Konten dari Pengguna

Politik Mufasa ala KDM si "Bapa Aing"

Deni Zein Tarsidi
Dosen dan Peneliti Pusat Studi Pengamalan Pancasila Universitas Sebelas Maret
10 Juni 2025 12:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Deni Zein Tarsidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Foto: Dok. Humas Jabar
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Foto: Dok. Humas Jabar
ADVERTISEMENT
Di tengah gemuruh politik nasional yang kerap mengabaikan suara rakyat biasa, hadir sosok pemimpin dari tanah Sunda yang perlahan mencuri perhatian publik lintas daerah, Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat periode 2025-2030 yang lebih dikenal publik dengan panggilan “KDM” (Kang Dedi Mulyadi). Sosok ini tidak membungkus diri dalam formalitas birokrasi atau jargon teknokratis. Ia memimpin bukan dari atas menara kekuasaan, tetapi dari tengah masyarakat. Dari pasar, dari sawah, dari obrolan di warung kopi, dari jeritan emak-emak, dari kegelisahan sopir angkot. Kepemimpinannya tumbuh dari bawah, bukan dijatuhkan dari atas.
ADVERTISEMENT
Ketika sebagian pemimpin menyusun kebijakan dari balik meja rapat dan acapkali sekadar merespons tren politik, Dedi Mulyadi membalik arah, ia mengangkat masalah dari akar rumput, dan dari situlah lahir kebijakan. Inilah yang membuat pendekatannya terasa relevan, membumi, dan menyentuh nurani.
Salah satu kebijakan yang menguatkan prinsip tersebut adalah pelarangan studi tour sekolah ke luar kota, yang kini ditiru oleh sejumlah daerah lain. Kebijakan ini bukan semata melarang, tapi berangkat dari keprihatinan terhadap ketimpangan sosial dan keamanan anak-anak. Ia mendengar keresahan orang tua, ia menyerap kecemasan guru, ia mengamati pola konsumsi dan gaya hidup yang memisahkan pelajar “mampu” dan “tidak mampu.” Di sinilah ia memecahkan masalah dari hulu, bukan dengan menambal, tapi dengan mengatur ulang arah.
ADVERTISEMENT
Begitu pula kebijakannya menertibkan aktivitas wisata yang merusak ekosistem alam di kawasan Bogor dan sekitarnya. Ia tak segan menutup tempat wisata yang melanggar aturan lingkungan, meski berisiko mendapat resistensi dari pelaku bisnis. Sebab baginya, pembangunan harus sejalan dengan kelestarian. Ia menyelesaikan masalah dari pangkalnya tidak hanya mengatur dampaknya, tetapi menjaga akar kehidupannya.
Dalam hal kebijakan fiskal, Dedi juga meluncurkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor. Kebijakan ini tidak menuai kontroversi luas karena justru diapresiasi publik dan ditiru oleh provinsi lain seperti Jawa Tengah. Bukan karena mengikuti tren, tapi karena melihat langsung bagaimana rakyat kecil kesulitan melunasi pajak akibat denda yang menumpuk. Alih-alih menunggu rakyat datang ke kantor pajak, ia yang mendatangi mereka dengan welas asih, bukan dengan ancaman.
ADVERTISEMENT
Yang lebih menarik, gelombang simpati pada Dedi Mulyadi kini menjalar ke luar batas administratif Jawa Barat. Di kolom komentar akun media sosialnya, muncul banjir permintaan dari netizen di luar daerah. “Pinjam KDM jadi gubernur kami, dong!” tulis seorang warga Kalimantan. “Kalau bisa jadi pemimpin nasional, saya siap pilih,” sahut warga Sulawesi. Ucapan-ucapan ini bukan basa-basi digital, melainkan ekspresi rindu rakyat akan pemimpin yang mengayomi, menegur, dan berpihak.
Dedi Mulyadi tidak sedang membangun mitos. Ia membangun relasi emosional dan etis dengan rakyatnya. Maka wajar jika julukan “Bapa Aing” (dalam bahasa Sunda yang berarti “Bapak Saya”) dilekatkan kepadanya. Bukan karena kultus individu, tetapi karena rakyat melihat dirinya dalam sosok itu, pemimpin yang tahu cara mencintai sekaligus menegur anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
Alegori dari fiksi legendaris The Lion King sangat pas menggambarkan situasi ini. Mufasa, sang raja, adalah sosok ayah yang tegas namun bijak. Ia tidak membiarkan Simba tumbuh dalam kesenangan kosong, tapi membentuknya dengan nilai, sejarah, dan tanggung jawab. Ketika Simba tersesat, Mufasa hadir dalam suara hati yang mengingatkan: “Ingat siapa dirimu.” Begitu pula Dedi, ia menegur bukan untuk menghakimi, tapi untuk menyadarkan.
Kepemimpinan seperti ini bukan hanya langka, tapi juga mahal. Ia tidak bisa direkayasa. Ia tumbuh dari pengalaman hidup, dari mendengar lebih banyak daripada berbicara, dari berani turun tangan daripada menyalahkan. Ia bukan pemimpin yang menjual mimpi, tetapi membantu rakyat menghadapi kenyataan.
Kita mungkin hidup dalam zaman ketika jargon kepemimpinan mudah diucapkan tapi jarang dibuktikan. Maka, ketika muncul sosok seperti Dedi Mulyadi, yang berani menertibkan wisata liar, melindungi anak-anak dari studi tour yang tak aman, menghapus beban pajak rakyat kecil, dan menegur dengan kasih sayang, rakyat pun tak ragu menyebutnya: “Bapa Aing” , dari figur seperti inilah, kita bisa belajar bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling tinggi, tapi siapa yang paling dekat. Bukan tentang seberapa kuat mengatur dari atas, tetapi seberapa berani menyelesaikan dari bawah.
ADVERTISEMENT