Konten dari Pengguna

Bedah Retorika Rocky Gerung

Affan Ramli
Pengajar Pedagogi Kritis di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF)
13 Agustus 2023 15:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Affan Ramli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rocky Gerung. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rocky Gerung. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Polri mengumumkan sudah menerima 25 laporan polisi kasus dugaan penyebaran berita bohong oleh analis politik dan intelektual publik, Rocky Gerung. Semua laporan ini buntut kritik tajam dan diksi cacian terhadap Presiden Jokowi yang disampaikan Rocky pada acara konsolidasi akbar aliansi aksi sejuta buruh di Bekasi.
ADVERTISEMENT
Untuk memainkan pathos dalam seni retorikanya, Rocky sering kali memilih diksi-diksi tajam dan pedas. Bagi sebagian masyarakat, terkadang terdengar kasar. Seperti dungu, tolol, dan bajingan tolol. Niatan awal ingin menggerakan pikiran dan perasaan audien, malah menyinggung perasaan para pendengar lainnya yang berada di kubu politik berseberangan.
Dari perspektif kajian materi argumentasi, di sana ada pilihan lain menggerakan pikiran dan emosi massa. Biasa disebut propaganda dan agitasi. Propaganda menargetkan pikiran para audien, agitasi membangkitkan emosi massa agar mengambil tindakan-tindakan tertentu.
Bedanya, dalam seni retorika, pernyataan-pernyataan logis dan penyajian dalil-dalil rasional menjadi unsur penting. Sementara propaganda dan agitasi boleh beroperasi dengan mengabaikan logika.
Dalam praktiknya, sering kali agitasi mempermainkan emosi massa tanpa keharusan memberi bukti dan dalil rasional apapun. Terkadang dengan menyembunyikan sebagian informasi dan menyampaikan data-data palsu berlawanan dengan kenyataan.
Rocky Gerung. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Sialnya, 25 laporan polisi itu menuduh Rocky-lah yang menyebarkan berita bohong. Artinya, para pelapor menilai konten orasi Rocky berisi teknik-teknik agitasi, bukan retorika.
Premis-premisnya dan kesimpulan-kesimpulan analisis politik yang disampaikan di hadapan massa buruh di Bekasi itu bukan bersandarkan pada fakta-fakta. Menyembunyikan fakta atau sebagian fakta, sengaja menyebarkan data dan informasi keliru.
Para pendukung Jokowi menilai pelekatan tolol pada kebijakan presiden salah alamat. Buktinya, hasil survei LSI pada April 2023 menemukan tingkat kepuasaan publik pada kinerja Jokowi mencapai 82 persen.
Dalam logika, penalaran seperti ini disebut falasi argumentum ad populum. Membuktikan kebenaran sebuah pernyataan dengan banyaknya jumlah orang yang mempercayai kebenaran itu. Padahal, tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi tidak dapat membantah kritik Rocky adanya kesalahan kebijakan pembangunan Ibu Kota Nusantara yang diambil tanpa analisis dampak lingkungan sebelumnya.
ADVERTISEMENT

Problem Logos

Itu tak berarti retorika Rocky yang memikat dan memukau seluruhnya dibangun di atas premis-premis logika yang rapi. Dia juga melakukan pelanggaran pada kaidah logika yang fundamental.
Dalam kitab logika klasik, seperti Mantiq Al-Muzaffar, ada kaidah dasar taqabul malakat wa adamiha. Bahwa pelekatan sifat yang berlawanan pada suatu subjek harus melihat potensi dan aktualnya.
Seseorang tidak boleh menyatakan "dinding rumah Ahmad buta" karena subjek dinding tak memiliki potensi untuk melihat. Sifat buta hanya boleh disematkan pada semua subjek yang memiliki potensi dapat melihat. Di luar metafor atau pernyataan majas, seseorang tidak dibenarkan mengatakan "batu gunung itu membisu". Sebab batu tak memiliki potensi untuk berbicara.
Satu sisi, Rocky konsisten mengatakan dia mengkritik lembaga presiden, bukan Jokowi sebagai manusia konkret. Sisi lain, pilihan-pilihan predikat yang disematkan pada subjek lembaga politik seperti presiden diambil dari sifat-sifat dan kualitas yang hanya dimiliki oleh manusia konkret.
ADVERTISEMENT
Bila ia ngotot menggunakan predikat-predikat tolol dan dungu, maka berdasarkan kaidah logika dapat dipastikan subjek yang dibicarakan adalah Jokowi sebagai manusia konkret. Bukan Jokowi sebagai kepala negara.
Pilihan Rocky dua, mengubah subjek pernyataan atau mengubah predikat-predikatnya. Tidaklah benar memberikan predikat tolol pada lembaga politik yang tak punya potensi menjadi pintar.

Sastra Ketertindasan

Tentu, predikat-predikat membisu dan buta, dapat disematkan pada subjek batu dalam penggunaan metafor. Percakapan bernuansa sastrawi tidak tunduk pada hukum-hukum logis. Retorika lah yang memberi ruang diksi-diksi sastrawi dipilih untuk menyentuh emosi para pendengar.
Belajar dari keberhasilan Lutwig Wittgenstein membela bahasa biasa (ordinary language) sebagai media penyampaian pikiran-pikiran filosofis, di mana sebelumnya nilai epistemiknya dipandang lebih rendah dari bahasa logis versi Bertrand Russel.
ADVERTISEMENT
Maka, sangat mungkin untuk mengimajinasikan ungkapan-ungkapan makian dalam ruang hidup rakyat jelata diperjuangkan punya nilai sastra yang sama tingginya dengan diksi-diksi sastrawi versi kelas borjuasi dan kelas menengah yang telah diterima umum selama ini.
Pada tingkat tertentu, saya kira Rocky sudah berhasil meningkatkan level penerimaan publik Indonesia pada kata dungu digunakan dalam forum-forum diskusi intelektual yang disiarkan berbagai media massa elektronik. Ini suatu capaian penting sebagai tahap awal.
Bayangkan jika dungu, tolol dan bajingan tolol sudah diterima sebagai ungkapan-ungkapan sastrawi jenis sastra ketertindasan, maka ke depannya perdebatan-perdebatan dan percakapan-percakapan di ruang publik tidak lagi menghakimi predikat-predikat itu sebagai kata-kata kasar, tak etis, dan hinaan.
Ini akan menjadi kontribusi penting Rocky Gerung dalam memperkaya gaya retorika perdebatan di Indonesia. Unsur-unsur Pathos dalam seni retorika Indonesia di forum-forum resmi sekalipun akan berisi banyak ungkapan makian rakyat jelata. Semoga!
ADVERTISEMENT