Konten dari Pengguna

Pertemanan dan Pertanyaan 'Kapan Menikah?'

Daniel Chrisendo
European Contributor at Kumparan. Content Writer for Lampu Edison.
20 September 2019 20:18 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Chrisendo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pertemanan. Sumber gambar: Daniel Chrisendo.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertemanan. Sumber gambar: Daniel Chrisendo.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang saya suka dari hidup di Jerman adalah penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak pribadi seseorang. Saya bisa jadi diri sendiri dan hidup seperti apa saja yang saya mau. Semua sah-sah saja asalkan jalan hidup yang saya pilih tidak merugikan orang lain.
ADVERTISEMENT
Hal ini berbeda dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang lebih terbuka terhadap hal-hal yang berbau pribadi. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat ramah. Betapa cepatnya kita merasa dekat dengan seseorang yang baru kita kenal. Baru bertukar nama, kerja di mana, dan tinggal di mana, lima menit kemudian kita bisa tertawa bersama layaknya teman lama.
Persyaratan untuk menjadi teman pun tidak sulit. Ada di dalam kelas yang sama pada saat sekolah atau kuliah cukup untuk seseorang menjadi teman. Datang dari daerah yang sama menjadikan kita teman. Pergi ke tempat kursus atau tempat fitness yang sama menjadikan kita teman. Ada teman sekelas, teman rumah, teman les, teman satu asrama, dan teman-teman yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini yang sulit saya temukan di Jerman. Orang Jerman sangat kritis dengan terminologi teman. Orang yang baru pertama kali bertemu bukanlah teman. Sudah 12 tahun bersekolah bersama tidak secara otomatis menjadikan seseorang sebagai teman.
Inilah yang membuat hubungan dengan orang Jerman terasa tidak hangat. Susah dan butuh waktu lama untuk menembus lingkaran sosial mereka agar bisa dianggap teman.
Teman juga dapat memiliki arti yang berbeda dalam konteks tertentu. Dalam Bahasa Jerman, teman artinya Freund (untuk laki-laki) atau Freundin (untuk perempuan). Tapi ketika kita bilang mein Freund atau meine Freundin, yang secara harfiah berarti my friend atau teman saya, di sini artinya berubah menjadi pacar. Ketika ditambahkan kata ganti posesif, makna kata Freund dan Freundin berubah menjadi lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Untuk menyebutkan seorang teman biasa, orang Jerman tidak berkata mein Freund (teman saya), melainkan ein Freund von mir yang berarti seorang teman saya.
Betapa kritisnya orang Jerman terhadap “teman”. Hal ini membuat mereka sangat menghargai sosok yang susah didapat tersebut. Banyak yang bilang kalau berteman dengan orang Jerman itu susah. Tapi sekalinya dianggap teman mereka akan sangat setia kawan. Mereka akan selalu ada buat kita dan tidak akan pergi ketika kita kesusahan.
Mereka sangat serius dalam membangun hubungan pertemanan, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dianggap kurang pantas ditanyakan tidak akan pernah dilontarkan agar hubungan tidak menjadi rusak.
Contohnya seperti ini. Saya pernah mengomentari seorang teman Jerman saya dengan kata “gemuk”.
Du bist jetz dick,” kata saya. Artinya, "kamu sekarang gemukan".
ADVERTISEMENT
Teman saya langsung marah dan mengatakan bahwa seorang teman tidak akan mengatakan hal-hal “jahat” seperti itu.
Sejak saat itu, saya sadar bahwa komentar-komentar yang sering masyarakat Indonesia lontarkan sebagai kalimat basa-basi ternyata dianggap kurang ajar oleh orang Jerman. Terutama pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penampilan karena dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang.
Misalnya gemukan, atau iteman, atau kurusan, atau kok jerawatan? Atau pertanyaan seperti agamanya apa? orientasi seksualmu apa?
Pertanyaan lainnya yang tidak pantas dilontarkan adalah kapan menikah?
Mungkin pertanyaan tersebut menjadi masalah karena seringnya ditanyakan kepada seseorang yang dianggap sudah pantas untuk menikah namun belum atau tidak menikah. Di balik jawaban dari pertanyaan ini banyak sekali tersimpan hal-hal yang sifatnya pribadi, seperti mungkin masalah kesiapan dalam berumah tangga, finansial, jodoh, kesehatan, prinsip hidup, target lain dalam hidup, dan lain sebagainya yang membuat pertanyaan ini tidak pantas untuk diperbincangkan secara terbuka, apalagi hanya menjadi pertanyaan basa-basi.
ADVERTISEMENT
Asas kehidupan bermasyarakat di Indonesia seperti saling membantu dan gotong royong mungkin terkadang dipraktikan terlalu berlebihan. Sampai-sampai masalah pribadi pun harus dibawa ke ruang umum untuk diselesaikan secara kolektif, seperti dijodoh-jodohkan. Padahal mungkin saja orang tersebut memang memilih untuk tidak menikah.
Dia yang tidak menikah kenapa orang lain yang repot?