Kaum Mendang-mending: Apapun Dibandingkan dan Disandingkan Netizen

Arief Wahyu Pradana
Mahasiswa Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2021 12:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arief Wahyu Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi debat di media sosial dan internet. Foto: Pexels/Nicola Barts
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi debat di media sosial dan internet. Foto: Pexels/Nicola Barts
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian mendengar istilah kaum mendang-mending di media sosial? Kata ini merujuk kepada orang-orang yang sering kali membandingkan suatu hal dan disandingkan dengan dirinya sendiri ataupun orang lain.
ADVERTISEMENT
Golongan ini acap kali menjustifikasi pendapatnya sendiri ketimbang orang lain. Selalu membandingkan keyakinan yang mereka pegang tanpa melihat sisi orang lain. Bahkan ke hal-hal yang tidak relevan sekalipun bisa dibandingkan dan disandingkan. Seakan paling jago dan paling dahsyat.
Dalam sebuah forum diskusi ada yang bertanya perihal, "Saran laptop harga Rp 7jt". Namun beberapa orang lebih menyarankan untuk merakit sebuah komputer dengan dalih, "Mending rakit PC, lebih bagus." Sedangkan alasan mencari laptop pun jelas, agar memudahkan ketika dibawa kemana-mana. Ini mengapa disarankan untuk membeli perangkat komputer yang notabennya banyak perintilannya.
Mbak-mbak mengantarkan sebuah kopi hangat di sebuah warung di ujung jalan. Terdapat 4 orang yang sedang bercengkrama. Disela-sela mengobrol, lalu salah satunya bercerita telah mengalami kecelakaan tunggal dari sepeda motornya. Lebab biru kemerahan dan luka terlihat di sikutnya. Tak ada angin dan hujan, temannya menceletuk, "Lu masih mending, lah gue dulu sampai telapak kaki tertusuk, betis jadi mengeras, dengkul yang pegal, dan pinggul yang ingin copot. Tapi gue biasa aja." Sungguh wadididaw bukan?
ADVERTISEMENT
Kejadian tersebut merupakan gambaran singkat mengenai kaum mendang-mending. Apapun dibandingkan dengan segala keyakinannya. Boleh saja bila ingin menyarankan, tapi balik lagi ke konteksnya apa. Jika melihat dari sisi orang yang bercerita, sebenarnya hanya ingin didengar atau sekadar melepas uneg-uneg yang ada dipikirannya. Tapi yang didapat justru mengadu nasib dengan lawan bicaranya. Siapa yang paling menderita itulah pemenangnya.
Seandainya dibalas dengan rasa iba, jauh lebih humanis. Misal, "Ya ampun, jatuh di mana? Perlu bantuan tidak?" atau sekadar, "Saya memakai laptop merek Asus, sudah 3 tahun masih awet." Hal-hal ini menciptakan nuansa yang positif. Dengan begitu, kita juga bisa menghormati orang lain ketika berbicara. Semoga kita semua senantiasa dijauhkan oleh kaum mendang-mending, Aamiin.
ADVERTISEMENT