Konten dari Pengguna

Diplomasi Middle Power, dari Korea hingga Pakistan, dan Moral bagi Indonesia

Darynaufal Mulyaman
Dosen Prodi HI FISIPOL UKI
21 Maret 2022 11:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 14 April 2022 17:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darynaufal Mulyaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Negara (Mathias P.R.Reding/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Negara (Mathias P.R.Reding/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Negara Middle Power atau negara dengan kapasitas kekuatan diplomasi, politik, dan ekonomi global yang mencapai pada level menengah merupakan fenomena unik yang layak untuk dikaji secara mendalam. Fenomena ini muncul sebagai alternatif dari terbelahnya pita global antara negara dengan kekuatan besar (adikuasa untuk beberapa istilah tertentu) dan negara kecil. Negara menengah muncul sebagai dinamika baru pada ranah ilmu hubungan internasional dengan berbagai berbagai implikasinya.
ADVERTISEMENT
Negara Middle Power/Menengah, biasanya identik dengan ekonomi yang cukup prima dengan roda perputaran ekonomi yang cukup besar (belum sangat maju tetapi tidak lagi berkembang dari sangat berkekurangan), investasi yang banyak, serta politik global (atau regional) yang cukup banyak menjadi perhitungan negara-negara lain. Negara-negara yang biasanya digolongkan ke dalam kelompok Middle Power/Menengah antara lain, Mexico, Indonesia, Korea Selatan, Turki, Australia, Colombia, Mesir, Vietnam, Afrika Selatan, Pakistan, dan beberapa negara berkembang lainnya.
Di antara negara-negara yang disebut sebelumnya, Korea Selatan tampil menjadi yang terdepan, mulai dari segi inovasi dan teknologi, tingkat ekonomi, hingga pengaruh diplomasi non-politik yang spektakuler, melalui budaya K-Pop. Korea Selatan seperti dapat mengawinkan dengan baik potensi soft power/kekuatan non-militernya dengan rapih dan handal. Tidak berlebihan jika Korea Selatan didapuk menjadi yang demikian di antara negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Pakistan, di lain sisi, seperti negara yang sepertinya dipertanyakan, apa potensi yang dia miliki dan bagaimana Pakistan dapat mengelola potensi tersebut. Ternyata, Pakistan mampu mengelola potensi soft power/kekuatan non-militer yang dimilikinya. Sebagai salah satu negara muslim terbesar, Pakistan pro-aktif dan lihai memainkan diplomasinya di level global saat mengusung dan menyukseskan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Hari Anti-Islamofobia Dunia yang dipilih akan diperingati tiap 15 Maret.
Menarik jika diperhatikan, Indonesia sebagai negara yang dianggap cukup maju dan mempunyai kemampuan politik dan ekonomi menengah tidak memperhatikan dan memakai potensi dunia muslim yang padahal Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Padahal Indonesia sebagai negara dengan segudang potensi soft power, seperti warisan budaya, adat istiadat, hingga populasi, seharusnya dapat lebih cermat dimainkan dan dibentuk untuk memberikan dampak ekonomis bagi kemajuan negara.
ADVERTISEMENT
Terlebih, potensi di dunia muslim, Indonesia sebagai negara muslim terbesar cenderung diam walaupun selalu menyuarakan bahwa persaudaraan negara islam adalah salah satu bentuk diplomasi alternatif yang dapat dipakai untuk membawa keuntungan bagi negara. Misal, pada saat kasus penyerangan beberapa kali yang dilakukan oleh Israel ke Gaza, Palestina, yang menggagas resolusi Dewan Keamanan PBB untuk gencatan senjata, adalah negara-negara yang memiliki populasi muslim tidak besar seperti Norwegia dan China, atau negara muslim tetapi tidak memiliki potensi yang sama dan sebesar Indonesia, seperti Tunisia dan Pakistan. Seharusnya jika memang Indonesia ingin tampil menjadi negara Middle Power yang cemerlang dan bahkan dianggap maju, seharusnya seluruh potensi yang dimiliki dari segala macam aspek harus diperhitungkan dan digunakan untuk kemaslahatan bangsa.
ADVERTISEMENT
<Darynaufal Mulyaman-Dosen HI UKI & Research Fellow di INADIS>