Mengenal Sejarah Qatar: Negara Islam, Terkaya dan Teraman

Darul Ma'arif Asry
Founder Fatwa.id & Panrita.id/Inisiator Ikatan Alumni dan Santri Indonesia Timur (TAUSIT)/Part of Nasaruddin Umar Office (NUO) Sulawesi Selatan
Konten dari Pengguna
11 Maret 2021 18:13 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darul Ma'arif Asry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengenal Sejarah Qatar: Negara Islam, Terkaya dan Teraman
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
18 Desember 2020 adalah hari perayaan Hari Nasional Qatar yang ke 142, jika dihitung dari tahun 1878 di mana pendiri negara Qatar, Sheikh Jassim bin Mohammed bin Thani menetapkan dasar-dasar dan pilar dari sejarah Qatar modern.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, pemerintah negara Qatar tidak biasa memunculkan perhitungan ini di dalam perayaan hari nasionalnya, sebagaimana yang biasa dilakukan di Indonesia. Di tahun 1878 itu, Qatar menjadi satu kesatuan negara yang independen. Di mana pada mulanya, wilayah Qatar ditempati oleh beberapa suku yang masing-masing berjuang untuk keamanan dan kehidupan kelompoknya sendiri.
Menyadari kondisi yang rawan terhadap serangan dari luar, Sheikh Mohammed bin Thani, figur ulama dan pembicara, yang percaya terhadap sejarah dan budaya wilayahnya, mulai berusaha menyatukan masing-masing suku di bawah naungan satu bendera. Setelah banyak konsolidasi di antara suku-suku di wilayah Qatar, mereka akhirnya menyetujui usulan Sheikh Mohammed bin Thani dan menerima satu bendera yang menyatukan mereka semua. Bendera ini mirip dengan bendera Qatar saat ini.
ADVERTISEMENT
Perbedaannya, bendera yang menyatukan seluruh suku di Qatar saat itu mencantumkan tulisan "Qatar" berwarna putih di atasnya, lalu menamai bendera ini sebagai "Alaadam"yang berarti sebuah pilar di mana semua orang berkumpul di sekitarnya, termasuk pasukan militer, ini pendapat pertama. Pendapat kedua mengatakan bahwa nama bendera ini berasal dari warna bendera itu sendiri. Orang arab menyebut kuda yang memiliki tanda putih di dahinya sebagai "Aladaam". Begitulah tulisan "Qatar" berwarna putih tercantum di tengah bendera berwarna merah marun. Pendapat kedua adalah yang paling kuat sebagai alasan menamakan bendera ini dengan "Aladaam".
Khalifa International Stadium di Doha, Qatar. Foto: Reuters
Usulan Sheikh Mohammed bin Thani untuk menyatukan semua suku yang sebelumnya memiliki bendera masing-masing, di bawah naungan satu bendera berwarna merah marun, adalah karena beliau sadar bahwa warna ini sangat berkaitan dengan sejarah dan budaya Qatar yang memproduksi warna ini. Warna merah marun aslinya berasal dari pulau Bin Ghannam yang terletak dekat dari Alkhour, sekitar 40 kilometer dari Doha, ibukota Qatar. Di Pulau Bin Ghannam, para arkeolog menemukan banyak sisa-sisa kerang "murex" sumber pewarna merah marun. Pewarna diekstraksi dari sisa-sisa kerang murex, yang mengandung pewarna merah marun. Selain itu, sejarah warna merah marun juga berasal dari milenium ketiga sebelum masehi yang dikaitkan dengan Phoenicians (Dinasti Kanaan) di Arab. Orang Phoenicians telah mempraktikkan perdagangan warna merah marun, yang digunakan oleh raja, pangeran, dan mayoritas masyarakat pada upacara dan ritual kerajaan mereka. Penggunaan warna merah marun ini dibatasi oleh undang-undang yang mengatur penggunaannya, karena penggunaannya saat itu hanya diperuntukkan bagi mayoritas tokoh kelas atas.
ADVERTISEMENT
Pada April 1932, Inggris sebenarnya mengusulkan agar Qatar menggunakan warna merah dan putih untuk benderanya dengan sembilan sudut segitiga (Qatar merupakan negara kesembilan dalam Trucial States Agreement) yang memisahkan secara vertikal warna merah dan putih tersebut. Akan tetapi, usulan ini ditolak oleh Qatar dan tetap mempertahankan warna merah marun sebagaimana bendera persatuan mereka sebelumnya.
Selanjutnya, di tahun 1960, penguasa Qatar waktu itu, Sheikh Ali bin Abdullah Al-Thani membuat sedikit perubahan pada bendera Qatar. Beliau tetap mempertahankan warna putih dan marun, tapi menghapus tulisan "Qatar" dan gambar berlian yang menyertainya. Di tahun 1971, setelah Qatar lepas dari status negara protektorat (di bawah perlindungan) Inggris, ia resmi bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bendera dengan perubahan terakhir di masa Sheikh Ali bin Abdullah Al-Thani itulah yang berkibar di markas PBB.
ADVERTISEMENT
Empat puluh tahun kemudian, di awal tahun 2012, Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa Al-Thani menyadari pentingnya membuat aturan legislasi tentang bendera Qatar. Warnanya, rincian teknisnya maupun protokol penggunaannya. Aturan ini kemudian dituangkan dalam Pasal 1 (Negara dan Dasar Pemerintahan) ayat 3: “Hukum menjelaskan secara spesifik tentang bendera negara, lambang negara, hiasan, lencana dan lagu kebangsaan”
Lebih dalam mengenal pendiri negara Qatar, Sheikh Jassim bin Mohammed bin Thani. Beliau lahir sekitar tahun 1826. Beliau tumbuh berkembang di Fuweirat sampai ayahnya, Sheikh Mohammed bin Thani, pimpinan suku yang paling terkenal di Qatar, pindah ke wilayah El-Bidda. Sheikh Jassim bin Mohammed bin Thani digambarkan sebagai sosok dengan postur tubuh tinggi. Beliau selalu mengimami salat jemaah termasuk salat Jum’at. Saking tingginya, diceritakan bahwa ketika beliau memimpin salat, orang yang berada di saf paling belakang jemaah dapat melihatnya. Bahunya terlihat kokoh, penampilannya sederhana tapi tegas, elegan dan berkarisma. Gambaran sosoknya langka di dalam sejarah. Gambaran ini lebih kurang juga dimiliki oleh Emir Qatar saat ini, Tamim bin Hamad bin Khalifa Al-Thani.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai Islam yang sangat dijunjung tinggi oleh pendiri negara Qatar, Sheikh Jassim bin Mohammed bin Thani adalah; menolong yang tertindas, meringankan penderitaan, membebaskan yang membutuhkan, mengamankan yang takut, dan melepaskan tawanan. Beliau tidak pernah mendengar adanya seseorang yang dipenjara kecuali beliau melepaskannya dengan kekuatan, pengaruh dan finansial yang ia miliki. Semuanya beliau lakukan untuk mencari Ridha Allah, mempertahankan agamanya dan negaranya.
Beliau juga sangat dikenal sebagai sosok yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan menghargai para ulama. Oleh karena itulah, maka beliau membiayai percetakan buku-buku dakwah Islam dan Fiqh maupun membeli buku-buku lain dalam genre yang sama. Semuanya ia lakukan dengan biaya pribadi, lalu membagikannya secara gratis kepada para penuntut ilmu di dalam Qatar maupun didistribusikan ke berbagai negara Islam. Hal ini pun masih penulis jumpai saat ini, di mana negara Qatar melalui Kementerian Agamanya memberikan buku-buku Islam maupun Al-Quran secara gratis kepada setiap pemilik Kartu Penduduk Qatar. Tidak hanya sekali, setiap tiga bulan, kita dapat kembali dan mengambil buku cetakan terbaru dan judul yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan stabilnya urusan dalam negeri Qatar, menguatnya kedaulatan Qatar, jumlah kapal yang beroperasi, perdagangan mutiara yang melonjak hingga Qatar menjadi pusat perdagangan mutiara terbesar, dan lalu-lintas tranportasi meningkat. Bisnis semakin bervariasi, pasar tumbuh menyebar, populasi dan urbanisasi meningkat. Sheikh Jassim memulai projek utamanya untuk pengembangan Qatar. Beliau menaruh perhatian yang sangat besar di dunia pendidikan karena percaya bahwa pendidikan berperan penting dalam membangun manusia dan negara. Oleh karena itulah, beliau mendirikan sekolah-sekolah, membangun masjid-masjid dan mengundang para ulama Sunni dari Najd maupun wilayah lainnya untuk mengajarkan hukum Islam dan dakwah di masjid-masjid.
Beliau mendidik anak dan cucunya dengan ajaran dan dakwah Islam. Salah satu yang beliau undang adalah Sheikh Isa bin Akkas, di mana pada tahun 1881 diminta untuk merespons Muhammad bin Abdullah Al-Farisi terkait dengan tiga isu; 1) sifat-sifat Allah 2) kehidupan Nabi Muhammad saw. dan 3) meminta perlindungan kepada para Nabi dan Wali. Meskipun terkesan sangat sensitif terhadap praktik-praktik yang dianggap menyimpang. Kenyataanya, pemerintah Qatar tidak begitu eksklusif seperti yang mungkin dibayangkan.
ADVERTISEMENT
Di Qatar tidak ditemukan adanya Polisi Syariat seperti di Saudi Arabia misalnya. Bahkan, Imam-imam masjid yang berada di bawah naungan Kementerian Agama Qatar tetap ditoleransi jika mereka melaksanakan salat dengan tidak menggunakan fiqh Mazhab Hanbali yang mayoritas dianut masyarakat Qatar. Begitupun dengan eksistensi masyarakat non-Muslim, pemerintah Qatar menyediakan satu wilayah khusus untuk rumah ibadah non-Muslim, yang disebut "Religious Complex".
Demikianlah sejarah Qatar, bendera dan pendirinya yang di masa kepemimpinannya dikenang dengan keamanan, keadilan dan kesejahteraannya yang terjamin, yang hingga saat ini masih terasa dampaknya. Terbukti, Qatar di tahun 2020, masih menyandang status sebagai negara terkaya di dunia versi Global Finance Magazine dan di saat yang sama juga sebagai negara teraman di dunia dengan menggunakan Numbeo Crime Index pada pertengahan 2020.
ADVERTISEMENT
Data-data sejarah yang penulis dapatkan dari akun resmi panitia perayaan Hari Nasional Qatar di atas menjadi sangat relevan untuk mencoba mulai mempelajari sejarah Qatar sejak masih mengandalkan perdagangan mutiara hingga mengeksplorasi minyak dan gas hingga menjadikannya masuk dalam kategori rentier state, negara yang sumber pendapatannya tidak berasal dari perputaran ekonomi dalam negeri yang ditarik oleh negara berupa pajak, melainkan dari perusahaan Minyak dan Gas milik negara sendiri.
Sehingga, negara terkesan tidak membutuhkan uang rakyatnya. Hal ini mengakibatkan tidak terciptanya kontrak sosial yang cukup kuat antara penguasa dan masyarakat yang membuat negara merasa berkewajiban mengikuti aspirasi rakyatnya (Beblawi 1990).