Konten dari Pengguna

Senyum Dokter Gigi Bung Karno: Kisah Perjalanan Hidup Oei Hong Kian

Cornelius Calvin Saputra
Cornelius Calvin Saputra, remaja kelahiran Bandung pada 5 Juni 2008, saat ini tengah menempuh studi di SMA Trinitas Bandung. Sejak kecil, ia telah terpesona dengan kekuatan seni bercerita, yang mendorongnya mendalami dunia tulis-menulis.
26 Februari 2025 16:05 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cornelius Calvin Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dr. Gigi Oei Hong Kian dalam bukunya “Peranakan yang hidup dalam tiga budaya.” Foto: Arsip Pribadi Cover Buku alt="Dokter Gigi Oei Hong Kian"
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Gigi Oei Hong Kian dalam bukunya “Peranakan yang hidup dalam tiga budaya.” Foto: Arsip Pribadi Cover Buku alt="Dokter Gigi Oei Hong Kian"
ADVERTISEMENT
“Astagfirullah,” kata Bung Karno kaget. Itulah kata yang terucap sang Proklamator ketika hendak diperiksa oleh Dokter Gigi Oei Hong Kian di kamar praktik istana. Rasa kaget Sang Proklamator tersebut lantaran baru mengetahui bahwa kamar praktik gigi di istana kala itu masihlah menggunakan bekas peninggalan NICA, warisan Belanda. Maklum, Bung Karno selama ini tidak tahu-menahu bahwa sang peralatan praktik tersebut sudah kuno sebab orang-orang di sekitarnya yang tidak berani berbicara terus terang. Hanya seorang dokter gigi yang berani dengan lantang berbicara kala itu. Dokter gigi itu ialah Oei Hong Kian.
ADVERTISEMENT
Oei Hong Kian merupakan anak sulung dari pasangan Oei Kok Poo dan The Jan Tie. Ayahnya (Oei Kok Poo) merupakan putra seorang pedagang tembakau di daerah Magelang. Sementara Ibunya (The Jan Tie) merupakan putri pemilik pabrik cerutu pertama di Jawa Tengah. Berkat dari kedua orang tuanya yang merupakan orang terpandang, dapat dikatakan bahwa Oei Hong Kian kecil hidup dengan layak.
Setelah beranjak besar, tangan kanannya telah dapat menyentuh kuping kirinya. Menurut hukum Belanda saat itu anak yang telah dapat menyentuh kuping kirinya diharuskan mulai bersekolah. Maka Oei Hong Kian kecil pun kini diharuskan mulai bersekolah. Sang ayah (Oei Kok Poo) percaya bahwa anak-anaknya akan lebih baik untuk bersekolah di lingkungan Belanda. Maka ayahnya pun menyekolahkan Oei Hong Kian di Holland Chinese School (HCS). Sebuah keputusan berani pada masa itu bagi seorang keturunan tionghoa memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berlatarkan barat, dibandingkan sekolah seperti Tiong Hwa Hwee Kwan yang berlatarkan Cina. Dengan berlatarkan pendidikan barat, pemikiran Oei Hong Kian pun selangkah lebih maju dibandingkan orang-orang lain pada masanya. Hal inilah juga yang di kemudian hari mengantarkannya sebagai salah satu dokter gigi yang belajar hingga ke negeri tirai bambu, dan menjadi kepercayaan Presiden Soekarno.
ADVERTISEMENT

Masa Kecil Oei Hong Kian: Awal Perjalanan Dokter Gigi Soekarno

Oei Hong Kian kecil hidup di tengah keluarga Tionghoa yang amat memegang teguh kepercayaan Konfusianisme. Berdasarkan kepercayaan Konfusianisme tersebut, maka keluarga merupakan kesatuan. Dan sebagai suatu kesatuan, Oei Hong Kian kecil harus hidup bersama-sama anggota keluarga dari pihak ayah lainnya dalam satu rumah keluarga bersama. Di sana ia hidup bersama kakek, nenek, ketujuh paman dan satu bibinya. Belum lagi pembantu-pembantu di rumah tersebut.
Akibat dari banyaknya orang yang tinggal di rumah tersebut, mereka harus makan bergantian. Sebab meja makan milik keluarganya kecil. Urutan dalam menyantap hidangan tersebut dimulai dari sang kakek-nenek, kemudian dilanjutkan oleh paman-bibi, dan terakhir dirinya. Namun tak jarang sang kakek pulang terlambat untuk makan. Sehingga terkadang menyebabkan Oei Hong Kian dan paman-paman mudanya yang pulang dengan lapar dari sekolah pun harus menunggu kakeknya pulang sebelum dapat menyantap makanan. Barulah sang ibu, The Jan Tie di kemudian hari, memasang meja panjang yang cukup untuk menampung lebih banyak orang. Sehingga Oei Hong Kian dan keluarganya pun dapat makan bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Namun, hal tersebut tidaklah berlangsung lama. Ayah dari Oei Hong Kian (Oei Kok Poo) telah sejak lama mengidap penyakit TBC. Disebabkan oleh penyakit yang diderita Oei Kok Poo, dokter Belanda pun mendesaknya untuk segera tinggal di lingkungan dengan udara yang bersih. Magelang dianggap oleh sang dokter Belanda tersebut tidak cocok sebagai tempat perawatan pengidap TBC. Dan didasari desakan dokter Belanda tersebut, Kakek Oei Hong Kian pun membangunkan sebuah rumah sederhana di Grabag sebagai tempat tinggal untuk ayah dan keluarganya. Sekitar 10 km dari Magelang. Kini, Oei Hong Kian kecil pun harus pindah ke Grabag. Di sana, ia pun akan menjalani kehidupan masa kecilnya yang menyenangkan juga penuh keceriaan.

Berakhir belajar kedokteran gigi di STOVIT Surabaya

Setelah menyelesaikan masa studinya di HCS (Holland Chinese School), Oei Hong Kian pun memilih untuk melanjutkan studinya ke HBS (Holland Burger School). Tak Terasa waktu dirinya belajar di HBS berlalu cepat. Dirinya pun telah duduk di kelas lima HBS. Kini Oei Hong Kian pun diharuskan memilih langkah hidup selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sedari awal Oei Hong Kian memanglah telah berencana melanjutkan belajar ke Belanda. Dirinya kala itu menginginkan untuk dapat menempuh pendidikan Ekonomi yang kala itu belum ada di Hindia Belanda dan hanya ada di Rotterdam Belanda. Namun sang ayah tidak setuju. Ayahnya hanya mau memberikan izin kepada Oei Hong Kian pergi ke Belanda bila ia mau belajar di Institut Kedokteran Gigi yang berada di Utrecht. Keinginan Ayah Oei Hong Kian tersebut disebabkan rasa kesalnya karena harus membayar mahal kepada Drg. Linn di Magelang secara berkala. Maka Oei Hong Kian pun akhirnya mencoba mengirimkan surat permintaan informasinya ke Institut Kedokteran Gigi di Utrecht. Namun sayang, sebelum jawaban datang, Inggris telah menyatakan perang kepada Jerman. Perubahan keadaan tersebut menyebabkan rasa tidak aman pada ayah Oei Hong Kian untuk menyekolahkan anaknya di Belanda. Maka rencana awal pun berubah menjadi kacau balau.
ADVERTISEMENT
Oei Hong Kian pun kini tidak dapat belajar ke negeri Belanda. Ditambah tidak adanya institut ekonomi di Hindia Belanda kala itu, maka Oei Hong Kian pun memutuskan untuk belajar kedokteran gigi di STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) di Surabaya. Dirinya mengaku hanya ingin belajar lebih lanjut, tanpa mempedulikan bagaimana jurusan maupun tempatnya.

Masa Sulit Pendudukan Jepang

Pelan namun pasti jepang kini menguasai kepulauan Nusantara. Dalam kondisi yang kacau tersebut, pembelajaran di STOVIT pun tidak berjalan sebagai mestinya. Oei Hong Kian pun dipaksa pulang demi menjaga orang tua serta adik-adiknya dari kekejaman Jepang. Harta-Benda disembunyikan, namun ternyata tidak cukup. Oei Hong Kian beserta keluarga pun kini dipaksa harus mengungsi ke saudara yang berada di Temanggung sebab situasi di Magelang semakin tidak kondusif.
ADVERTISEMENT
Di tengah kekacauan, adik bungsu Oei Hong Kian yang bernama Hong Kien pun jatuh sakit. Keadaan pun menjadi semakin pelik ketika sang dokter yang merupakan teman Oei Hong Kian bernama Dr. Tan King Poo mendiagnosis adik Oei Hong Kian menderita usus buntu. Saat itu, satu-satunya ahli bedah di Magelang sedang diinternir oleh Kempetai Jepang. Dr. Tan King Poo pun menyarankan untuk Oei Hong Kian dan keluarga pergi ke rumah sakit Katolik di Jogja. Naas, sang dokter bedah rumah sakit tersebut pun harus diinternir oleh pihak Kempetai Jepang. Maka solusi yang terakhir adalah pemberian obat Cibazol berdosis tinggi.
Sayang kondisi saat itu sulit, obat Cibazol menjadi langka dan harganya gelap. Kebetulan saat itu Oei Hong Kian telah mengenal baik keluarga Mien (calon istrinya), maka ia memberanikan diri meminta bantuan mencari obat Cibazol. Akhirnya, sekitar pukul 20.00 malam seorang pria datang membawa dua ampul obat Cibazol. Sebagai imbalan, sang pria tersebut tanpa segan-segan meminta 100 gulden. Harga yang amat mahal, sebab seharusnya hanya berkisar beberapa gulden per ampulnya. Namun demi kesehatan adiknya sang ayah (Oei Kok Poo) pun membayarnya dengan senang hati.
ADVERTISEMENT
Karena Oei Hong Kian diharuskan mencari obat-obatan untuk adiknya, maka orang tua Mien pun menawari saya untuk tinggal di tempat mereka. Oei Hong Kian pun tidur bersama saudara sepupu Mien, Dwan Lee. Setiap malam Dwan Lee sering bercerita tentang keluarga mereka. Dari situlah Oei Hong Kian mendapatkan gambaran baik tentang keluarga Mien sang calon istrinya di masa depan.

Pergi ke Utrecht

Kondisi saat itu masihlah sangat tidak menentu, perang masih saja bisa meletus sewaktu-waktu. Dengan kondisi yang kacau, semangat belajar Oei Hong Kian menjadi dokter gigi sangatlah tinggi. Sayangnya tempatnya belajar di STOVIT Surabaya tidak dibuka kembali. Sedangkan di Batavia dirinya tidak bisa melanjutkan belajar kedokteran gigi. Maka Oei Hong Kian pun menulis ke Utrecht meminta informasi apakah dirinya bisa belajar kedokteran gigi? Segera jawaban datang dari dosen Nona Schuringa. Sang dosen mengatakan bahwa memang ada kemungkinan bagi Oei Hong Kian untuk meneruskan belajar. Ia menyarankan agar Oei Hong Kian bisa membawa sebanyak mungkin dokumen resmi mengenai perihal apa saja yang telah dirinya pelajari. Dengan semangat yang tinggi, dirinya pun tidak menemukan kesulitan untuk mendapatkan keterangan resmi dari direktur STOVIT yang menyatakan bahwa dirinya duduk di tingkat tiga STOVIT sebagai mahasiswa ilmu kedokteran gigi.
ADVERTISEMENT
Dengan semangat anak muda yang berkobar, dirinya pun kini mencari cara agar dapat menimba ilmu ke negeri Belanda tempat Institut Kedokteran Gigi Utrecht berada. Berkat bantuan dari saudara dan teman-temannya, dirinya mendapatkan kesempatan untuk berangkat tanpa biaya namun diharuskan bekerja sebagai geladak kapal. Tanpa ragu, dirinya pun bersama sang pasangan Mien berangkat ke negeri Belanda untuk menempuh pendidikan kedokteran giginya.
Dengan keterbatasan dana yang dimilikinya, ia tidak gentar. Dengan percaya diri, Oei Hong Kian yakin akan lulus menjadi dokter gigi dengan secepat-cepatnya. Sayangnya perjalanan Oei Hong Kian di Belanda tak kalah sulit. Kala itu negeri Belanda yang baru selesai perang pun tak kalah kacaunya. Oei Hong Kian dan warga Belanda lainnya pun diharuskan menggunakan bon untuk memperoleh jatah makanan.
ADVERTISEMENT
Berkat kecerdasan yang dimilikinya, ditambah dengan pengalamannya di Indonesia, Oei Hong Kian pun hanya perlu belajar setengah tahun di Belanda. Selepas lulus, dirinya pun mulai berkarir di dunia kedokteran gigi di Belanda sebelum akhirnya pulang dengan anaknya ke Jakarta.

Pertemuan dengan Soekarno

Tahun 1967 Oei Hong Kian sudah berpraktik di Jakarta. Dengan bekal ilmu dan teknologi yang ia pelajari di negeri Belanda, dirinya pun mampu membuka praktik dokter gigi berkualitas baik di Jakarta. Berkat kualitas dan kompetensi yang dimilikinya tersebutlah, di suatu pagi Oei Hong Kian pun diminta untuk datang ke istana merawat gigi Bung Karno yang dikatakan bermasalah. Sedangkan rekan dokter yang biasanya merawat gigi Bung Karno telah pindah ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Sesampainya Oei Hong Kian di istana, dirinya pun segera menuju ruang praktik khusus dokter gigi. Di sana dirinya bertemu Bung Karno yang memberikan gestur bangga sembari memberikan pertanyaan retoris, “Bagaimana kamar praktik saya, Pak Dokter? Cocok atau tidak?” Namun tanpa sadar Oei Hong Kian pun membalas “Maaf, Pak. Alat-alat ini sudah perlu dimasukkan ke museum.” Semua hadirin lantas terkejut, sebab mereka tau sifat Bung Karno. Namun Bung Karno tidak marah dan hanya memandang sang dokter gigi Oei Hong Kian dengan mata senyum nakal. Seketika itu juga, Bung Karno diberi tahu kenyataan bahwa alat-alat tersebut merupakan peninggalan warisan Belanda. “Astagfirullah” ucapnya langsung. Disebabkan peristiwa itu, praktik yang berada di istana batal dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Pemeriksaan pertama pun dilakukan keesokan harinya dengan memindahkan peralatan dokter gigi Oei Hong Kian dari rumahnya ke Istana. Pemeriksaan hari itu dipuji oleh Bung Karno. “Dokter ini memang sangat terampil. Saya praktis tidak merasakan apa-apa selama perawatan.” ucap sang proklamator. Maklum, teknologi peralatan dokter gigi Oei Hong Kian ini termasuk canggih pada masanya. Belum banyak yang menggunakan peralatan dokter gigi secanggih Oei Hong Kian pada masanya.

Keakraban dengan Soekarno

Setelah menyelesaikan perawatannya, Oei Hong Kian melihat Bung Karno memasang kembali pecinya. Peci tersebut selalu dikenakan Bung Karno sebab ia sudah botak dan rambutnya menipis. Oei Hong Kian pun menyaksikan bahwa wajahnya pun kasar dan berlubang dalam. Selama ini Bung Karno selalu menyamarkannya di muka umum dengan memakai kosmetika.
ADVERTISEMENT
Oei Hong Kian pun diajak Bung Karno dari ruang perawatan gigi di Istana Negara (istana untuk bekerja) menuju Istana Merdeka (istana kediaman presiden). Di serambi belakang istana tersebut, Oei Hong Kian tidak melihat adanya pergolakan politik. Bung Karno pun mengobrol bersama Oei Hong Kian dengan santai, seakan-akan tidak ada kekuatan yang ingin menurunkannya.
Dikarenakan kondisi gigi Bung Karno yang memerlukan restorasi intensif. Oei Hong Kian pun sering bolak-balik istana. Waktu itu Bung Karno telah tersisih secara politis, sehingga sosok yang biasanya sibuk dengan aktivitas politiknya pun kini lebih memiliki banyak waktu senggang. Setiap kali selesai dirawat, Bung Karno akan meminta Oei Hong Kian untuk tidak pulang dulu. Tetapi mengobrol dengan Bung Karno di taman sambil berjalan-jalan.
ADVERTISEMENT
Kondisi pun berubah cepat, jabatan politik presiden yang diemban selama dua puluh tahun pun dicopot dari diri Bung Karno. Bung Karno pun kini secara de facto adalah seorang tahanan rumah istana bogor. Dirinya pun diawasi dan tidak dapat bepergian secara leluasa. Namun di kala saat sulit tersebut, Bung Karno menyempatkan untuk memberikan koleksi dasi pribadi berinisialkan “S” dan sebotol parfum kepada Oei Hong Kian dan Istrinya melalui Pak Djamin. Selain dasi dan parfum, diberikannya juga sebuah amplop besar berisikan potret dirinya lengkap beserta tanda tangan Bung Karno.
Hubungan baik antara Oei Hong Kian dan Bung Karno ini tetap berlanjut hingga saat Oei Hong Kian berangkat ke Belanda. Selama hidupnya Oei Hong Kian memiliki ikatan pribadi yang kuat dengan Bung Karno. Oei Hong Kian juga benar-benar kagum terhadap diri Bung Karno. Walau Oei Hong Kian tidak pernah lagi bertemu Bung Karno dan tidak bisa benar-benar pamit sejak terakhir kali merawatnya. Namun kenyataan hubungan baik ini tergambar jelas dalam bukunya yang berjudul “Dokter Gigi Soekarno: Oei Hong Kian, Peranakan yang Hidup Dalam Tiga Budaya” yang layak untuk dibaca sekali seumur hidup.
ADVERTISEMENT

Memetik Buah Kehidupan

Sebagai seorang sosok yang hidup pada masa-masa sulit, Oei Hong Kian telah mampu membuktikan bahwa masa lalu yang sulit tidak menjadi penghambat masa depan. Oei Hong Kian adalah sosok nekat yang menyadari bahwa hidup selalu memiliki resiko dan ketidaknyamanan. Namun dirinya tidak pernah menyerah terhadap keadaan yang tidak selalu menguntungkannya itu. Dia akan selalu mencari caranya tersendiri. Sikapnya inilah yang pada akhirnya membawa dirinya kepada kesuksesan dan kejayaan yang tidak mustahil untuk ditiru pembaca sekalian.
(Cornelius Calvin Saputra, ‘08, Siswa Kelas X SMA Trinitas Bandung)