Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan juga Pelaku Pelecehan Seksual
13 Februari 2017 14:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari Denia Oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(ilustrasi: rookie.mag/jao)
Saat itu saya hadiri pesta pernikahan salah satu kerabat. Ia merupakan salah satu sosok yang saya banggakan atas keberaniannya menyeruakan hak perempuan. Tapi cerita ini bukan saya tuliskan untuk menceritakan sosok beliau, atau pesta pernikahannya. Ada serangkaian kejadian yang menyentil saya setelah setengah jam saya di sana dan saya tak tahu harus bereaksi bagaimana.
ADVERTISEMENT
Pada malam sebelumnya, saya memikirkan untuk memakai dresscode apa yang cocok untuk pesta pernikahan bertemakan era 50-an itu. Dan karena siang harinya saya juga hadir di acara wisuda teman-teman, maka saya putuskan untuk memakai dresscode yang kiranya bisa saya pakai seharian.
Blazer abu-abu dengan motif garis-garis, tanktop abu-abu dan bralette crop (bra dengan strap silang di dada), jeans biru dan oxford shoes warna hitam.
Tidak ada yang salah menurut saya dengan apa yang saya kenakan saat itu. Saya merasa percaya diri dengan apa yang saya kenakan dan juga dalam suasana senang karena hari itu saya akan menghadiri dua momen bahagia yang berbeda.
Keriuhan acara wisuda mulai terasa. Orang berbondong-bondong datang dengan membawa persembahan seperti bunga, boneka, dan kado lainnya. Ucapan selamat, pelukan kegembiraan, dan segala teriakan histeris melihat sahabat yang setelah sekian lama lulus saat itu, terdengar dari semua sudut.
ADVERTISEMENT
Lalu perbincangan tentang pekerjaan dan karier dimulai. Awalnya sih basa-basi tanya kabar sana sini, ujung-ujungnya tanya pekerjaan, gaji, gimana caranya survive jadi pengangguran dan masih banyak lagi. Selanjutnya: komentar soal penampilan. Kali ini saya yang dikomentari oleh salah seorang teman perempuan.
"Makin seksi deh lo"
"What is this thing? (touching my bra strap) it looks good on you"
Sejak kejadian tersebut, saya mulai membayangkan paling sedikit 5 orang lagi akan berkomentar tentang pakaian saya hari itu.
Hari mulai sore, dan seperti biasa, mencari teman yang wisuda di tengah lapangan yang penuh dengan ribuan wisudawan/wisudawati tidaklah pernah mudah. Hingga kemudian saya bertemu dengan salah satu sahabat perempuan saya. Saya segera peluk dan cium dia dengan penuh bangga.
ADVERTISEMENT
Tapi inilah yang ia lakukan setelah itu:
"Ya ampun kayak apaan sih lu pake ginian (touching my bra strap -again)"
Saya bersikap sebiasa mungkin walaupun sebenarnya saya merasa sangat tidak nyaman, apalagi ia lakukan itu hampir 3 kali di depan keluarganya.
Langit mulai gelap. Saya bergegas ke pesta selanjutnya bersama salah satu teman dengan menggunakan mobilnya. Jalur Depok-Jakarta sedang macet. Di perjalanan, saya cukup cemas kalau pestanya sudah bubar sebelum saya tiba dan berikan pelukan selamat kepada pengantinnya.
Sekitar jam 21.30, sampailah saya di suatu balai serbaguna di daerah Jakarta Selatan. Dengan semringah saya melihat banyak muka yang familiar, saya hampiri teman-teman, ambil segelas bir yang tersisa, menelfon teman sebentar, lalu kembali ke lingkaran.
ADVERTISEMENT
Saya kembali mendapat perlakuan serupa seperti tadi siang.
"IIIHHH APAAN NIH (touching my bra strap -again)"
Sejujurnya saya tidak ingat lagi apa yang mereka katakan ketika itu. Yang paling saya ingat saat itu adalah saya harus berputar-putar, berlindung di balik punggung teman lelaki saya agar sahabat-sahabat perempuan saya tidak (terus-menerus) menarik-narik baju. Rasanya seperti mau ditelanjangi saja.
Seperti main kucing dan anjing, saya terperangkap di tengah-tengah, berputar-putar sambil menutupkan wajah, pusing, malu. Saya merasa seperti pelaku prostitusi yang dikejar-kejar satpol PP.
Saya tak tahan lagi. Persis beberapa detik setelah rokok yang sedang saya hisap patah karena kejar-kejaran bak kucing dan anjing itu, saya keluar dari area dan segera pulang.
ADVERTISEMENT
Sudah cukup saya jadi objek seksual hari ini.
(ilustrasi: rookie.mag/sonja)
Entah harus kecewa dengan siapa saja, bahkan saya tidak begitu ingat siapa saja yang menjadikan saya objek 'candaan' malam itu.
Beberapa hal saya sadari bahwa ternyata, pelecehan seksual pun tidak terbatas gender. Tidak terbatas pendidikan, siapapun bisa melakukan nya sadar maupun tidak sadar.
Atau mungkin ada pembaca yang menyumpahi dalam hati, "mampus siapa suruh pake baju terbuka." Dan saya pun tidak perlu berdebat dan berargumen soal itu. Tapi coba sekarang keluarkan faktor pakaian saya yang sedikit terbuka... Bukan hanya saya, banyak perempuan yang memakai pakaian tertutup sampai kepala pun masih menjadi korban dari cat calling sampai pemerkosaan. So who is to blame?
ADVERTISEMENT
(Cukup jawab dalam hati saja...)
Cerita ini bukan untuk memojokkan beberapa sahabat saya yang mengobjekkan saya malam itu, tapi ada kala nya kalian yang membaca ini perlu tahu kalau pelecehan seksual bukan hanya diperkosa, cat calling, atau disentuh-sentuh orang asing. Tetapi pelecehan seksual didefinisikan ketika saya, kamu, dia, mereka merasa tidak nyaman atas perlakuan kalian terhadap konsep tubuh orang lain tanpa izin. Menyentuh semua bagian tubuh tanpa izin, mengancam jika tidak melakukan yang diminta pelaku, dan melakukan hal seksual ketika kalian tidak dalam kondisi sadar. Jadi, ketika kamu, tidak merasa nyaman atas perlakuan orang lain terhadap tubuh kalian. Beranikan diri untuk menceritakan nya.
Dan ingat, pelaku nya tidak selalu laki-laki.
ADVERTISEMENT