Konten dari Pengguna

Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia

Abdollah
Doktor Mamajemen Pendidikan, Penulis Artikel dan Buku Pendidikan.
24 Juli 2023 20:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdollah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sekolah dasar. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sekolah dasar. Foto: Shutter Stock

Problem Kemasyarakatan

ADVERTISEMENT
Dalam dunia dewasa ini problem dalam lingkungan masyarakat kerap kali terjadi, tak jarang dalam sehari problem konflik di gambarkan oleh media tidak ada. Terjadinya konflik disebabkan di negara yang beraneka ragam suku ini karena kelompok.
ADVERTISEMENT
Konflik di antaranya tawuran antar-pelajar dan mahasiswa seperti yang terjadi di Makassar tanggal 15-16 juni kemarin, pada saat pengumuman kenaikan BBM. Tawuran tersebut tak hanya melibatkan dan merugikan mahasiswa dan pemerintah namun juga melibatkan warga makassar sendiri.
Yang ikut membantu mahasiswa dalam tawuran dan terkadang melawan mahasiswa karena merasa di rugikan. Melihat kondisi tersebut serasa ideologi negara sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyatnya sendiri. Dalam meminimalisasi kejadian seperti itu diperlukan pendidikan multikultural bagi kaula muda.
Dengan hal itu perbaikan akan masa depan bangsa dapat terealisasi, bukan hanya teori saja. Pendidikan multikultura ini sudah di berlakukan di sekolah-sekolah. Pendidikan multikulturalisme merupakan solusi problem bangsa saat ini.

Problem Penyakit Budaya

Ilustrasi sekolah dasar. Foto: Shutter Stock
Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya—yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi.
ADVERTISEMENT
Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat.
Krisis sosial-budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan.
Kemudian, lenyapnya kesabaran sosial (sosial temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial.
Selain itu, juga semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; serta berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber—atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat kita semakin merebak dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat—khususnya Amerika sebagai akibat proses globalisasi yang terus tidak terbendung.
Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya “alien” (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-Roubaie 2002).
Hal ini misalnya bisa dilihat dari semakin merebaknya budaya “McDonald” dan makanan instan lainnya. Dengan demikian, budaya serba instan; meluasnya budaya telenovela yang menyebarkan permissivisme, kekerasan, dan hedonisme; mewabahnya MTVisasi, “Valentine’s day”, dan kini juga “prom’s night” di kalangan remaja.
ADVERTISEMENT
Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain daripada “cultural imperialism” baru, menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam “orientalisme”.
Dari berbagai kecenderungan ini, maka orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid, budaya gado-gado tanpa identitas, di Indonesia dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budaya hybrid nampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang semakin sulit dihindari.
Tetapi pada segi lain, budaya hibrid—apalagi yang bersumber dari dan didominasi budaya luar, karena dominasi dan hegemoni politik, ekonomi dan informasi mereka-dapat mengakibatkan krisis budaya nasional dan lokal lebih lanjut.
Tidak hanya itu, budaya hibrid dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal—padahal identitas nasional dan lokal tersebut sangat mutlak bagi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT

Problem Pendidikan Multikultural Melalui Pembelajaran

Ilustrasi anak Sekolah Dasar Foto: Shutterstock
Problem multkultural di negara Indonesia ini dapat difilter melalui pembelajaran atau pendidikan multikutural. Pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference"dan "non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ”ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah bentuk pendidikan yang menerapkan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial-etnis, gender, kemampuan, umur, dan ras.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling penting, strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.