Konten dari Pengguna

Mata Para 'Duyufurrahman'

Denny Armandhanu
Pernah jadi editor @Kumparan.
27 Juli 2019 10:33 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Armandhanu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jemaah haji asal Indonesia. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jemaah haji asal Indonesia. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah hampir satu bulan saya bertugas di Kota Suci Madinah, Arab Saudi. Puluhan cerita dan artikel telah dihadirkan dalam pemberitaan di kumparan. Soal perhajian dan problematikanya, jemaah haji dan masalahnya, serta cara yahud Indonesia dalam mengatur agar proses ibadah ini lancar, aman, terkendali.
ADVERTISEMENT
Namun, banyak cerita yang sulit untuk dituangkan dalam sebuah artikel jurnalistik. Bukan lantaran tidak menarik, tapi cerita-cerita ini hanya layak ditulis dalam lembar opini atau prosa. Tidak realistis dan sulit ditemukan faktanya. Untuk artikel jurnalistik, tulisan ini dimentahkan. Tapi untuk tulisan opini, saya bebas menuliskannya.
Ini cerita yang dirasakan oleh batin saya, tidak terungkapkan oleh kata-kata. Atau memang, kosakata yang saya miliki terbatas. Ini soal mata para duyufurrahman.
Soal ini saya jadi teringat sebuah cerpen karya Ahmad Tohari, Mata yang Enak Dipandang. Tersebut dalam kisah itu, Mirta, seorang pengemis buta memberitahu Tarsa, penuntunnya, soal ciri-ciri orang yang rela memberi mereka uang receh. Para dermawan ini punya mata yang enak dipandang, sejuk melihatnya. Sedangkan mata yang dingin seperti bambu, adalah milik orang pelit.
ADVERTISEMENT
Sulit menemukan mata yang enak dipandang, setidaknya itu yang dialami Tarsa. Tapi di Tanah Suci, mata-mata para jemaah haji Indonesia enak sekali dipandang, terutama mereka yang sudah lansia. Saya kok melihat mata jemaah sepuh ini seperti mata bayi, yang lugu dan tidak berdaya. Ada perasaan haru, sedih, dan bahagia melihat mata tersebut.
Silakan sebut saya sentimentil atau apa, tapi ini betulan. Sebagai contoh: Sukinah, jemaah berusia 93 tahun asal Magetan yang kisahnya telah terbit di kumparan.
Walau terlihat tidak berdaya di kursi roda, tapi mata Sukinah seakan masih lincah berlompatan. Ucapannya masih lancar, mengalir deras ketika berbicara soal anak dan cucunya. Dipadukan dengan senyuman, mata Sukinah memancarkan semangat yang membara.
ADVERTISEMENT
"Ayo Sunarti, dorong aku, aku mau tawaf!" kiranya begitulah semangat yang terpancar di mata Sukinah. Sunarti adalah putrinya.
Atau mata Mbah Tayo alias Nek Tayo asal Lombok. Semangat ibadah Tayo yang mengaku berusia 105 tahun itu juga terhalang kursi roda. Matanya berkaca-kaca ceria ketika berbincang akrab dengan Rubiyatin, anggota tim perlindungan jemaah di Masjid Nabawi. Tayo amat ingin mencapai Raudah, tapi tidak bisa karena terlalu padat jemaah.
Bahkan di hari keberangkatannya ke Makkah, Tayo bersikeras ingin ke Raudah. Tapi ditolak putranya yang mengatakan itu terlalu riskan. Mencapai Raudah adalah sunnah, sementara mereka masih harus melakukan kewajiban haji di Makkah. Tayo mengalah.
Rubiyatin bilang, Nek Tayo masih ingat nama-nama mereka, bahkan nama saya. Doa keluar dari mulutnya ketika terakhir bertemu Rubiyatin di pintu 21 Nabawi.
ADVERTISEMENT
"Didoakan untuk Rubi, Lina, dan Denny, dia masih ingat, lho!" kata Rubiyatin. Saya yakin ketika merapalkan doa itu, mata Nek Tayo indah sekali, seakan ada bintang bertaburan di dalamnya.
Atau mata Kalsum, atau Mak Cum, yang menatap suaminya, Mahmud, dengan tatapan penuh kasih. Dua sejoli usia 75 dan 87 tahun ini viral karena tidak bisa dipisahkan. Mata Mak Cum terpancar kasih untuk suaminya yang terkapar di tempat tidur. Ketika saya menyambangi kamar mereka, Mak Cum lembut mengusapkan minyak tawon di kaki Mahmud.
"Kakinya dingin, kalo dioles minyak tawon, baru dia bisa tidur. Saya lupa bawa minyak tawon, ini saya pinjam ke orang," kata Mak Cum.
Gaess yang masih lajang, kalau cari perempuan, carilah yang matanya menatap kalian seperti Mak Cum menatap kakek Mahmud. Insyaallah awet sampe tua.
ADVERTISEMENT
Menatap mata para jemaah lansia sambil mendengarkan kisah mereka bikin mata saya sendiri berair. Apalagi, jika saya tahu mata yang saya tatap adalah jemaah lansia yang tidak berdaya. Saya jadi ingat kakek dan nenek saya yang sudah tiada.
Seperti Mbah Narto, jemaah berusia 62 tahun asal Klaten. Narto yang jalannya sudah tertatih-tatih memaksakan diri keluar dari hotel, berjalan menuju Masjid Nabawi. Jika kaki sehat, dari hotelnya ke Nabawi mungkin hanya 10 menit. Namun Mbah Narto sepertinya butuh sejam, apalagi di cuaca panas mencapai 45 derajat celsius.
Kami, tim Media Center Haji, yang melihat Mbah Narto mencegahnya. Mbah Narto bilang, dia ketiduran dan ditinggal kawan-kawan sekamarnya ke Nabawi. Padahal, dia ingin sekali ke Masjid Nabi itu. Tangan dan tubuhnya bergetar, entah karena marah, atau memang seperti itu kondisi tubuh para renta.
ADVERTISEMENT
"Kok mereka tega meninggalkan saya," kata Narto.
Akhirnya, kami antar beliau ke kamarnya, sambil kami wanti-wanti jangan keluar sendiri, berbahaya. Dia kemudian bercerita, bisa naik haji dari uang berjualan amben atau dipan. Ketika mendaftar haji delapan tahun lalu, dia masih sehat. Masih keliling kampung bawa-bawa amben, jika lelah menginap di masjid.
Namun kini dia lemah. Mata Narto menyiratkan ketidakberdayaan. Tapi dari Narto pula keluar doa-doa panjang ketika kami pamit. Panjang sekali sampai saya tidak ingat semuanya. Doa panjang itu diucapkan untuk setiap kami yang disalami, sama, tidak kurang satu kata pun, sambil matanya tertumbuk kepada mata kami. Matanya terlihat sangat ikhlas.
"Semoga diberi sehat, syahadat, sempat, salat, salawat...." kira-kira itu petikan pendeknya yang saya ingat. Mata saya kembali berair.
ADVERTISEMENT
Mata lainnya yang masih terbayang di benak saya adalah mata seorang jemaah lansia asal Sampang, Madura. Jemaah itu duduk sendirian di bangku hotel, sementara kawan-kawan jemaah lainnya sibuk mengurus koper untuk naik ke kamar. Sudah tua sekali, jalannya juga sulit.
Saya dekati dan bertanya. Namun ternyata, kakek yang saya lupa bertanya namanya itu tidak bisa bahasa Indonesia. Intinya, kakek itu bertanya di mana kamarnya. Dia berangkat ke Tanah Suci sendirian, tanpa sanak famili. Baru pertama kali keluar negeri. Terbata-bata bicara Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Arab.
Dari matanya, dia merasa terasingkan dan sedih luar biasa. Lebih menyedihkan lagi, saya tidak bisa membantunya. Saya sendiri merasa tidak berdaya. Alhamdulillah, banyak petugas haji yang siap turun tangan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, saya tidak nelangsa lama. Sebab saya yakin, mata-mata lansia yang sedih itu akan cerah kembali ketika melihat Kakbah di Masjidil Haram, Makkah.
Ini bisa jadi adalah pencapaian hidup mereka yang pemungkas. Memenuhi panggilan Rabb-nya ke Tanah Suci. Mereka akan dijamu pahala besar nan lezat di atas nampan pualam. Karena mereka adalah duyufurrahman, tamu-tamu Allah, Rabb yang Maha Pemurah.