Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menjaga Hewan dan Lingkungan sebagai Mitigasi Pandemi di Masa Depan
5 November 2020 20:42 WIB
Tulisan dari Dasar Binatang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 merupakan masalah global yang serius dan memengaruhi segala aspek kehidupan. Seluruh negara bertekad berperang melawan virus corona, bahkan beberapa di antaranya ada yang mengalami resesi akibat wabah yang belum menunjukkan penurunan signifikan. Menurut sebuah laporan terbaru yang dikutip dari National Geographic, melestarikan keanekaragaman hayati justru dapat mengurangi risiko manusia terpapar penyakit baru di masa datang.
ADVERTISEMENT
Lee Hannah, ilmuwan dari Conservation International yang fokus pada isu penggundulan hutan, mengatakan bahwa deforestasi merupakan salah satu pemicu utama munculnya pandemi. Hannah menambahkan, tanpa strategi pencegahan, wabah akan muncul lebih sering dan menyebar lebih cepat. Selain itu, ekonomi global akan berjalan lambat, bahkan membunuh lebih banyak manusia daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Hubungan antara perusakan habitat dan wabah penyakit
Rekomendasi laporan Hannah mengambil pendekatan pencegahan untuk membendung penyebaran penyakit yang biasanya muncul dari hewan, atau yang sering disebut dengan "zoonosis". Penyakit hewan yang telah teridentifikasi termasuk HIV, Influenza, Ebola, Zika, dan Nipah muncul dari mikroba hidup di alam liar dan dapat menginfeksi manusia. Sementara itu, beberapa hewan menjadi sumber utama penularan, seperti kelelawar, unggas, dan hewan pengerat. Bahkan, COVID-19 diduga berasal dari sebuah pasar hewan di provinsi Wuhan, Tiongkok, meskipun masih banyak yang memperdebatkan benar atau tidaknya.
ADVERTISEMENT
Para ilmuwan memperkirakan terdapat 1,7 juta virus yang belum sepenuhnya teridentifikasi pada mamalia dan burung. Setengahnya memiliki kemungkinan menginfeksi manusia. Bukan sebuah kebetulan, manusia semakin menekan lingkungan dan membuat orang semakin dekat dengan satwa liar. Hal itu yang diyakini Hannah bahwa peningkatan pandemi juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang tidak ramah pada lingkungan.
Pada November 2019, para ilmuwan membunyikan peringatan bahwa peningkatan deforestasi menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan untuk kemunculan wabah penyakit. Hannah memberikan contoh salah satu penggundulan hutan di Amazon, Brazil, di mana hutan sering dijadikan tempat penggembalaan ternak. Sapi dapat bertindak sebagai perantara antara satwa liar yang terinfeksi dan orang-orang yang bekerja dekat dengan peternakan.
Menghancurkan habitat satwa liar juga akan mendorong hewan ke wilayah baru. Fenomena penebangan hutan memaksa hewan, termasuk kelelawar dan burung, untuk menemukan rumah di lingkungan perkotaan dalam jumlah yang lebih besar. Sehingga, laporan Hannah mengusulkan peluncuran penasihat internasional untuk mengawasi pencegahan pandemi.
Biaya yang mahal untuk solusi di masa depan
Pencegahan ini dapat diupayakan melalui pemberian insentif finansial pada kegiatan konservasi keanekaragaman hayati, dan berinvestasi dalam penelitian dan pendidikan. Aspek kelembagaan juga dipertaruhkan untuk lebih tegas menangani penebangan dan kebakaran hutan. Tidak hanya itu, mitigasi non-struktural, dalam bentuk memberikan perlindungan kesehatan orang-orang yang berisiko terpapar merupakan urgensi yang harus diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Strategi pencegahan mungkin akan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hannah memperkirakan kebutuhan finansial antara 40 miliar US Dollar atau Rp 573 triliun hingga 58 miliar US Dollar atau Rp 832 triliun setiap tahun. Tetapi, pencegahan yang efektif dapat mengimbangi kerugian ekonomi saat pandemi muncul. Satu studi yang diterbitkan mengatakan bahwa COVID-19 telah merugikan Amerika Serikat sekitar 16 triliun US Dollar atau setara dengan Rp 229 kuadriliun.
Terdapat 30 negara yang telah berkomitmen mendukung Campaign for Nature, sebuah kampanye global yang memiliki fokus pada isu perlindungan daratan dan lautan. Namun, Brian O'Donnell, direktur kampanye, menekankan perlunya beberapa langkah yang harus dilakukan untuk menjadi kenyataan. Menurut agenda yang telah ditetapkan, negara-negara akan bertemu untuk Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati pada bulan Mei tahun depan. Ini menjadi kesempatan setiap negara untuk menyuarakan strategi yang berkontribusi untuk mencapai tujuan proyek.
ADVERTISEMENT
Pada akhir laporan, Hannah juga berharap bahwa pemangku kepentingan dan seluruh pihak perlu melihat bahwa kesehatan manusia adalah alasan yang kuat untuk melestarikan alam. Meskipun manusia mungkin menjadi makhluk yang paling tersorot mengalami dampak dari pandemi, tetapi manusia dapat mencari tahu hulu dari kejadian wabah penyakit. Dengan demikian, upaya preventif bukan lagi hanya menjadi wacana dari segala rencana dan kebijakan di atas kertas.