Yitzhak Rabin Dalam Kesepakatan Oslo: Kultur Politik dan Kegagalan Framing

Diandra Ayu Larasati
An IR-enthusiast. Specializing in the subjects of Nation-building and Security Studies.
Konten dari Pengguna
11 Desember 2022 19:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diandra Ayu Larasati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yitzhak Rabin (kiri) saat menyetujui kesepakatan sementara dengan pemimpin PLO, Yasser Arafat, pada tahun 1995. Sumber: npr.org
Kutipan tersebut agaknya cocok untuk menggambarkan perjalanan seorang Yitzhak Rabin. Mantan perdana menteri Israel yang telah berpulang pada tanggal 4 November 1995 tersebut merupakan salah satu tokoh kunci dalam usaha rekonsiliasi Israel-Palestina, sehingga wajar jika ia turut disandingkan dengan pimpinan Palestinian Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat dan menlu Israel saat itu, Shimon Peres, sebagai penerima Hadiah Nobel pada tahun 1994 silam. Meskipun begitu, upayanya dalam mewujudkan perdamaian Israel dan Palestina tersebut justru berakhir secara tragis: Yitzhak Rabin justru menjadi korban pembunuhan di tanah airnya sendiri; di tengah riuh-rendah orang-orang yang sepengetahuannya memiliki visi serupa untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina.
ADVERTISEMENT
Peristiwa tersebut sekilas terlihat seperti sebuah kemalangan nasib yang datang begitu saja entah dari mana. Akan tetapi, seperti layaknya kebanyakan peristiwa yang melibatkan pembunuhan figur penting, terdapat banyak lapisan gagasan serta kepentingan yang menjadi latar belakang persitiwa-peristiwa tersebut. Tidak hanya itu, terbunuhnya Rabin juga memiliki konsekuensi yang tidak main-main terhadap proses perundingan perdamaian di antara Israel-Palestina yang masih berlangsung saat itu. Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk melakukan analisis mengenai latar belakang serta konsekuensi jangka panjang dari persitiwa tersebut, khususnya melalui kacamata ilmu diplomasi. Selain itu, tulisan ini dimaksudkan untuk menjadi bagian kedua dari trilogi kisah tokoh-tokoh kunci kesepakatan Oslo (bagian pertama bisa diakses melalui tautan ini).
Tulisan ini berfokus pada analisis mengenai bagaimana peristiwa pembunuhan Rabin tersebut menjadi ‘ganjalan’ yang berakhir pada gagalnya proses kesepakatan Oslo. Dalam buku Modern Diplomacy tulisan R.P. Barston (2019:57-60) disebutkan empat kategori faktor yang memengaruhi jalannya negosiasi: 1) Setting yang menyangkut latar belakang pihak-pihak yang bernegosiasi seperti dukungan domestik terhadap agenda negosiasi, negosiasi yang dijalankan secara bilateral atau multilateral, ataupun sejarah persahabatan atau permusuhan antar-pihak yang bernegosiasi; 2) Kapabilitas para negosiator baik dari segi kemampuan praktikal negosiasi maupun modal-modal sosial serta power yang dimiliki negosiator dalam mempengaruhi penerapan hasil kesepakatan; 3) Framing yang berfokus pada ‘pengemasan’ isu-isu yang hendak dibawa dalam negosiasi kepada semua pihak yang berkepentingan; 4) Contingent variables yang terdiri atas semua faktor politik internal entitas-entitas negosiator yang memengaruhi perkembangan dan perolehan dari posisi negosiasi. Tulisan ini berargumen bahwa sebagai individu yang mewakili Israel dalam proses negosiasi, Rabin relatif sukses dalam memenuhi faktor pertama dan kedua, namun di sisi lain gagal dalam memenuhi faktor ketiga dan keempat.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan faktor pertama sekaligus kedua, serupa dengan Yasser Arafat, karir kenegaraan Rabin yang panjang dimulai dari militer: Rabin menjadi salah satu pimpinan militer dalam Perang Arab-Israel pada tahun 1948, serta menjadi salah satu chief-of-staff Israel dalam Perang Yom-Kippur pada tahun 1967. Meskipun begitu, setelah itu jalur karir Rabin kemudian berpindah haluan ke sektor. Ia sempat menjabat posisi penting sebagai duta besar Israel untuk Amerika Serikat (AS), lalu diikuti dengan kenaikannya sebagai perdana menteri pada tahun 1974, dimana ia mencetak beberapa prestasi bagi Israel seperti kesepakatan gencatan senjata dengan Suriah pada tahun 1974 serta kesepakatan disengagement dengan Mesir pada tahun 1975.
Meskipun pada tahun 1977 ia sempat mundur karena skandal mengenai kepemilikan akun bank di AS, ia kembali aktif sebagai menteri pertahanan dari tahun 1984 hingga 1990, sebelum menjabat kembali sebagai perdana menteri hingga kematiannya. Menurut Efraim Inbar dalam artikel jurnal Yitzhak Rabin and Israel's national security (1997:25), keberagaman jabatan yang pernah dipegang oleh Rabin sebagai seorang politisi ini tidak dimiliki oleh politisi lain di Israel, sehingga hal ini menciptakan sebuah modalitas yang besar bagi Rabin sebagai tokoh politik yang dapat diterima oleh banyak segmen masyarakat Israel.
ADVERTISEMENT
Singkat kata, bahkan sebelum ia menjadi salah satu inisiator kesepakatan Oslo, Rabin memiliki rekam jejak karir yang sangat berkaitan dengan permasalahan Israel-Palestina, dimana ini menjadi latar belakang penting mengenai bagaimana Rabin dapat menempatkan dirinya sebagai figur penting dalam politik Israel-Palestina. Selain latar belakang personal tersebut, kemunculan Rabin sebagai salah satu tokoh sentral dalam negosiasi Israel-Palestina pun dibentuk berdasarkan pondasi pandangan dan kebijakan yang dianutnya. Meskipun ia merupakan salah satu tokoh kunci dalam perkembangan militer Israel yang sepenuhnya mempercayai penggunaan kekerasan sebagai instrumen penting dalam politik luar negeri Israel (Inbar, 1997:30-31), ia juga mempercayai bahwa kekerasan tidak menjadi satu-satunya opsi yang dimiliki Israel sebagai instrumen politik luar negeri (Inbar, 1997:30-31).
ADVERTISEMENT
Menurut Hemda Ben-Yehuda dalam artikel jurnal Attitude change and policy transformation: Yitzhak Rabin and the Palestinian question, 1967–95 (1997), salah satu kepercayaan penting lain yang dianut Rabin adalah mengenai separasi kebijakan Palestina yang dianut Israel dari politisasi sejarah kaum Yahudi (Ben-Yehuda, 1997:204), dimana hal ini berarti bahwa ia meyakini bahwa Israel tidak perlu menggunakan kekerasan jika tidak benar-benar diperlukan dari sudut pandang strategis. Kombinasi faktor pengalaman militer dan politik, posisi strategis dan berkuasa sebagai perdana menteri Israel pada masa itu, serta sudut pandang pribadi Rabin tersebut secara bersamaan menunjukkan kompetensi Rabin sebagai seorang negosiator yang mampu membuat keputusan yang dapat mengakomodasi kepentingan Israel maupun Palestina. Hal ini merupakan modal yang langka bagi seorang politikus Israel jika melihat sejarah enmity yang sangat kental dan terpolitisasi di antara Israel dan Palestina.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, pada akhirnya Rabin mengalami kegagalan dalam pengelolaan framing tujuan-tujuan dan posisi negosiasi Israel. Menurut Charles Smith dalam buku International Relations of the Middle East (2016), bagi Israel, permasalahan dimulai ketika pihak sayap Kanan Israel tidak dapat menerima keputusan dalam perundingan. Di dalam kesepakatan terdapat pasal yang menyinggung mengenai kemungkinan untuk mengadakan pengurangan daerah yang dapat dialokasikan untuk menampung imigran Yahudi dari seluruh dunia pasca-Perang Dunia II (Smith, 2016:275). Hal ini, menurut Smith, lalu diperparah dengan pernyataan Rabin yang menyebutkan bahwa kedatangan imigran Yahudi tersebut merupakan ancaman keamanan yang lebih besar bagi Israel jika dibandingkan dengan eksistensi Palestina (Smith, 2016:275). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Rabin abai untuk memberikan framing yang sesuai untuk mengemas negosiasi agar diterima dengan baik oleh semua kalangan yang berpengaruh di Israel.
ADVERTISEMENT
Kegagalan ini disebabkan karena pernyataan tersebut bertentangan dengan budaya politik Israel yang disebut oleh sosiolog Uri Ben-Eliezer dalam artikel jurnal A Nation-In-Arms: State, Nation, and Militarism in Israel's First Years (1995) sebagai nation-in-arms. Budaya politik yang telah terbentuk sejak awal kemerdekaan Israel ini memiliki dua komponen penting: 1) Imigrasi orang-orang Yahudi ke tanah Israel yang diikuti oleh repopulasi orang Yahudi; 2) Integrasi paham militerisme di seluruh lapisan masyarakat Israel (Ben-Eliezer, 1995:276). Pola ini telah diyakini oleh pihak otoritas maupun masyarakat Israel, terutama oleh kalangan sayap Kanan Israel. Hal ini lah yang kemudian menjadi katalis dalam pembunuhan Rabin oleh sayap kanan Israel pada tanggal 4 November 1995 untuk menaikkan Benjamin Netanyahu, yang merupakan politisi dari golongan sayap kanan, ke posisi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kematian Rabin dan naiknya Netanyahu sebagai perdana menteri setelah masa interim Shimon Peres tersebut kemudian turut berdampak pada relevansi kesepakatan Oslo (Smith, 2016:275-276). Netanyahu merupakan politisi dari aliran sayap kanan Israel. Dengan politisi sayap kanan sebagai pemegang tampuk kekuasaan, maka faktor keempat negosiasi, yaitu contingent variables, menjadi tidak terpenuhi karena berubahnya komitmen domestik Israel untuk mempertahankan tujuan dan posisinya dalam proses negosiasi. Karena itu, merupakan sebuah hal yang tidak mengagetkan jika pemerintah Israel akhirnya tidak menepati kesepakatan yang telah diraih dalam kesepakatan Oslo I maupun II mengenai permasalahan permukiman (Smith, 2016:275-276), yang pada akhirnya membuat upaya negosiasi yang sudah dilakukan sebelumnya mengalami regresi dan Israel-Palestina kembali terlibat dalam konflik berdarah hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Melalui pemaparan dalam tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa Yitzhak Rabin memiliki peranan yang besar sebagai individu dalam proses diplomasi Israel-Palestina menuju perdamaian, dimana pengaruh modal sosial yang sudah dikumpulkan sepanjang karirnya maupun tindakan yang dilakukan Rabin terkait dengan proses-proses negosiasi sangat memengaruhi bagaimana Israel menyikapi persoalan Palestina yang telah lama menjadi salah satu kekhawatiran keamanan nasional negara tersebut. Secara spesifik, jika dilihat melalui kacamata ilmu diplomasi, tulisan ini melihat bahwa kematian Rabin jelas menimbulkan dampak negatif bagi perjuangan negosiasi Israel dan Palestina menuju penyelesaian konflik bersenjata yang tidak kunjung usai.