan saja.
Tiga tahun setelah hubungan itu usai dan beberapa kunjungan ke psikolog. Aku akan selalu ingat sepatah dua patah yang diucapkan psikolog tempat aku bercerita. Kalimat ini selalu menempel di kepalaku sampai hari ini
Dari kunjungan itu, aku tergugah untuk memulai hidup baru pada saat kuliah, dengan tekad bulat aku ingin mengubah hidupku. Aku percaya pada diriku bahwa masa laluku bisa saja seburuk itu, tapi hanya akulah yang bisa mengubah masa depanku menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Inginku menukar tahun-tahun itu dengan pengalaman yang lebih indah, rasa iri kadang muncul ketika mendengar cerita teman-temanku yang memiliki kenangan indah saat bersekolah. Memiliki banyak teman, bisa mengekspresikan diri mereka, dan tampil sesuai keinginan mereka tanpa ada yang menahan mereka. Tapi, yang sudah biarlah sudah, aku tidak ingin siapapun mendikte suara-suara yang ada di otakku lagi. Aku adalah aku dan aku milik diriku sendiri.
Yang aku tahu dari semua yang sudah ku lewati bahwa aku kuat dan aku hebat. Aku berharga. Dalam perjalanan menemukan diri sendiri dan mencintai diri sendiri, aku pun secara tidak sengaja menemukan orang-orang baru yang aku cintai. Mereka adalah teman-temanku dan pasanganku sekarang yang selalu memperlakukanku layaknya seorang puteri di film Disney. Aku bersyukur aku diberi kekuatan yang begitu besar untuk menghadapi semua yang telah aku lalui. Aku sudah pernah berada di titik terbawahku dan aku percaya hidup hanya akan bisa naik ke atas setelah ini.
ADVERTISEMENT