PJJ dan Kesehatan Mental

Deni Darmawan
Standardisasi Dai MUI Angkatan ke-24 dan Penulis Buku Religi dan Literasi
Konten dari Pengguna
25 November 2020 17:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deni Darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Deni Darmawan, Pengajar dan Ketua Website Lembaga Kajian Keagamaan Universitas Pamulang (LKK-UNPAM)
ADVERTISEMENT
Delapan bulan sudah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dilaksanakan di rumah karena pandemi Covid-19. Rasa bosan mulai menghantui, rasa jenuh sulit dibendung, depresi semakin mendalam, stres berkepanjangan, karena terisolasi di rumah hingga jauh dari teman, guru, sekolah, dan lingkungan. Sulitnya PJJ menambah beban psikologis hingga memperburuk kesehatan mental anak dan berujung pada kematian.
Rapuhnya PJJ di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) semakin terasa sulit dan makin tidak efektif. Proses PJJ bukan saja menghadirkan tantangan, tapi juga banyak persoalan. Mulai soal letak geografis yang mengakibatkan sulit menangkap sinyal, kuota yang mahal dan distribusi gratis kuota yang tidak merata, ketiadaan gawai, ketidaktersediaan listrik, dan sulitnya memahami materi pelajaran hingga tugas yang menumpuk membuat kesehatan mental anak terganggu.
ADVERTISEMENT
Delapan bulan sudah PJJ dilaksanakan, harusnya semua siswa sudah mampu beradaptasi, namun kenyataanya belajar di rumah memicu stres siswa. Sudah 3 kasus siswa yang meninggal. Masalahnya hampir sama, siswa sulit memahami materi yang diberikan guru dan pemberian tugas yang seabrek-abrek menambah beban psikologis anak dan memicu depresi, stres, hingga mengakhiri hidupnya.
PJJ selama pandemi tidak hanya mempengaruhi beban psikologis siswa tapi juga orang tua. Anak-anak yang merasa terisolasi dari teman-temannya dan lingkungnnya, di tambah sulitnya materi dan tugas selama PJJ semakin memperburuk kesehatan mental anak dan berimbas kepada orang tua.
Orang tua yang sudah banyak menanggung beban karena masalah ekonomi dan sosial akibat Covid-19, ditambah sulitnya anak memahami materi dan pemberian tugas selama PJJ menjadi stres yang membuncah.
ADVERTISEMENT
Di Kabupaten Lebak, Banten, seorang siswi SD yang tewas dipukul ibu kandungnya sendiri karena sulitnnya memahami materi saat belajar daring. Begitu juga kejadian di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, seorang siswi SMA yang nekat menenggak racun hingga tewas karena diduga banyaknya tugas yang diberikan dan sulitnya menangkap sinyal jaringan internet, menambah beban psikologisnya dan mengakhiri hidup.
Kasus teranyar terjadi pada siswa SMP di Tarakan Kalimantan Utara yang ditemukan gantung diri di kamar mandi, disebabkan tidak mengerti pelajaran yang diberikan oleh guru ditambah belasan tugas yang menumpuk.
Selama PJJ, guru hanya memberi tugas dan tugas tanpa menjelaskan. Terlebih, saat ajaran baru pada bulan Juli 2020, ketika siswa naik kelas. Materi baru lebih sulit dicerna, sedangkan tugas terus ditambah. Bukannya siswa itu malas, tapi memang belum mengerti sehingga tidak bisa mengerjakan. Orang tua pun kesulitan dalam membantu dan mengajar.
ADVERTISEMENT
Ketika pihak sekolah hanya memberi keringanan waktu untuk menyelesaikan tugas dengan memberikan surat kepada orang tua. Ternyata surat itu menambah tekanan dan beban anak, sehingga kesehatan mentalnya ambruk dan nekat gantung diri dikamar mandi.
Ketiga kasus tersebut menjadi peringatan dan tamparan keras wajah pendidikan Indonesia. Segala permasalahan pendidikan di tanah air, tidak hanya pemerintah yang bertanggung jawab, tapi juga menjadi tanggung jawab dan perhatian kita semua.
Evaluasi menyeluruh harus segera digelar sebelum asesmen nasional. Pihak sekolah harus memantau, praktiknya dilapangan masih ada saja guru yang sering menambah tugas pada siswa. Ini akan memberatkan siswa, dan merepotkan orang tua yang seharian harus bekerja lalu menjadi fasilitator anak.
Kepala sekolah harus lebih responsif terkait segala permasalahan yang dihadapi siswa-siswinya dirumah agar bisa segera diatasinya.
ADVERTISEMENT
Wali kelas dan Guru juga harus memahami perubahan pembelajaran di masa pandemi. Jangan hanya memindahkan kelas tatap muka ke kelas virtual tanpa menyesuaikan pelajaran, tugas dan waktu.
Guru harus lebih peka terhadap situasi dan kondisi siswa yang berbeda-beda dalam menerima pelajaran. Tidak semua siswa mengerti setiap mata pelajaran yang dijelaskan melalui daring.
Dari sejumlah penelitian yang penulis baca, bahwa anak dan remaja di Indonesia mengalami kesulitan belajar selama pandemi. Pihak sekolah harus bisa mengidentifikasi berbagai kesulitan tersebut dan membuat solusinya.
Ini menjadi tantangan bagi guru, agar bisa mendesain pembelajaran lebih menyenangkan, daripada sekedar memberikan tugas tanpa ada penjelasan. Guru harus membuka ruang dialog, interaksi antara anak dan orang tua.
ADVERTISEMENT
Kebijakan kurikulum darurat di tengah pandemi sudah dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebagaimana yang dilansir dari website kemendibud.go.id bahwa selaras dengan penerbitan Keputusan Mendikbud 719/P/2020 yang menjelaskan tentang Pendoman Pelaksanaan pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Pedoman ini untuk memfasilitasi satuan Pendidikan dalam kondisi khusus untuk PAUD dan SD yang bisa menjadi panduan tidak hanya untuk guru, tapi bagi orang tua dan siswa.
Sosialisasi kurikulum darurat ke berbagai sekolah perlu dilakukan secara optimal. Jangan sampai ada kepala sekolah dan guru tidak mengimplementasikan kurikulum darurat. Akibatnya, pembelajaran daring yang tidak menyesuaikan situasi dan kondisi serta memberikan segala macam tugas yang diberikan kepada siswa malah berujung depresi dan kematian.
ADVERTISEMENT
Kebersamaan orang tua dan anak selama PJJ di tengah pandemi menjadi momen dalam menjalin komunikasi dan keterbukaan. Orang tua tidak melulu disibukan dengan hasil pembelajaran yang berpengaruh kepada nilai akademik. Namun, orang tua bisa membimbing, mengapresiasi dan melakukan dialog, sejauh mana anak bisa memahami pelajaran yang diberikan.
Ketika orang tua merasa sibuk sendiri dan tidak lagi memperhatikan kondisi anak, bahkan cenderung emotional kepada anak, maka ini akan memperburuk kesehatan mental pada anak.
Tidak semua orang tua memang bisa memecahkan pelajaran anak, dan mempunyai kemampuan mendidik. Tapi setidaknya orang tua bisa memberikan apresiasi atas usaha anak, dan menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter agar tidak putus asa, tahan banting, percaya diri dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Orang tua juga memastikan keadaan anak sehat, baik secara fisik, mental dan sosial serta mendorong agar anak tetap berkreativitas dan produktif. Asupan makanan yang baik, tidur yang teratur, olah raga yang cukup, akan memberikan kesehatan fisik yang juga berpengaruh kepada kesehatan mental anak.
Orang tua juga juga perlu memberikan pengetahuan literasi digital agar berita-berita hoaks yang diterimanya tidak membuat anak merasa cemas, takut, hingga menurunkan imunitas fisik dan mental anak. Orang tua perlu mengatur jadwal anak agar tidak selalu memainkan gawai hingga lupa diri, lupa waktu, lupa segala-galanya, yang akibatnya bisa merusak kesehatan fisik dan mental anak.
Selama PJJ di rumah, orang tua menjadi contoh dan teladan bagi anak. Kuatkan sisi spiritual dan emotional anak. Tanamkan nilai-nilai pendidikan karakter pada anak dan jalin komunikasi dengan keterbukaan, dialog dan interaksi intensif antara orang tua, guru dan anak. Jadikan PJJ menjadi hal yang menyenangkan dan menggembirakan, bukan lagi hal yang membosankan, menakutkan dan menambah beban psikologis yang menyebabkan depresi, stress hingga kematian.
ADVERTISEMENT
Orang tua dan guru mempunyai peran penting dalam membimbing proses PJJ agar kesehatan mental anak tetap baik. Kita semua mempunyai tanggung jawab dalam mengevaluasi terkait kesehatan mental anak.
Kita tidak hanya berpangku tangan, melihat kasus demi kasus yang terjadi pada siswa. Jangan ada lagi kasus yang serupa dikemudian hari. ke-tiga kasus yang terjadi menjadi peringatan sekaligus tamparan keras wajah pendidikan di Indonesia. Saat kita bergandeng tangan, menguatkan kolaborasi pendidikan.