Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dua Pilihan Kematian Warga Sudan Selatan: Dibunuh Atau Kelaparan
17 Maret 2017 13:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Kematian memang niscaya bagi semua umat manusia. Namun, kematian seperti apa yang akan menyergap kita nanti. Bagi warga Sudan Selatan, ada dua cara kematian yang menanti mereka: mati dibunuh atau kelaparan.
ADVERTISEMENT
PBB bulan lalu menetapkan beberapa bagian di Sudan Selatan mengalami bencana kelaparan. Tiga juta orang kabur dari rumah mereka, tinggal di antah berantah, pulau-pulau kosong di tengah rawa, untuk lari dari perang saudara.
Lima juta orang di Sudan Selatan, atau empat dari setiap 10 orang dari populasi negara itu, kekurangan makanan dan air. Saat ini ada lebih dari 100 ribu orang yang di ambang kematian akibat kelaparan di negara paling muda di dunia itu.
Selain kekeringan, bencana kelaparan di Sudan Selatan disebabkan oleh manusia. Sejak tahun 2013, perang saudara pecah di Sudan Selatan, antara tentara pemerintah pimpinan Presiden Salva Kiir dan pasukan tentara pemberontak pimpinan Riek Machar, mantan wakil presiden yang dituduh makar.
ADVERTISEMENT
Pasukan pemberontak SPLM-IO pimpinan Machar dituding berada di balik pembantaian, penjarahan dan pembakaran desa-desa yang menewaskan 10 ribu orang, terutama dari etnis Dinka, etnisnya Presiden Kiir. Serangan ini dibalas oleh tentara Kiir, menewaskan warga sipil yang tidak sedikit. Menurut PBB, pembunuhan ini mulai mengarah ke genosida.
Saksi mata mengatakan bahwa tentara pemberontak membantai masyarakat dengan pisau atau parang, demi menghemat peluru. Mereka seakan gelap mata, membantai siapa saja, termasuk bayi dan lansia. "Anak-anak dan orang tua, mereka dibunuh," kata Sylvia, pengungsi Sudan Selatan kepada lembaga Save the Children yang dikutip media Inggris The Independent pekan ini.
Sylvia mengatakan, warga yang tertangkap oleh tentara pemberontak akan dibunuh bersama dengan anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
"Mereka akan merenggutmu dari rumah dan menggorok lehermu. Anak-anak, mereka menikamnya hingga tewas," lanjut Sylvia lagi.
"Saya pernah lihat anak-anak diikat bersama mayat ibu mereka dan dilempar ke sungai," kata dia lagi.
Joan, seorang bidan, mengaku kabur karena takut setelah melihat perkosaan massal yang dilakukan tentara terhadap gadis-gadis di desanya.
"Sepuluh bisa memperkosa seorang wanita, tidak peduli jika akhirnya wanita tewas," kata Joan.
Menurut survei PBB, 70 persen wanita yang tinggal di kamp perlindungan ibu kota Juba mengalami perkosaan. Sementara 80 di antara wanita itu mengaku dipaksa melihat seseorang dibunuh atau diperkosa.
Lari dari pembunuhan, di tempat berlindung warga Sudan Selatan diintai bahaya lain, yaitu mati kelaparan. Makanan langka, memaksa mereka makan eceng gondok dan rerumputan.
ADVERTISEMENT
Sejak konflik mendera Sudan Selatan, lebih dari 1,5 juta orang mengungsi. Ini adalah eksodus terbesar Afrika selama ini. Setiap harinya, ribuan pengungsi membanjiri perbatasan Uganda, 90 persennya adalah wanita dan anak-anak.