Kaum Radikal di KPK

Konten dari Pengguna
24 September 2019 16:14 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak, S.E., M.E. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Dua tahun lalu, saya lupa tepatnya hari apa dan tanggal berapa. Sahabat saya menelepon dengan penuh cemas dan sedih, dia mengaku kesulitan mencari kamar rumah sakit untuk merawat “apak” alias ayahnya yang mengalami kanker otak. Melalui bantuan seorang sahabat, aku coba carikan, namun gagal, semua kamar di RSPAD penuh dan akhirnya aku dengar dia mendapat kamar di RS Pusat Otak Nasional di Jakarta Timur.
ADVERTISEMENT
Namun, masalah belum selesai, ternyata tidak tersedia ambulance yang memadai untuk membawa apak dari RS di Serpong menuju RS PON di Jakarta Timur. Akhirnya, aku meminta RSI Cempaka Putih milik Muhammadiyah agar mengirimkan mobil ambulance untuk membantu membawa apak sahabat saya tersebut dari Serpong menuju Jakarta Timur.
Upaya maksimal telah dilakukan, namun kehendak Allah SWT berkata lain, apak dipanggil menghadap Allah SWT setelah bertarung berhadapan dengan kanker otak ganas. Bayangkan, seorang elite di institusi prestisius, yakni KPK, tapi dia menolak untuk menggunakan posisinya untuk memperoleh kemudahan dalam pelayanan, meski itu untuk ayahnya sendiri, bahkan dalam kondisi yang sudah krisis. Dia bertahan dengan etika dan integritas yang dia pegang. Bagi orang kebanyakan, itu adalah etika dan integritas yang radikal. Tak kenal toleransi dengan setiap celah kesempatan yang bisa merusak etika dan integritas tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada peristiwa lainnya, sahabat tersebut melakukan penyelidikan terhadap salah seorang pejabat tinggi negara, dia tak pernah bicara kepada siapapun termasuk kepada anggota keluarga, atau pun sahabat-sahabat dekat terkait kerja-kerja pro justisia yang sedang dilakukan. Sampai akhirnya dia melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap salah satu pucuk pimpinan institusi tinggi negara.
Ketika keluarga mengetahui bahwa yang di-OTT tersebut adalah sahabat dekat orang tuanya, bahkan masih keluarga, makian dan pelbagai tuduhan dialamatkan kepadanya. Dia bergeming, tak ada toleransi bagi siapa pun yang melakukan kejahatan korupsi, bahkan keluarganya sendiri harus ditindak dengan adil dan berkeadilan. Sekali lagi, ini sikap radikal, tak kenal toleransi.
Novel Baswedan. Nama ini jadi legenda KPK dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Ditakuti para koruptor. Dia menjadi korban dari kebencian dan dendam para koruptor, dia kehilangan sebelah matanya karena sikap antitoleransi terhadap koruptor. Sikap radikalnya melawan korupsi berbuah penyerangan terhadap dirinya dua tahun lalu dan sampai saat ini tak kunjung selesai meski presiden telah berjanji “ribuan kali” agar pihak kepolisian mengungkap pelakunya.
ADVERTISEMENT
Pada satu kesempatan, saya berbincang dengan Novel, apakah dia dendam? Dengan ringan Novel menjawab, “Tidak sama sekali, yang mereka lakukan akan kembali kepada mereka sendiri, Mas. Mereka akan mempertanggungjawabkan kepada Allah SWT, kelak,” kata Novel kepada saya.
Novel tahu persis, siapa dalang penyiraman air keras terhadap dirinya, namun dia sama sekali tidak ingin melakukan tindakan di luar hukum, meski dia sendiri tidak percaya dengan proses hukum yang dilakukan, dia tetap berusaha berjuang di koridor hukum tersebut, sampai titik darah penghabisan. Dia menolak melanggar hukum yang sepanjang hidupnya dia perjuangkan agar hukum tersebut tegak. Kesabaran Novel Baswedan sangat radikal. Dia tidak pernah bertoleransi dengan pelanggaran hukum, meski dia tahu hukum tidak berlaku adil terhadap dirinya.
ADVERTISEMENT
Proses politik pelemahan terhadap KPK melalui upaya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berulang dilakukan, setidaknya dua kali dilakukan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni tahun 2010 dan 2012. Namun selalu gagal, karena adanya penolakan dari masyarakat sipil.
Baru pada era pemerintahan Joko Widodo, pelemahan melalui revisi UU KPK dilakukan lebih sistematik dan masif mulai tahun 2015, 2016, 2017, dan barulah pada 2019 ini upaya melakukan revisi tersebut sukses dilakukan. Bagi saya, tidak penting siapa yang menginisiasi, apakah Presiden dan DPR RI, karena pada prinsipnya keduanya sama-sama pernah menginisiasi dan kemudian mereka berbagi tugas.
Presiden pernah menginisiasi revisi pada 2015, meski kemudian tertunda, dan selanjutnya secara konsisten diinisiasi oleh DPR, hanya tahun 2018 inisiasi revisi UU KPK tidak dilakukan karena mendekati Pemilu 2019. Setelah pemilu, barulah ramai-ramai mendorong revisi UU KPK secepat kilat menyambar, tiba-tiba, dan tergesa-gesa.
ADVERTISEMENT
Dalam proses politik revisi tersebut, ada komunikasi politik yang dilakukan berbagai pihak, termasuk meminta KPK agar fokus pada pencegahan, bila mau OTT, ya, peringatkan dulu, lah. Kompromi-kompromi seperti ini sering dilontarkan para politisi kepada KPK, namun sekali lagi para penyelidik dan penyidik KPK yang radikal-radikal tersebut menolak bertoleransi dengan kompromi-kompromi politik seperti itu. Mereka tetap bergeming, siapapun yang melakukan tindak korupsi akan ditindak dengan tegas, tak peduli siapa mereka dan apa latar belakang mereka.
Apakah ada yang bertoleransi dengan kompromi politik tersebut? Ya ada, mereka inilah yang mungkin bisa disebut kelompok pengusung toleransi di KPK, kelompok moderat dalam penanganan kasus korupsi di KPK.
Jadi bersyukurlah, rakyat Indonesia, para radikalis tersebut bersemayam menjaga agenda pemberantasan korupsi di Indonesia melalui KPK, mereka menolak bertoleransi dengan para koruptor.
ADVERTISEMENT
Tengok saja, para pembela koruptor ramai-ramai menuduh KPK dikuasai taliban radikal dengan sentimen agama tertentu dan ingin membersihkan para radikalis ini dari KPK, supaya apa? Supaya KPK diisi oleh pribadi-pribadi toleran terhadap koruptor?
Teruslah radikal lawan korupsi, wahai KPK.
Peneliti Senior Institute Kajian Strategis UNKRI