Misi Diplomasi: Kerah Biru

Clemens Triaji Bektikusuma
Everything said in good faith is probably true unless proven otherwise.
Konten dari Pengguna
18 Maret 2021 12:24 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Clemens Triaji Bektikusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Lupakan setelan jas atau blazer yang menawan, megahnya ruang perundingan, semerbak wangi parfum, atau dentingan gelas-gelas cocktail resepsi. Sosok diplomat kerah biru adalah alter ego diplomasi. Misi mereka satu: Memberikan perlindungan tanpa partisi.
“Kerah Biru” merupakan bagian dari trilogi “Misi Diplomasi” yang mengulas peran para diplomat Indonesia di luar negeri. Setelah “Kerah Putih” mengupas seluk-beluk peran diplomat Indonesia dalam berbagai perundingan internasional, tulisan ini akan menyibak sepak terjang para duta nasional dalam mengemban misi melindungi WNI di seluruh penjuru dunia.
---
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemlu), setidaknya terdapat 2,9 juta warga negara Indonesia (WNI) yang saat ini tersebar di berbagai negara. Sebagian dari mereka pastinya tidak luput dari kemalangan, baik bencana kemanusiaan maupun bencana alam.
ADVERTISEMENT
Mungkin masih segar di ingatan kita fenomena Arab Spring di Timur Tengah pada tahun 2010, perang sipil Suriah (2011), atau perang saudara di Yaman (2015). Paling anyar, kita tentu ikuti perkembangan pandemi Covid-19, di mana Wuhan disinyalir menjadi “episentrum” penyebaran virus yang telah merenggut lebih dari 2,6 juta jiwa secara global (data WHO, per 16/03/2021).
Ilustrasi fenomena Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah pada tahun 2010; diplomasi tetap hadir membawa misi perlindungan WNI. Image by Hasan Almasi from Unplash.
Terdapat satu kesamaan dari sejumlah fenomena tersebut, yakni perlunya mengevakuasi para warga negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di wilayah-wilayah rawan dimaksud. Evakuasi dilakukan baik untuk memulangkan para WNI ke tanah air, atau merelokasikan sementara ke daerah-daerah yang lebih kondusif.
---
Presisi Perencanaan
Dalam kondisi darurat yang memerlukan evakuasi, para diplomat Indonesia menjadi garda terdepan untuk membuka jalan bagi penyelamatan WNI. Para diplomat Indonesia yang bertugas di wilayah-wilayah genting tersebut menjadi orang pertama yang harus menekan “tombol alarm” dengan menginformasikannya kepada Kemlu di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa sulitnya melapor? Satu hal yang perlu dipahami, melaporkan situasi darurat di wilayah akreditasi adalah hal yang sangat sensitif bagi seorang diplomat. Pertama, laporan tersebut harus komprehensif; didukung data serta analisis yang akurat. Sekali laporan ini dibuat, maka tidak dapat ditarik kembali.
Kedua, kurasi kondisi darurat di suatu negara juga harus dilengkapi dengan contingency plan. Titik-titik sebaran WNI, mekanisme ekstraksi, jalur-jalur evakuasi dan moda transportasi yang digunakan, hanyalah sebagian kecil elemen yang harus tergambar secara akurat dalam sebuah contingency plan.
Kesalahan kecil dalam kalkulasi evakuasi akan menempatkan nyawa WNI dalam risiko. Oleh sebab itu, penyusunan contingency plan tidak boleh hanya dilakukan di belakang meja, namun juga harus dibarengi dengan observasi langsung ke lapangan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dalam melaporkan situasi darurat beserta contingency plan-nya, para diplomat juga dituntut memiliki kepekaan terhadap negara akreditasi. Laporan tersebut tidak boleh secara terbuka diketahui oleh unsur pemerintah setempat, karena dapat menyinggung kredibilitas dan hubungan diplomatik kedua negara.
Laporan situasi darurat dan contingency plan bersifat rahasia mengingat kontennya dapat bersifat sangat sensitif bagi hubungan diplomatik kedua negara. Image by Morning Brew from Unsplash.
Eksekusi Sarat Aksi
Jangan bayangkan proses evakuasi seperti laga aksi dalam film-film Hollywood. Tidak ada “cut” atau “action” di sini.
Segera setelah laporan situasi darurat dan contingency plan disetujui oleh “Jakarta”, proses evakuasi dimulai. Pemerintah akan membentuk dan mengirimkan Satuan Tugas (Satgas) guna mendukung misi evakuasi. Elemen Satgas beragam, bergantung kebutuhan; ada unsur Kemlu, militer, polisi, tenaga kesehatan, personel search and rescue, dan berbagai unsur lain yang diperlukan di lapangan.
Misi pertama evakuasi pada umumnya adalah penyebaran informasi teknis kepada para WNI. Informasi teknis ini harus dipastikan sampai kepada sebanyak mungkin WNI di negara setempat, dan dimengerti secara jelas. Namun, harus diantisipasi pula jangan sampai informasi tersebut jatuh ke pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab karena dapat membahayakan operasi.
ADVERTISEMENT
Ekstraksi para WNI dari titik-titik rawan menjadi tantangan tersendiri bagi para diplomat dan Satgas. Seringkali para WNI berada di tengah-tengah wilayah konflik ataupun bencana alam. Hal ini mengakibatkan proses “penjemputan” menjadi rumit.
Dalam kondisi perang contohnya, para diplomat harus bernegosiasi dengan penguasa perang (warlord) setempat untuk meminta jeda kemanusiaan (humanitarian break). Jeda kemanusiaan inilah yang nantinya akan digunakan sebagai window of opportunity untuk mengeluarkan para WNI yang terjebak di tengah-tengah situasi konflik.
Evakuasi WNI di wilayah konflik menjadi tantangan diplomasi yang sarat akan resiko. Image by Fajrul Falah from Pixabay.
Bernegosiasi dengan warlord jelas bukan hal mudah. Mereka sangat mencurigai orang asing. Dibutuhkan ketenangan, keluwesan dan kepiawaian dalam “membujuk” para penguasa perang ini. Tidak jarang, negosiasi dilakukan di bawah todongan senjata dan berbagai bentuk intimidasi lainnya.
Begitu kesempatan diperoleh, penjemputan para WNI pun dilakukan. Proses ini tidak selamanya berjalan lancar. Terkadang situasi di lapangan mendadak berubah. Jeda kemanusiaan yang tiba-tiba dilanggar, atau terjadinya bencana susulan, menjadi faktor yang tidak dapat diduga dan makin memperumit evakuasi.
ADVERTISEMENT
Setelah dijemput, para WNI akan direlokasi ke tempat yang lebih aman, baik melalui jalur darat, laut maupun udara. Sekali lagi, proses ini pun tidak selalu berjalan mulus. Memobilisasi massa dalam jumlah besar pastinya selalu menarik perhatian; razia dan checkpoints pun berulang kali harus dilalui. Para diplomat kembali dituntut mampu “bersilat-lidah” dengan otoritas setempat untuk dapat sampai di tempat tujuan.
Perjalanan evakuasi juga dapat menjadi sarat drama, terlebih ketika ransum dan logistik pendukung lainnya mulai menipis. Ketegangan juga acapkali menyulut emosi para WNI yang tengah dievakuasi. Kembali, para diplomat harus mampu mengontrol situasi dan memberikan ketenangan.
Tarikan napas lega baru dapat dilakukan ketika seluruh WNI yang dievakuasi tiba di tempat tujuan yang aman dengan selamat. Seluruh rasa letih, emosi yang berkecamuk, dan adrenalin yang terpompa pun terbayar lunas.
ADVERTISEMENT
Evaluasi dan Administrasi
Rasa bangga dan bahagia tentunya bercampur-aduk dalam benak setiap diplomat setelah berhasil menuntaskan suatu misi evakuasi. Namun perasaan ini tidak berlangsung lama. Mereka masih harus melakukan evaluasi dan pertanggungjawaban administrasi.
Dari aspek substansi, para diplomat akan mengkaji sejauh mana misi evakuasi telah dilakukan secara aman, efektif, dan yang tidak kalah penting; tidak mencederai hubungan diplomatik kedua negara.
Forum evaluasi ini juga berfungsi sebagai clearing house dan merampungkan berbagai residual issues pascaevakuasi. Hal ini termasuk pemenuhan komitmen yang disampaikan para diplomat ketika bernegosiasi di lapangan.
Pemenuhan komitmen ini penting untuk menjaga kredibilitas para diplomat. Seluruh pihak dan kontak yang dijalin semasa berlangsungnya evakuasi adalah “aset” yang mungkin akan dibutuhkan kembali jasanya di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Selesai? Masih belum.
Last but not least, para diplomat juga harus mempertanggungjawabkan pengeluaran anggaran operasional evakuasi. Inspektorat Jenderal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan sederet institusi lainnya berbaris mengantre untuk melakukan audit.
Proses ini banyak kalanya “menyiksa” para diplomat.
Bayangkan, dalam keadaan genting apakah mungkin untuk mencatat setiap pengeluaran yang dibayarkan. Lalu, kerap dalam operasi evakuasi terdapat “setoran-setoran” yang harus dibayarkan di razia-razia atau checkpoints, semata-mata untuk memuluskan perjalanan. Bagaimana mungkin meminta tanda terima untuk pengeluaran semacam ini?
Evakuasi sebagai bagian dari diplomasi juga tidak terlepas dari audit, demi transparansi dan akuntabilitas. Image by Masarath Alkhaili from Unsplash.
Namun demikian, atas nama transparansi dan akuntabilitas, seluruh proses tersebut harus dilalui. Terkadang, sejumlah diplomat tidak segan-segan untuk merogoh koceknya sendiri untuk menalangi pengeluaran operasional evakuasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara administratif.
Epilog
ADVERTISEMENT
Merujuk data resmi Kemlu, ribuan WNI berhasil dievakuasi dengan selamat dari berbagai daerah rawan sepanjang gejolak Arab Spring (2010), konflik di Suriah (2011), serta perang di Yaman (2015). Evakuasi ratusan WNI juga dilakukan dari Wuhan (2020) sebagai respons perlindungan WNI di luar negeri terkait pandemi Covid-19.
Para WNI yang berhasil dievakuasi dari Wuhan-RRT tiba kembali di tanah air. Foto oleh Ondy Rakhmat Mulya.
Bagai mahluk mitologi “tuyul”, para diplomat kerah biru Indonesia bekerja tidak terlihat, namun membawa hasil yang nyata. Pakaian mereka tidaklah necis, nama dan foto mereka tidak di-publish. Mereka bekerja dalam sunyi, di penjuru dunia yang mungkin tidak pernah terbayang oleh kita.
Kebanggaan bagi mereka bukanlah berada di halaman-halaman koran, atau terpampang di kanal-kanal media sosial. Kebanggaan bagi mereka adalah memastikan bahwa negara hadir untuk keselamatan warganya, di mana pun mereka berada.[]
ADVERTISEMENT