Ini Kisahku ketika Melakukan Percobaan Bunuh Diri

Deanda Dewindaru
Kamu itu seperti tahu telor. I-S-T-I-M-E-W-A.
Konten dari Pengguna
23 Maret 2017 15:28 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deanda Dewindaru tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Every cloud has a silver lining.
Yup, ini bener banget sih, segala sesuatu ada hikmahnya. Mungkin itu hanya ungkapan yang gue inget dari les di L*A pas SMP. Dulu gue menganggap itu cuman "Oh yaudah, keren bahasanya buat status di Facebook", tapi sekarang, itu bagian dari kata mutiara gue.
ADVERTISEMENT
Pas gue masih jaman SMA, setiap ada masalah gue mikir "gue adalah manusia tersusah se-dunia". Well, ini lebay banget sih kalau gue inget-inget, alay banget malah. Tapi namanya juga AGB a.k. Anak Gaul Bekasi merasa punya segudang masalah. Padahal masalahnya cuman dikeluarin sama guru dari kelas dan gak bisa ikut ujian, kunci motor ilang padahal harus latihan marching band atau senior nggak ngelirik gue padahal suka sama dia udah tiga tahun.
Lambat laun, pasca gue lulus SMA kebanggaan Bekasi *hasek, gue mau nggak mau harus jauh dari orang tua. Gue kuliah di salah satu kampus di Depok dengan almamater warna kuning. Bagi gue, Depok-Bekasi itu jauh banget. Yup, gue lebay lagi. Gue terbiasa nggak jauh dari rumah. Ditambah gue long distance relationship sama pacar (sekarang mantan). Awal-awal kuliah gue stres, dan hampir semua mahasiswa baru merasakan hal itu. Untungnya, gue dan sahabat satu kampus bahkan satu kamar kosan.
ADVERTISEMENT
Gue ngerasa mental gue ditempa ketika kuliah Biar lebih hasek lagi, gue mencoba ikut BEM biar cem aktivis (gue di departemen kepemimpinan dan kewirausahaan). Selain itu, gue ikutan Rumah Belajar semacam ngajarin anak kecil di desa dekat kampus gue.
Foto bersama adik-adik Rumah Belajar
Semester 1 dan 2 okelah nggak stress banget dan mampu adaptasi. Tapi pas di semester tiga, akhir tahun 2013, gue mengalami titik bifurkasi . Kalau baca novelnya Dewi Lestari pasti tau ini apa. Ini tuh semacama fenomena dimana sebuah sistem terbagi kedalam dua kemungkinan perilaku (behavior) akibat perubahan kecil pada satu parameter. Perubahan lebih lanjut akan mengakibatkan percabangan dua dalam interval regular, sampai pada akhirnya masuk ke kondisi chaos.
ADVERTISEMENT
Chaos. Gue super chaos. BEM gue berantakan karena waktu itu temen gue yang menjabat Ketua Pelaksana menghilang, dan gue yang ditanya-tanya sama atasan dan partner acara. Dunia akademik gue juga rasa menurun dan ngerasa nggak mampu menjalani sebagai mahasiswi Komunikasi. Gue nggak hebat dibandingkan teman-teman gue.
Dalam dunia percintaan, gue gagal. Mantan SMP gue datang dan ada suatu hal antara gue sama dia sampai ngebuat gue literally hancur sebagai seorang perempuan. It's a bit privacy, tho. Dalam waktu bersamaan, gue juga putus sama pacar nan jauh di sana. Plus, sahabat gue marah besar sama gue karena gue ceritain hal antara gue dengan mantan SMP sampai dia nggak ngajak gue ngobrol selama dua bulan dan kita pisah ranjang (pindah kamar kosan).
ADVERTISEMENT
Biasanya gue curhat ke orang tua gue, tapi saat itu keluarga gue lagi dalam kondisi nggak terlalu baik. Ayah gue jauh di Semarang (waktu itu ayah kerja di Semarang) dan gue nggak mau beliau mikirin gue. Alhasil, gue ngekeep semua itu sendirian.
Gue bingung, bener-bener bingung mau curhat sama siapa waktu itu. Ngerasa diacuhkan sama semua orang terdekat dan nggak berguna banget. Yang gue pikirin adalah: BUNUH DIRI.
Gue mikir cara bunuh diri yang tepat apa. Mulai dari gantung diri sampai nabrakin diri aja. Akhirnya gue memutuskan untuk mencoba bunuh diri dengan pisau. Hal ini terinspirasi dari film Ada Apa Dengan Cinta a.k. AADC. Alay detected!
Ilustrasi sebilah pisau
ADVERTISEMENT
Percobaan bunuh diri ini gue lakukan di rumah ketika orang-orang di rumah pergi (lupa kemana waktu itu). Dengan sebilah pisau di dapur mama, gue mencoba untuk mengiris ke tangan sambil bercucuran air mata. Gue coba mengiriskan di tangan dan NGGAK BISA. NGGAK SAKIT PULA. Tiba-tiba gue kepikiran kenapa gue harus bunuh diri. Kalau pisaunya tajam pasti sakit dan gue udah mati kali sekarang. Akhirnya gue berhenti untuk nggak ngelakuin lagi. Dan bodohnya lagi, pisau yang gue pakai itu udah tumpul. Pantesan mama beli pisau baru.
Walau begitu, gue masih ngerasa depresi nggak karuan. Tiap hari pasti nangis diam-diam, jarang senyum dan nggak ngobrol sama orang kalau nggak menyangkut kerja kelompok atau BEM. Tiba-tiba ada broadcast messange tentang emotional healing yang diadain kemahasiswaan fakultas gue. Tanpa pikir panjang, gue langsung ikutan.
ADVERTISEMENT
Emotional healing yang diselenggarakan top cer abis. Di acara itu gue diajarin how to control your emotion, how to manage your problem. Di sesi terakhir ada sisi curhat dengan psikolog dari bina konseling kampus. Gue memanfaatkan ini untuk curhat masalah gue termasuk yang percobaan bunuh diri karena gue yakin psikolog dapat membantu gue dan ini GRATIS (oportunis yes?). Akhirnya gue ngerasa lega banget macam lagi masuk angin terus anginnya keluar.
Ilustrasi emotional healing
Beberapa saran yang diberikan oleh psikolog yang gue inget kaya gini
1. Cerita! Kalau nggak sanggup nahan beban hidup, cerita sama orang. Kalau sungkan, bisa curhat sama bina konseling semacam psikolog. Kalau masih kuliah, biasanya ada bina konseling universitas.
ADVERTISEMENT
2. Dekatkan diri dengan Tuhan. Sesungguhnya Tuhan itu selalu mendengarkan kisah para hambanya walau sebrengsek apapun dia. Dengan mendengatkan diri ke Tuhan, lo ngerasa lebih nyaman dan aman.
3. Liburan. Rasa penat lo akan terbebaskan dengan melihat pemandangan alam atau bisa aja lo ke Dufan untuk teriak-teriak. Sumpah, ini plong.
*Untuk poin nomor 1, kalau lo masih malu untuk cerita tatap muka, lo bisa curhat di beberapa website untuk curhat semacam curhat.com.
Gue menjalani hal itu semuanya. Agar jauh dari lingkungan gue sejenak, gue ikut AIESEC, semacam organisasi Internasional pemuda untuk menjalankan (yang katanya) misi sosial, pendidikan dan budaya. Gue pergi ke Maroko waktu itu sekalian refreshing. Duh, bagus banget waktu dulu di Maroko.
Waktu di Gurun Sahara, Januari 2014
ADVERTISEMENT
Setelah lari sejenak dari semua yang ada, gue mulai menata hidup gue kembali. Gue mendapatkan ajakan dari temen gue untuk ngebangun lagi departemen BEM gue kembali. Jujur, gue masih ngerasa trauma saat itu karena karena takut gagal lagi, tapi gue masih punya ambisi untuk memperbaikinya. Dan terbukti, departemen gue mendapatkan salah satu predikat departemen terbaik di BEM.
Penghargaan Badan Pengurus Harian terbaik dan Departemen terbaik.
Masalah akademis itu justru buat gue tercengang. Gue malah dapat IP tinggi banget saat itu. Bukannya bermaksud congak, pongak atau jumawa, IP gue 3,89. Unbelievable!
Selain urusan BEM, gue baikan sama sahabat gue. Sampai sekarang gue masih sering jalan dan curhat-curhat sambil ngirimin foto alay.
ADVERTISEMENT
Masalah mantan yang kuliah di Semarang, gue masih berhubungan dengan dia, bahkan gue ngirimin semangat sidang untuk hari ini *cie. Kalau untuk mantan SMP gue, gue memutuskan untuk tidak berhubungan kembali karena emang brengs*k sih.
Well, gue sekarang mengerti makna "every cloud has a silver lining". Gue merasa setiap masalah yang gue temui membuat gue semakin kuat dan membawa hikmah. Mental gue semakin kebentuk. Gue berani jalan jauh dan bertemu dengan orang-orang baru. Melalang buana ke Malaysia, Singapur lanjut ke Surabaya dan Malang sendirian. Dan terakhir, gue nggak bakalan mikir untuk bunuh diri lagi karena gue mau nikah, HAHAHA (padahal cowonya belum ada, yang penting niat).