Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kenapa Orang Kecil Selalu Disuruh Maklum: Sebuah Ketidakadilan Politik
30 April 2025 10:30 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Daffa Febio Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap kali ada masalah, orang kecil yang paling dulu diminta maklum. Harga beras naik, disuruh paham soal situasi global. Listrik mati berjam-jam, disuruh sabar karena ada perbaikan jaringan. Rumah sakit penuh, disuruh mengerti bahwa tenaga medis sedang kewalahan. Rasanya, memahami keadaan sudah jadi beban rutin bagi mereka yang paling sedikit diberi ruang bersuara.
ADVERTISEMENT
Ketika subsidi dicabut, pemerintah bilang itu demi keadilan anggaran. Tapi di lapangan, keadilan itu nggak terasa. Yang pakai kendaraan pribadi tetap bisa isi bensin penuh. Sementara tukang ojek atau ibu-ibu yang jualan sayur harus hitung liter demi liter. Alasannya teknis, penjelasannya rumit, tapi yang diminta tetap sama: maklum. Seolah-olah pengertian rakyat kecil adalah solusi dari semua kebijakan yang berat sebelah.
Waktu anak-anak mereka sekolah tanpa fasilitas memadai, diminta bersabar karena “anggaran terbatas”. Saat jalan rusak bertahun-tahun, dijanjikan akan masuk program perbaikan. Tapi yang dibangun lebih dulu malah proyek-proyek mercusuar yang fotonya bisa dipajang di baliho. Pemerataan jadi jargon, bukan kenyataan. Orang kecil diajak percaya pada perubahan, tapi terlalu sering ditinggal setelah pemilu selesai.
ADVERTISEMENT
Protes dianggap mengganggu ketertiban. Suara keras dari warga disebut “provokasi”. Padahal, bagi banyak orang, itu satu-satunya cara agar keluhannya terdengar. Mereka tidak punya akses ke ruang-ruang pengambilan keputusan. Mereka tidak duduk di forum-forum strategis. Mereka hanya punya suara di jalan dan harapan bahwa ada yang mau benar-benar mendengar, bukan sekadar menenangkan.
Selama pandemi, yang tetap turun ke jalan adalah mereka yang hidup dari harian. Tapi ketika bantuan dibagikan, justru mereka yang sering terlewat. Alasannya selalu sama: data belum lengkap, proses distribusi belum merata. Padahal mereka yang paling rentan, yang seharusnya diprioritaskan. Di sinilah letak luka yang tidak pernah benar-benar disembuhkan Kesenjangan yang terus dianggap biasa.
Maklum menjadi alat untuk menunda kewajiban negara. Selalu ada “nanti”, “dalam proses”, atau “belum bisa sekarang”. Tapi hidup orang kecil tidak bisa ditunda. Kebutuhan mereka tidak bisa dimaklumi terus menerus. Kalau maklum jadi kewajiban yang hanya dibebankan ke bawah, sementara ke atas bebas dari tanggung jawab, maka kita sedang membiarkan ketimpangan tumbuh tanpa kontrol.
ADVERTISEMENT