news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Herbarium berbasis Artificial Intelligence untuk Manajemen Koleksi Ilmiah Cerdas

Deden Sumirat Hidayat
Saya, Dr. Deden Sumirat Hidayat, M.Kom., peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan fokus pada teknologi informasi, sistem informasi, ilmu komputer, knowledge management system, biodiversity informatics, dan AI-based system
24 Maret 2025 15:35 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deden Sumirat Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1. Ilustrasi Herbarium berbasis Artificial Intelligence (AI-generated, dibuat oleh penulis menggunakan model AI DALL·E).
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Ilustrasi Herbarium berbasis Artificial Intelligence (AI-generated, dibuat oleh penulis menggunakan model AI DALL·E).
ADVERTISEMENT

Ringkasan

Kecerdasan Buatan atau artificial intelligence (AI) untuk pengelolaan herbarium mengacu pada penerapan teknik komputasi canggih dan data science, khususnya pembelajaran mesin atau machine learning, untuk meningkatkan digitalisasi, analisis, dan manajemen spesimen herbarium. Integrasi teknologi AI ini berpotensi merevolusi penelitian botani dengan mengotomatiskan tugas-tugas yang memakan waktu, seperti identifikasi spesies, ekstraksi data, dan analisis morfologi, yang pada akhirnya meningkatkan efisiensi dan akurasi operasional herbarium. Upaya digitalisasi herbarium, yang telah berlangsung sejak abad ke-16, kini semakin maju dengan kemampuan AI, memberikan akses yang belum pernah ada sebelumnya ke spesimen tanaman dan berkontribusi secara signifikan terhadap penelitian keanekaragaman hayati serta upaya konservasi [1][2][3].
ADVERTISEMENT
Secara historis, herbarium telah berfungsi sebagai sumber daya penting bagi para taksonomis dan ahli botani, tetapi tantangan dalam mengakses koleksi fisik yang luas mendorong peralihan ke digitalisasi pada awal abad ke-21. Institusi seperti Smithsonian dan National Herbarium of New South Wales menjadi pelopor dalam proyek digitalisasi skala besar, mengubah jutaan spesimen menjadi format digital yang mendukung penelitian jarak jauh dan kolaborasi ilmuwan di seluruh dunia [4][5]. Integrasi teknologi AI, seperti Convolutional Neural Networks (CNN), semakin mempercepat upaya ini dengan mengotomatiskan identifikasi spesies tanaman dan ekstraksi data dari label spesimen, sehingga mengungkap wawasan tentang morfologi tanaman dan pola ekologi yang mungkin sulit diamati secara manual [1][2].
Meskipun terdapat kemajuan ini, integrasi AI dalam pengelolaan herbarium tidak lepas dari tantangan. Pertimbangan etis mengenai kepemilikan data dan hak akses, terutama terkait dengan komunitas adat dan lokal, harus ditangani agar manfaat dari proyek digitalisasi dapat dirasakan secara adil. Selain itu, masalah terkait kualitas data, standardisasi, dan keterbatasan sumber daya yang dihadapi banyak institusi menjadi kendala utama dalam merealisasikan potensi AI sepenuhnya di bidang ini [2][6][7]. Dengan mendorong kolaborasi lintas disiplin dan menetapkan praktik terbaik, para peneliti BRIN dan institusi lainnya dapat berupaya mengatasi kompleksitas ini sambil memanfaatkan AI untuk meningkatkan pemahaman kita tentang keanekaragaman hayati tumbuhan dan responsnya terhadap perubahan iklim [1][8].
ADVERTISEMENT

1. Sejarah

Digitalisasi spesimen herbarium telah mentransformasi penelitian botani sejak munculnya teknologi informasi dan pencitraan digital. Secara historis, herbarium berfungsi sebagai repositori spesimen tanaman sejak abad ke-16, yang sangat penting untuk studi dan klasifikasi spesies tanaman. Namun, seiring bertambahnya koleksi, akses dan studi terhadap spesimen menjadi semakin sulit. Dorongan untuk digitalisasi dimulai secara serius pada awal abad ke-21, didorong oleh kebutuhan untuk membuat data dalam jumlah besar dapat diakses untuk penelitian dan upaya konservasi.
Saat ini, Indonesia mempunyai lebih dari dua puluh herbarium baik pada tingkat perguruan tinggi, lembaga swasta, non pemerintah, dan institusi penelitian. Salah satu di antaranya adalah Herbarium Bogoriense yang dikelola oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan menjadi pusat koleksi referensi tumbuhan flora Indonesia. Herbarium ini adalah yang tertua dan terlengkap di Asia Tenggara. Didirikan pada tahun 1841, Herbarium Bogoriense memiliki sekitar dua juta satu koleksi referensi spesimen tumbuhan termasuk berbagai seni atau lukisan botani dan simpan oleh para ilustrator botani (delineo).
ADVERTISEMENT
Kemajuan signifikan dalam teknologi digital, terutama pencitraan beresolusi tinggi, menjadi titik balik dalam pengelolaan herbarium. Sebagai contoh, National Herbarium of New South Wales memulai proyek digitalisasi skala besar, yang bertujuan untuk membuat salinan digital rinci dari lebih dari 1 juta spesimen tumbuhan [1]. Proyek ini tidak hanya meningkatkan aksesibilitas tetapi juga melestarikan spesimen fisik dalam format digital, memfasilitasi penelitian jarak jauh dan kolaborasi ilmuwan di seluruh dunia.
Pada tahun 2015, institusi seperti Smithsonian mulai mengadopsi teknologi inovatif untuk mempercepat proses digitalisasi. Implementasi sistem kamera dan konveyor memungkinkan pemindaian cepat dalam jumlah besar, secara dramatis meningkatkan efisiensi. Lompatan teknologi ini memungkinkan digitalisasi inventaris herbarium yang luas, yang mencakup lebih dari lima juta spesimen, dengan rencana untuk membuatnya dapat diakses secara daring [4].
ADVERTISEMENT
Integrasi AI dalam upaya digitalisasi semakin merevolusi pengelolaan herbarium. Algoritma machine learning mulai memainkan peran penting dalam menganalisis gambar beresolusi tinggi, mengotomatiskan tugas seperti klasifikasi spesies dan ekstraksi data dari label spesimen. Studi terbaru menyoroti kemampuan AI dalam meningkatkan akurasi dokumentasi karakteristik morfologi dan mengidentifikasi pola dalam data yang mungkin terlewat oleh peneliti manusia [2][3].
Seiring dengan terus berkembangnya upaya digitalisasi, sejarah pengelolaan herbarium mencerminkan pergeseran signifikan menuju integrasi teknologi mutakhir. Evolusi ini tidak hanya mendemokratisasi akses ke koleksi botani tetapi juga berpotensi mengungkap wawasan ilmiah baru dan mendorong penelitian kolaboratif lintas disiplin [5].

2. Penerapan Kecerdasan Buatan dalam Herbarium

AI telah secara signifikan mengubah manajemen dan analisis spesimen herbarium dengan memanfaatkan teknik machine learning yang canggih, khususnya CNN. Teknologi ini telah mengotomatisasi berbagai proses, sehingga meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pengelolaan data herbarium.
ADVERTISEMENT

2.1. Identifikasi Spesimen Otomatis

Algoritma machine learning, terutama CNN, digunakan untuk secara otomatis mengidentifikasi dan mengklasifikasikan spesimen tanaman dari gambar digital beresolusi tinggi. Gambar 2 menunjukkan arsitektur model CNN untuk identifikasi daun herbarium dimulai dengan classified image, di mana gambar daun dikategorikan berdasarkan fitur-fiturnya; kemudian melalui input layer dan hidden layer, gambar dimasukkan ke dalam jaringan saraf dengan lapisan konvolusi dan pooling yang mengekstrak pola unik dari tekstur dan bentuk daun; akhirnya, output layer menghasilkan klasifikasi akhir berdasarkan fitur yang telah diproses, menentukan jenis atau spesies daun tersebut.
Gambar 2. Arsitektur model CNN (dibuat oleh penulis, adopsi dari https://www.linkedin.com/pulse/understanding-convolutional-neural-networks-cnns-best-al-ameen/).
Otomatisasi ini secara drastis mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk identifikasi manual serta meningkatkan akurasi pengumpulan data. Misalnya, para peneliti di Botanic Gardens of Sydney telah mengembangkan model CNN yang mampu mendeteksi dan mengukur daun dalam sampel herbarium yang dipindai, dilatih dengan kumpulan data beragam yang mencakup berbagai bagian tanaman [1][3]. Penelitian ini menerapkan teknik computer vision tingkat lanjut untuk mengembangkan ‘Hespi’ (HErbarium Specimen sheet PIpeline), yang mengekstrak subset pra-katalog dari data koleksi pada label institusional spesimen herbarium dari gambar digitalnya (Gambar 3 dan Gambar 4).
ADVERTISEMENT
Pipeline ini mengintegrasikan dua model deteksi objek; model pertama mendeteksi kotak pembatas di sekitar label berbasis teks, sedangkan model kedua mendeteksi kotak pembatas di sekitar bidang data berbasis teks pada label institusional utama. Pipeline ini mengklasifikasikan label institusional berbasis teks sebagai cetakan, ketikan, tulisan tangan, atau kombinasi dari ketiganya, serta menerapkan Optical Character Recognition (OCR) dan Handwritten Text Recognition (HTR) untuk ekstraksi data (Gambar 4).
Teks yang dikenali kemudian dikoreksi dengan basis data otoritatif dari nama takson. Teks yang diekstrak juga diperbaiki dengan bantuan Model Bahasa Besar (LLM) multimodal. Hespi secara akurat mendeteksi dan mengekstrak teks dari dataset uji, termasuk gambar lembar spesimen dari berbagai herbarium internasional.
Komponen pipeline ini bersifat modular, sehingga pengguna dapat melatih model mereka sendiri dengan data mereka sendiri dan menggunakannya sebagai pengganti model yang disediakan.
Gambar 3. Arsitektur/ pipeline Hespi (Sumber [1]: https://arxiv.org/html/2410.08740v1/x5.png)
Gambar 4. Contoh prediksi koleksi herbarium (Sumber [1]: https://arxiv.org/html/2410.08740v1/x6.png)

2.2. Ekstraksi dan Analisis Data

ADVERTISEMENT
Alat berbasis AI memfasilitasi ekstraksi cepat ciri morfologi dari spesimen herbarium, memungkinkan para peneliti menganalisis sejumlah besar data secara efisien. Sebuah studi terbaru menunjukkan penerapan machine learning dalam menganalisis lebih dari 3.000 sampel daun, mengungkap wawasan mengenai variasi ukuran daun dalam kaitannya dengan iklim [2]. Kemampuan ini tidak hanya mempercepat pemrosesan data tetapi juga meningkatkan akurasi dokumentasi karakteristik tumbuhan, bahkan berkontribusi pada pemahaman yang lebih dalam tentang keanekaragaman hayati tumbuhan.

2.3. Penelitian Fenologi

Model machine learning juga berperan penting dalam penelitian fenologi, yang meneliti hubungan antara karakteristik tanaman, seperti ukuran daun, dan variabel iklim. Dengan menganalisis bagaimana perubahan iklim memengaruhi morfologi tanaman, para peneliti dapat memperoleh wawasan tentang potensi adaptasi serta strategi konservasi [1][[3].
ADVERTISEMENT

2.4. Peningkatan Kualitas dan Standarisasi Data

Teknologi AI mengatasi tantangan kualitas dan standarisasi data dalam koleksi herbarium. Format data yang tidak konsisten dapat menghambat integrasi dan analisis data. Oleh karena itu, lembaga disarankan untuk mengadopsi protokol standar dalam entri dan pengelolaan data, seperti penggunaan kosa kata yang dikendalikan dan penerapan langkah-langkah kontrol kualitas yang ketat [2]. Dalam konteks ini, AI dapat membantu dalam memantau standar ini, memastikan keandalan data.

2.5. Pertimbangan Etis dan Upaya Kolaboratif

Seiring dengan berkembangnya upaya digitalisasi, pertimbangan etis mengenai kepemilikan dan akses data harus diperhatikan. Penting untuk menyeimbangkan akses terbuka terhadap data dengan hak kolektor spesimen serta memastikan keterlibatan komunitas adat dan lokal dalam proses digitalisasi [2]. AI dapat mendukung inisiatif ini dengan memungkinkan kolaborasi antar lembaga untuk berbagi praktik terbaik dan sumber daya dalam mengelola koleksi herbarium digital.
ADVERTISEMENT

3. Tantangan dan Keterbatasan

Integrasi AI dalam pengelolaan herbarium menghadapi beberapa tantangan dan keterbatasan yang perlu diatasi agar implementasi dapat berjalan dengan sukses dan pemanfaatannya lebih efektif. Tantangan ini mencakup masalah terkait kualitas dan standarisasi data, keterbatasan teknologi, keterbatasan sumber daya, serta pertimbangan etis.

3.1. Pertimbangan Etis

Seiring dengan berkembangnya upaya digitalisasi, pertimbangan etis mengenai kepemilikan dan akses data menjadi semakin penting. Institusi harus menyeimbangkan antara memberikan akses terbuka terhadap data dan menghormati hak para kolektor spesimen. Selain itu, keterlibatan komunitas adat dan lokal dalam proses digitalisasi sangatlah penting, terutama untuk spesimen yang dikumpulkan dari wilayah mereka, guna memastikan keterlibatan yang etis serta penghormatan terhadap warisan budaya [2][6].
Dengan mengatasi tantangan ini melalui pendekatan yang komprehensif, termasuk pengembangan standar dan pedoman yang jelas, investasi dalam pelatihan staf, dan mendorong kolaborasi. Maka potensi AI dalam meningkatkan pengelolaan herbarium dapat dimaksimalkan, yang pada akhirnya berkontribusi pada penelitian keanekaragaman hayati dan upaya konservasi [2][6].
ADVERTISEMENT

3.2. Kualitas dan Standarisasi Data

Salah satu tantangan utama dalam digitalisasi koleksi herbarium adalah memastikan kualitas dan standarisasi data yang dikumpulkan. Format data yang tidak konsisten dapat menghambat integrasi dan analisis data, yang dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak akurat. Untuk mengatasi masalah ini, institusi perlu menerapkan protokol standar dalam entri dan manajemen data, termasuk penggunaan kosa kata yang dikendalikan untuk nama spesies dan lokasi geografis, serta menerapkan langkah-langkah kontrol kualitas yang ketat selama proses entri data [2]. Pembaruan dan pemeliharaan basis data secara berkala juga diperlukan agar dapat mencerminkan temuan dan koreksi terbaru [2].

3.3. Keterbatasan Teknologi

Meskipun teknologi terus berkembang, masih terdapat berbagai keterbatasan yang mempengaruhi proses digitalisasi dan pengelolaan koleksi herbarium. Misalnya, algoritma machine learning memerlukan kalibrasi dan validasi yang cermat agar dapat berfungsi dengan efektif. Para peneliti harus memilih algoritma yang sesuai dengan jenis data yang dianalisis serta memastikan bahwa kumpulan data pelatihan mencerminkan keberagaman dalam koleksi herbarium. Penyempurnaan algoritma ini harus dilakukan secara terus-menerus, terutama untuk spesies langka yang mungkin memiliki jumlah data yang terbatas [2]. Selain itu, variabilitas dalam kualitas gambar dan kondisi pencahayaan juga menjadi tantangan dalam ekstraksi karakteristik dari gambar spesimen [7].
ADVERTISEMENT

3.4. Keterbatasan Sumber Daya

Banyak institusi yang terlibat dalam digitalisasi herbarium menghadapi keterbatasan sumber daya yang signifikan, termasuk keterbatasan dana untuk teknologi dan tenaga kerja, serta kurangnya pelatihan bagi staf dalam penggunaan alat dan teknik digitalisasi yang baru [2]. Keterbatasan ini dapat menghambat adopsi dan pemeliharaan teknologi AI secara efektif. Upaya kolaboratif antar institusi sering kali diperlukan untuk berbagi sumber daya dan keahlian, namun kolaborasi semacam ini dapat menjadi sulit untuk dirancang dan diinisiasi.

4. Kemajuan Terbaru

Inovasi mutakhir dalam penerapan AI di bidang penelitian herbarium telah meningkatkan kemampuan dalam identifikasi dan analisis spesies secara signifikan. Sebuah studi terbaru (Gambar 5) menunjukkan bahwa neural networks mampu membedakan antara dua famili tumbuhan yang serupa dengan tingkat akurasi lebih dari 90% [4]. Penelitian ini melanjutkan upaya digitalisasi selama bertahun-tahun di institusi seperti Smithsonian, yang bertujuan untuk membuat koleksi herbarium lebih mudah diakses baik untuk keperluan akademik maupun publik.
Gambar 5. Algoritma machine learning yang dikembangkan dapat mengukur dan mengidentifikasi spesimen tumbuhan (Sumber [4]: https://scx2.b-cdn.net/gfx/news/2023/ai-reveals-hidden-trai-1.jpg)

4.1. Integrasi Machine Learning

ADVERTISEMENT
Integrasi teknologi machine learning, khususnya CNN, telah terbukti efektif dalam mengotomatisasi identifikasi komponen tumbuhan. Para peneliti telah mengembangkan algoritma yang mampu mendeteksi dan mengukur fitur seperti ukuran daun dari gambar yang dipindai, sehingga memberikan wawasan tentang hubungan ekologis dan dampak iklim [1][10]. Pelatihan algoritma ini melibatkan pembuatan kumpulan data yang luas, yang mencakup gambar berlabel dari daun, batang, dan bunga, guna memastikan pengenalan dan pengukuran yang akurat [10].
Penelitian ini menawarkan kolaborasi antara manusia dan AI sebagai solusi inovatif untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan koleksi herbarium. Penelitian ini juga mengembangkan prototipe perangkat lunak yang bertujuan meningkatkan ekstraksi metadata dari gambar spesimen digital. Prototipe ini menyediakan platform yang memungkinkan integrasi layanan AI berbasis web, seperti Google Vision dan large language model (LLM) OpenAI GPT. Uji coba awal menunjukkan bahwa pendekatan ini efektif untuk spesimen herbarium dan serangga, dengan kolaborasi manusia-mesin yang dapat diterapkan pada berbagai tahap alur kerja kurasi. Selain itu, tampilan visual tingkat ketidakpastian model AI terbukti bermanfaat dalam proses kurasi oleh pakar. Meskipun masih diperlukan pengembangan lebih lanjut, hasil awal menunjukkan bahwa kolaborasi manusia dan AI dapat mempercepat digitalisasi spesimen herbarium, sehingga meningkatkan akses global terhadap data penting ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penelitian ini membahas kemungkinan masa depan dalam membangun 'kolega digital'. Pendekatan ‘kecerdasan kolaboratif’ ini bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan manusia dan sistem cerdas guna memanfaatkan data keanekaragaman hayati secara lebih efektif dalam menyelesaikan permasalahan identifikasi tumbuhan. Sejalan dengan perkembangan teknologi ini, integrasi machine learning telah terbukti efektif dalam mengotomatisasi identifikasi komponen tumbuhan.

4.2. Dampak terhadap Penelitian dan Pertanian

Inovasi ini tidak hanya mempercepat proses analisis tetapi juga membuka peluang baru dalam studi respons tanaman terhadap perubahan lingkungan. Implikasinya meluas ke aplikasi praktis seperti pertanian presisi, di mana AI dapat menganalisis kumpulan data besar untuk mengidentifikasi pola dalam morfologi tanaman dan memberikan informasi bagi strategi pengelolaan tanaman [1]. Selain itu, dengan menggunakan solusi digital, para peneliti dapat mengotomatisasi identifikasi spesies tumbuhan, sehingga meningkatkan efisiensi dalam penelitian botani dan analisis data [1].
ADVERTISEMENT

4.3. Kolaborasi Interdisipliner

Hasil yang luar biasa dalam identifikasi tumbuhan berbasis AI ini berasal dari upaya kolaboratif antara ahli botani, pakar digitalisasi, ilmuwan data, dan software engineer. Misalnya, kolaborasi yang dilakukan para peneliti BRIN dengan memanfaatkan deep learning pada computer vision untuk meningkatkan metodologi identifikasi daun teh dan deteksi penyakit tumbuhan [11]. Kemitraan semacam ini menunjukkan potensi dalam menggabungkan keahlian dari berbagai bidang untuk mendorong penemuan ilmiah dan inovasi dalam bidang taksonomi tumbuhan, pertanian dan konservasi.

5. Arah Masa Depan

Seiring dengan berkembangnya pengelolaan herbarium digital, beberapa aspek utama memerlukan perhatian khusus untuk sepenuhnya memanfaatkan potensi AI dalam penelitian keanekaragaman hayati. Mengatasi tantangan ini sangat penting untuk mengoptimalkan penggunaan koleksi digital dan memastikan kontribusinya terhadap upaya konservasi.
ADVERTISEMENT

5.1. Pengembangan Standar dan Pedoman

Untuk meningkatkan kualitas dan konsistensi proses digitalisasi, sangat penting untuk menetapkan standar dan pedoman yang jelas. Kerangka ini harus mencakup praktik terbaik dalam pengumpulan data, manajemen metadata, dan identifikasi spesimen guna memfasilitasi interoperabilitas antar sistem dan antar institusi [2][6]. Dengan menciptakan pendekatan yang terstandarisasi, para peneliti dapat memastikan bahwa data dari berbagai koleksi dapat dibandingkan dan dianalisis secara efektif.

5.2. Pelatihan Staf dan Pengembangan Keterampilan

Investasi dalam program pelatihan bagi staf yang terlibat dalam pengelolaan koleksi herbarium digital sangatlah penting. Peningkatan keterampilan dalam manajemen data digital, aplikasi machine learning khususnya deep learning, dan analisis data ekologi akan memberdayakan peneliti untuk memanfaatkan alat AI secara lebih efektif. Pelatihan ini tidak hanya meningkatkan kompetensi individu tetapi juga mendorong budaya inovasi dalam institusi [2][7].
ADVERTISEMENT

5.3. Inisiatif Kolaboratif

Kolaborasi antar institusi sangat diperlukan untuk berbagi praktik terbaik, sumber daya, dan kumpulan data. Dengan menggabungkan pengetahuan dan keahlian, organisasi dapat menghadapi tantangan bersama dengan lebih efektif serta mendorong kemajuan dalam bidang penelitian herbarium digital. Proyek kolaboratif juga dapat memperluas akses terhadap data yang berharga, sehingga memperkaya pemahaman ilmiah tentang keanekaragaman tumbuhan dan strategi konservasi [2][5][9].

5.4. Pertimbangan Etis

Seiring dengan meluasnya upaya digitalisasi, pertimbangan etis terkait kepemilikan dan akses data menjadi semakin penting. Institusi harus menyeimbangkan antara akses terbuka terhadap data dan penghormatan terhadap hak kolektor spesimen, terutama dalam keterlibatan komunitas adat dan lokal. Melibatkan komunitas ini dalam proses digitalisasi dapat meningkatkan nilai budaya dan ilmiah dari koleksi herbarium, serta memastikan bahwa manfaat penelitian dibagikan secara adil [1][7].
ADVERTISEMENT

5.5. Integrasi AI untuk Penelitian Iklim

Integrasi teknologi AI dalam pengelolaan koleksi herbarium digital sangat penting untuk meningkatkan pemahaman tentang respons tumbuhan terhadap perubahan iklim. Dengan memanfaatkan AI, peneliti dapat mengidentifikasi karakteristik tersembunyi dalam spesimen yang penting untuk memprediksi hasil ekologis dan mengembangkan strategi konservasi. Potensi AI dalam mengubah koleksi statis menjadi sumber daya dinamis sangat besar, membuka jalan bagi pendekatan inovatif dalam pelestarian keanekaragaman hayati di era perubahan lingkungan yang cepat [2][8].

Referensi

[1] R. Turnbull, E. Fitzgerald, K. Thompson, and J. L. Birch, “Hespi: A pipeline for automatically detecting information from hebarium specimen sheets,” arXiv Prepr. arXiv2410.08740, 2024.
[2] R. P. Smith, “How Artificial Intelligence Could Revolutionize Archival Museum Research,” Smithsonian Magazine, 2017. https://www.smithsonianmag.com/smithsonian-institution/how-artificial-intelligence-could-revolutionize-museum-research-180967065/ (diakses pada 23 Maret 2025).
ADVERTISEMENT
[3] R. Heilweil, “The Race to Develop Artificial Intelligence That Can Identify Every Species on the Planet,” Smithsonian Magazine, 2023. https://www.smithsonianmag.com/innovation/the-race-to-develop-artificial-intelligence-that-can-identify-every-species-on-the-planet-180982732/ (diakses pada 23 Maret 2025).
[4] L. Matson, “AI reveals hidden traits about our planet’s flora to help save species,” Biotechnology, 2023. https://phys.org/news/2023-06-ai-reveals-hidden-traits-planet.html (diakses pada 23 Maret 2025).
[5] Q. Groom et al., “Envisaging a global infrastructure to exploit the potential of digitised collections,” Biodivers. Data J., vol. 11, p. e109439, 2023.
[6] I. Larridon and P. Figg, “How AI is revealing nature’s secrets by supercharging species identification,” Kew Gardens, 2023.
[7] Natural History Museum, “AI4Plants: Unlocking Plant Biodiversity Insights with AI and Computer Vision,” PhD research projects, 2024. https://www.nhm.ac.uk/our-science/study/postgraduate/phd-opportunities/projects/AI4Plants.html (diakses pada 23 Maret 2025).
ADVERTISEMENT
[8] Missouri Botanical Garden, “Saving Plants from Extinction with Groundbreaking Technology – Missouri Botanical Garden’s Herbarium Goes Digital to Revolutionize Species Identification,” 2024. https://www.missouribotanicalgarden.org/media/news-releases/article/2882/saving-plants-from-extinction-with-groundbreaking-technology-missouri-botanical (diakses pada 23 Maret 2025).
[9] S. Swanson, “Plant Science Meets Artificial Intelligence,” Plant Science, 2024. https://www.nybg.org/planttalk/plant-science-meets-artificial-intelligence/ (diakses pada 23 Maret 2025).
[10] C. Duffy and R. Ramirez, “How AI could power the climate breakthrough the world needs,” COP and Beyond, 2023. https://edition.cnn.com/2023/11/26/tech/ai-climate-solutions/index.html (diakses pada 23 Maret 2025).
[11] BRIN, “Deteksi Penyakit Tanaman, BRIN Tingkatkan Kemampuan Deep Learning,” Berita, 2024. https://www.brin.go.id/news/120559/deteksi-penyakit-tanaman-brin-tingkatkan-kemampuan-deep-learning (diakses pada 23 Maret 2025).