Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika Orang Indonesia Ingin Menikah, Orang Jerman Memilih Sendiri
29 November 2019 5:47 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bulan lalu saya mendapatkan sebuah email dari rekan kerja yang juga merupakan teman saya. Dalam email tersebut, ia memberi tahu bahwa ia akhirnya memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya setelah berkencan selama 10 tahun.
ADVERTISEMENT
Tidak ada perayaan besar. Hanya ada formalitas di balai kota, cukup keluarga dekat yang hadir, dan saya pun tidak diundang. Saya ucapkan selamat dan saya lanjut bekerja.
Saat ini saya tinggal di Jerman. Kalau posisi saya di Indonesia mungkin agak berbeda. Pernikahan biasanya dirayakan besar-besaran. Sebisa mungkin mengundang banyak orang. Bahkan yang tidak dekat-dekat amat juga diundang.
Apalagi di era digital ini, undangan pernikahan disebarkan lewat grup Whatsapp. Undangan jadi tidak terlalu personal dan tidak tahu siapa yang akan datang. Momen pernikahan bisa jadi ajang reunian bagi para tamu ketika mempelai harus sibuk bersalam-salaman.
Lalu bagaimana kalau tahu ada teman yang menikah tapi kamu tidak diundang? Hal yang wajar jika saya bilang “Ih kok nikah nggak undang-undang, sih?”
ADVERTISEMENT
Kalau saya mengatakan hal tersebut kepada teman saya yang menikah di sini, kok rasanya kurang pantas. Agak kurang ajar. Pernikahan itu mahal. Semakin banyak orang yang datang, semakin membebani yang menikah. Jadi sangat wajar kalau tidak ada sebuah undangan pernikahan setiap akhir pekan, apalagi dua atau tiga.
Beda negara, beda kebiasaan memang. Masyarakat Indonesia yang memang senang berguyub membuat pernikahan menjadi suatu acara yang wajar untuk dinikmati bersama. Sementara di sini saya merasa momen pernikahan adalah momen yang intim hanya dengan keluarga dan teman terdekat.
Saya pernah diundang ke satu pernikahan sahabat saya di Jerman. Yang diundang hanya 60 orang. Undangan sudah datang berbulan-bulan sebelumnya dan butuh konfirmasi. Boleh membawa pasangan tapi tidak bisa bawa teman-teman yang juga harus dikonfirmasi. Tidak bisa tiba-tiba muncul di hari H dengan membawa pasangan.
ADVERTISEMENT
Kalau menyanggupi datang, maka harus berkomitmen untuk menghabiskan waktu di acara pernikahan tersebut dari pagi dan biasanya sampai bertemu pagi lagi. Tidak bisa punya dua atau tiga acara kondangan dalam satu hari. Jadi biasanya benar-benar orang terdekat saja yang datang ke acara pernikahan seseorang.
Sementara di Indonesia kebiasaan saling undang-mengundang di acara pernikahan ini mungkin menjadi tekanan bagi beberapa orang, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki pasangan. Setiap kali datang ke pernikahan akan ditanya, “kamu kapan?”, “selanjutnya undangan dari kamu, ya?”. Tekanan-tekanan tersebut membuat sebagian orang jadi ingin cepat-cepat menikah karena teman-temannya yang lain sudah.
Selama lebih dari lima tahun tinggal di Eropa, saya terbebas dari pertanyaan-pertanyaan itu. Teman-teman saya di sini juga tidak ada yang menikah karena yang lain sudah. Mereka menikah setelah melalui proses pemikiran yang panjang dan memperhitungkan segala sesuatunya.
ADVERTISEMENT
Melihat kembali kisah-kisah pernikahan di Indonesia yang beberapa harus berujung pada perceraian, kadang ada yang alasannya yang cukup disayangkan. Kita pernah dikejutkan dengan berita seorang suami menceraikan istrinya karena bokong sang istri berwarna hitam. Alasan ini terdengar lucu tapi juga terasa sedih. Kita jadi bertanya seperti apa janji pernikahan yang diucapkan untuk setia sehidup semati?
Alasan-alasan lainnya mungkin lebih serius seperti misalnya tidak bisa memiliki keturunan. Tapi hal tersebut juga bisa dicegah jika sebelum menikah calon mempelai sama-sama memikirkan masa depan, mengecek kondisi tubuhnya ke dokter, dan jika tahu bahwa salah satu dari mempelai ternyata steril, bisa didiskusikan apa yang ingin dilakukan sebelum pernikahan disahkan.
Ada hal-hal lain yang menjadi alasan perceraian rumah tangga di Indonesia. Mulai dari kondisi finansial, masalah keluarga besar, sifat-sifat asli yang baru tampak setelah menikah, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membuat saya berpikir bahwa kelas pra-nikah yang saat ini ingin dicanangkan oleh pemerintah mungkin memang baik jika diikuti.
ADVERTISEMENT
Tentu saja isi dari kelas pranikah tersebut harus disiapkan secara matang. Jangan hanya jadi formalitas, mengajarkan stereotip peran laki-laki dan perempuan, atau hanya menunjukkan kondisi keluarga super ideal yang sulit dicapai.
Kelas pranikah juga sebaiknya tidak diwajibkan. Inilah tantangannya untuk pemerintah bagaimana membuat kelas pra-nikah menjadi menarik sehingga meskipun tidak diwajibkan calon-calon pengantin tetap mau mengikuti kelas tersebut karena informasi penting yang bisa mereka dapatkan.
Di negara-negara barat, persepsi tentang pernikahan sudah banyak berubah. Hubungan seks di luar nikah bukanlah sesuatu yang tabu. Memiliki dan membesarkan anak tanpa hubungan pernikahan juga tidak jarang. Ada yang menikah lalu membangun keluarga, tapi ada juga yang menikah setelah dua puluh tahun baru membangun keluarga.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan sebelum menikah di Indonesia, dianggap biasa saja di Eropa. Sehingga muncul pertanyaan, untuk apa saya menikah? Menikah atau tidak menikah sama saja, sama-sama cinta. Sehingga di sini, jika sampai seseorang memutuskan untuk menikah, itu artinya ia memang benar-benar ingin menikah.
Di Indonesia pada 2017, dalam setiap 1.000 orang ada 134 orang yang menikah. Angka ini didapatkan dengan membanding jumlah angka pernikahan dengan populasi Indonesia. Sementara di Jerman, angka pernikahan sangatlah kecil. Hanya ada 5 orang yang menikah dalam setiap 1.000 orang .
Tentu saja apa yang saya tulis di atas tidak bisa digeneralisir. Tidak semua orang di Indonesia menikah karena kebelet, dan tidak semua orang Jerman benar-benar memikirkan pernikahannya. Namun tetap menarik melihat fenomena pernikahan yang berbeda di kedua negara tersebut.
ADVERTISEMENT