Gunakan Hak Pilih dengan Bijak: Suara Kita, Pajak Kita!

Danandjaja Rosewika Toriq Budihardja
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Konten dari Pengguna
14 Februari 2024 18:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Danandjaja Rosewika Toriq Budihardja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung-Gedung, Fasilitas Umum, dan Jalanan (Sumber Foto: Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung-Gedung, Fasilitas Umum, dan Jalanan (Sumber Foto: Penulis)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada penyelenggaraan pemilu 2024, pajak mejadi salah satu gagasan yang dijadikan tema debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Dalam hal ini, pajak masuk ke dalam topik pembahasan debat kedua dengan tema ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN, pengelolaan APBD, infrastruktur, dan perkotaan.
ADVERTISEMENT
Dengan masuknya pajak menjadi bagian dari tema debat capres dan cawapres menjelang pemilu 2024, pilihan kita akan menjadi penentu bagaimana pajak kita kedepannya. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan pajak harus menjadi hal yang kita pertimbangkan sebaik mungkin dalam menentukan pilihan kita di dalam pesta demokrasi tahun 2024.
Di samping itu, perpajakan merupakan aspek dengan persentase terbesar dalam menyumbang pendapatan negara. Akan tetapi, penerimaan negara yang bersumber dari perpajakan justru masih terbatas. Padahal, perpajakan menjadi sumber pendanaan terpenting untuk menyokong pembangunan nasional. Pada skala nasional sendiri, perpajakan telah menyumbang angka 80% dari total pendapatan negara, namun perbandingannya terhadap PDB (tax ratio) hanya berkisar 10,4% saja selama tahun 2016 hingga 2022. Sementara itu, pada skala subnasional, pajak dan retribusi daerah perbandingannya hanya sekitar 1,2%-1,4% jika dibandingkan dengan PDRB pada tahun 2016 hingga 2022.
Tren Tax Ratio Selama Periode 2016-2022 (Sumber Grafik: Penulis)
Dari data tersebut, kita dapat melihat bahwa kemandirian fiskal di Indonesia masih relatif rendah. Oleh karena itu, pemilu 2024 sudah semestinya menjadi kesempatan kita untuk mempertimbangkan mana strategi terbaik di antara ketiga calon presiden dan calon wakil presiden dalam menyelesaikan permasalahan tax ratio yang akan menjadi bagian dari penyelenggaraan reformasi perpajakan yang bersifat sustainable.
ADVERTISEMENT
Adapun hal yang melatarbelakangi perlunya pembahasan mengenai pajak dalam pemilu 2024 salah satunya adalah hasil dari survei yang telah dilakukan oleh DDTCNews terhadap 2.080 responden yang berasal dari beberapa generasi. Sebagian besar responden tersebut, yaitu dengan persentase 93,8% dari 2.080 responden, menilai bahwa debat capres-cawapres harus mengusung tema bagaimana kiat pemerintah dalam memperoleh pendapatan sebagai pendanaan program pembangunan. Hal ini tentunya secara tidak langsung mengarah pada penetapan strategi capres-cawapres kita dalam menentukan arah kebijakan perpajakan di Indonesia.
Hasil Survei Terkait Perlunya Debat Capres/Cawapres Pemilu 2024 Mengangkat Topik Mengenai Kiat Pemerintah dalam Memperoleh Pendapatan sebagai Pendanaan Program Pembangunan (Sumber Data: Survei Pajak dan Politik DDTCNews)
Sehubungan dengan tax ratio Indonesia yang masih rendah, tentunya apabila pajak ingin dinaikkan, kita perlu melakukan survei mengenai kerelaan wajib pajak untuk membayar pajak dalam jumlah yang lebih besar. Terkait hal tersebut, hasil survei menyatakan bahwa terdapat 46% responden yang menyatakan rela atau sangat rela untuk membayar jumlah pajak yang lebih besar untuk menyokong pembangunan, dan 25,8% responden menyatakan netral (DDTCNews, 2023). Hasil survei ini tentu dapat menjadi bahan pertimbangan capres dan cawapres dalam menentukan tax ratio yang akan diterapkan. Meskipun terdapat sekitar 61,8% responden rela untuk dinaikkan pajaknya, kita tetap perlu mengkritisi kira-kira seberapa besar marginal jumlah pajak terutang maksimal agar kerelaan mereka akan tetap bertahan. Karena apabila jumah pajak terlalu tinggi, tentu tingkat kepatuhan wajib pajak akan menurun yang berujung pada penurunan kesejahteraan rakyat Indonesia yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan penerimaan negara gagal total.
Hasil Survei Terkait Kerelaan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak yang Lebih Besar dari yang Dibayarkan atas Dasar Peraturan yang Berlaku Saat Ini (Sumber Data: Survei Pajak dan Politik DDTCNews)
Di dalam rencana kebijakan fiskal dari ketiga pasangan calon (paslon), seluruh paslon menetapkan target tax ratio yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata tax ratio pada periode 2016-2022. Meskipun demikian, tetap terdapat perbedaan besar target tax ratio yang ditetapkan di antara ketiga paslon. Maka dari itu, kita sudah seharusnya dapat memperkirakan dan mempertimbangkan mana target tax ratio yang sesuai dengan preferensi yang kita harapkan agar nantinya kita tidak kesulitan dalam mematuhi kewajiban pajak yang kita miliki.
Target Tax Ratio dalam Rencana Kebijakan Fiskal Pasangan Capres dan Cawapres 2024-2029 (Sumber Data: katadata.co.id)
Selain mendongkrak penerimaan negara melalui peningkatan target tax ratio, capres dan cawapres harus mampu menyusun dasar-dasar sektor perpajakan yang kokoh dan bersinergi dengan cita-cita bangsa Indonesia, terutama dalam proses menuju Indonesia emas 2045. Dewasa ini, pemerintah sedang membuat pedoman terkait Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025-2045 yang salah satu visinya adalah pendapatan per kapita yang selevel dengan negara maju. Maka dari itu, diperlukan pertumbuhan ekonomi paling sedikit 6% setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Upaya pemerintah dalam menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar minimal 6% tiap tahunnya demi pendapatan per kapita setara dengan negara maju selanjutnya membutuhkan rancangan perpajakan yang mengarah pada pertumbuhan PDB yang diharapkan. Oleh karena itu, beberapa strategi perlu dilakukan, misalnya strategi revenue neutral growth-oriented untuk menstimulasi pergeseran tax mix yang lebih economy-friendly dari dominasi pajak penghasilan menjadi dominasi pajak berbasis konsumsi dan kekayaan (Johansson, et.al, 2008). Selain itu, juga terdapat strategi untuk menetapkan tarif progresif PPh orang pribadi tertinggi di atas 50% untuk menjamin pertumbuhan yang inklusif (IMF, 2013; Piketty, 2014).
Selain berpatokan pada rancangan desain perpajakan untuk dapat memiliki pendapatan per kapira setara dengan negara maju, pemerintah Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara yang berhasil menjadi negara maju. Keberhasilan tersebut pada umumnya didukung oleh perubahan struktur ekonomi, sistem pemerintahan yang baik, inovasi yang berkualitas, serta sumber daya manusia yang unggul. Meskipun hal ini tidak memiliki kesamaan pola rancangan perpajakan, terdapat komponen penghubung yang sama, yaitu kecukupan dana pembangunan untuk mewujudkan komponen-komponen yang ada untuk mendukung pencapaian status negara maju. Maka dari itu, IMF mengimbau setiap negara untuk memiliki tax ratio sebesar 15% agar dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang sustainable (Gaspar, Jaramillo, dan Wingender, 2016).
ADVERTISEMENT
Dari beberapa aspek yang telah dijelaskan di atas, kita dapat melihat sendiri gambaran-gambaran mengenai bagaimana perancangan perpajakan yang seharusnya berdasarkan preferensi kita masing-masing. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita sebagai rakyat Indonesia mengambil kesempatan dalam pesta demokrasi ini dengan menggunakan hak pilih kita sebaik-baiknya. Salah satunya adalah dengan menilai sejauh mana strategi perpajakan dari seluruh capres dan cawapres dapat diberlakukan secara optimal demi visi Indonesia menjadi negara maju. Hal ini dikarenakan suara kita akan menentukan pajak kita selama 5 tahun kedepan, dengan kata lain suara kita, pajak kita.