Sisi Lain dari Media Sosial

Muflih Syamil
Mahasiswa fakultas Psikologi UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 7:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muflih Syamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber freepik.com
ADVERTISEMENT
Jika kta tidak membeli produk, maka kita adalah produknya, Tristan Harris
ADVERTISEMENT
Apakah Anda pernah berpikir, darimanakah perusahaan-perusahaan internet mendapatkan uang? Padahal kerja mereka hanya memberikan sebuah software, sebuah aplikasi yang membantu hidup kita. Namun, kenapa mereka bisa menjadi perusahaan terkaya di dunia? Dan untuk apa mereka dibayar? Sebelum itu saya akan memulainya dengan me-review sedikit sebuah film dokumenter keluaran Netflix yang sangat menarik.
The Social Dilemma
The Social Dilemma adalah film dokumenter yang rilis oleh Netflix pada tahun 2020. Film ini membahas mengenai sisi gelap dari media sosial yang hadir dihadapan Anda. Dan uniknya, film dokumenter ini dibintangi oleh para pensukses platform media sosial itu sendiri. Mulai dari pembuat tampilan e-mail, pembuat tombol like, mantan presiden moneterasi, dan para mantan pejabat penting dari berbagai platform media.
ADVERTISEMENT
Terkadang kita naif akan sisi lain dari koin itu sendiri, begitulah yang dikatakan oleh Tim Kendell, mantan direktur monitasi Facebook dan mantan presiden Pinterest.
Kebanyak dari kita lebih memandang sisi positif yang kita dapat dibandingkan sisi dibaliknya. Seperti misalnya memudahkan komunikasi, mempererat hubungan keluarga dan semacamnya dibandingkan dengan angka bunuh diri pada remaja yang meningkat, kesehatan mental, hoax, polarisasi, dan berbagai masalah yang timbul akibat hadirnya media sosial ini.
Jonathan Haidt, Phd, pakar psikologi sosial mengatakan bahwa dimulai antara 2011 dan 2013. Jumlah gadis remaja dari 100.000 remaja di negara bagian Amerika yang melukai diri sendiri stabil sampai 2012, baru setelah itu mulai naik pesat. Gadis dengan remaja mulai naik menjadi 62% dan gadis praremaja naik hampir tiga kali lipatnya. Lebih mengerikannya lagi, bunuh diri yang tadinya rendah mengalami kenaikan, pada gadis remaja naik 70% dan gadis praremaja naik 150%. Semua itu membentuk pola yang mengarah kepada sosial media yang hadir di sekitar tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Ini menandakan bahwa hadirnya media sosial bisa mengikis jati diri. Membuat kita tidak percaya diri akan apa yang kita miliki karena ada keinginan untuk memenuhi apa yang diinginkan orang. Itu biasanya dilakukan untuk mempertahankan popularitas palsu. Popularitas yang sementara. Akibatnya ketika secara tiba-tiba popularitas mereka menurun, follower mereka hilang, bahkan sampai ada yang menganggap dirinya seakan-akan tidak ada. Maka mereka akan pasrah pada hidup dan ada yang lebih memilih untuk bunuh diri.
Seperti itu lah beberapa dampak negatif yang hadir pada manusia. Hal ini bukanlah yang mereka, para narasumber film dokumenter ini harapkan. Mereka berharap dengan adanya tombol like, dengan adanya fitur-fitur itu dapat menyebarkan kebahagiaan. Akan tetapi banyak dari para pengguna yang memaanfaatkan ini untuk kepentingan yang negatif.
ADVERTISEMENT
Untuk apa mereka dibayar?
Satu pertanyaan penting yang dilontarkan oleh Jaron Leiner, penulis buku Ten Argument For Deleting Your Social Media Account Right Now. Perusahaan seperti Google dan Facebook adalah yang terkaya dan tersukses sepanjang masa. Mereka memiliki pegawai yang relatif sedikit dan punya komputer raksasa yang dapat menghasilkan uang. Lalu untuk apa mereka dibayar?
Jika kita kembali kepada pepatah diatas, maka didapatilah bahwa yang dijual adalah kita. Kok bisa? Siapa yang beli kita? Lalu untuk apa kita dibeli? Yang beli adalah para pengiklan dan yang dijual tentu saja kita. Mereka berlomba-lomba untuk membeli pengguna, yang ternyata itu adalah kita, agar apa yang mereka buat bisa terjual. Pada intinya mereka berlomba-lomba untuk membuat kita betah melihat layar dengan durasi yang panjang dan lama. Mereka bukan hanya bisa membuat kita tertarik terhadap produk mereka, bahkan bisa memesan karakter pribadi kita, dan ini adalah hal yang menyeramkan dibalik sisi internet itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Lalu apa solusinya?
Ketika mencari solusi itu, cukuplah rumit. Karena kita tidak bisa langsung menghilangkan semua itu begitu saja. Tidak bisa, dikarenakan generasi muda zaman sekarang sudah menjadikan gadget itu sebagai kebutuhan primer. Bahkan ada yang mengatakan “lebih baik kehabisan nasi dibandingkan kuota”. Maka solusi yang ada tidaklah dapat untuk mengubah secara langsung melainkan harus bertahap. Bisa dimulai dari diri kita terlebih dahulu. Kita mulai dari menjaga keluarga kita. Misalnya, yaitu dengan kita tidak memberikan izin kepada anak-anak kita untuk membuat akun sosial media sampai pada umur 17, karena umur segitu adalah umur yang pas untuk seorang anak menyelami dunia yang luas. Atau bisa dengan membatasi penggunaan gadget pada anak kita, misal di beri waktu sejam atau dua jam, atau anak kita sendiri yang menentukan jamnya. Dan tentunya berbagai solusi yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, kemajuan teknologi adalah sebuah bentuk kemajuan yang luar biasa dalam peradaban umat manusia. Pada awalnya semua itu dibuat untuk tujuan yang baik. Akan tetapi, ada saja beberapa orang yang memanfaatkannya demi kepentingan sendiri. Maka perlulah kewaspadaan kita hadir ketika bermedia sosial, agar kita terhindar dari efek samping media sosial itu sendiri. Kemudian jagalah anak-anak kita dari candu dunia internet.
Hidup itu tentang saling mempengaruhi, jika kita tidak mempengaruhi orang lain maka kita yang akan dipengaruhi.