Sadaplah Daku, Kau Kutangkap

Denny Indrayana
Wamenkumham (2011–2014) dan Senior Partner di INTEGRITY (Indrayana Centre for Government, Constitution and Society)
Konten dari Pengguna
2 Februari 2017 18:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Indrayana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Poster tulisan (Foto: Eddward SK)
Membaca judul di atas, mungkin anda teringat film tanah air “Kejarlah Daku, Kau Kutangkap”, atau film Hollywood, “Catch Me If You Can”. Saya tidak sedang akan membahas keduanya.
ADVERTISEMENT
“Kejarlah Daku, Kau Kutangkap” adalah film komedi tahun 1986, yang menceritakan kisah cinta ala benci tapi rindu antara Ramadan (diperankan Deddy Mizwar) dan Mona (dimainkan Lidya Kandouw). Ceritanya penuh canda dan jenaka.
Di dalamnya tidak membahas soal sadap-menyadap yang—sebagaimana kata Pak SBY—adalah persoalan yang sangat serius.
Film yang lebih serius “Cath Me If You Can”, juga tidak ada kaitannya dengan sadap-menyadap. Film tahun 2002 itu menceritakan kisah nyata Frank Abagnale (diperankan Leonardo DiCaprio) yang berhasil menipu dengan berpura-pura menjadi pilot, dokter dan pengacara. Ia bergelimang harta dari memalsukan cek pembayaran.
Di ujung cerita, Frank menjadi ahli pemalsuan cek yang membantu kerja Carl Hanratty (dimainkan Tom Hanks), seorang ahli kejahatan perbankan FBI yang akhirnya dengan susah-payah berhasil menangkapnya.
ADVERTISEMENT
Di tengah kesuntukan politik tanah air, terutama menjelang pencoblosan Pemilihan Gubernur Jakarta, saya sarankan kita merawat kesehatan dengan tertawa dan menonton kembali kedua film yang sangat menghibur tersebut.
Namun, sebelumnya, saya tetap ingin mengajak sidang pembaca untuk lebih memahami dua kata dalam judul tulisan ini: Sadap dan Tangkap.
Sadap dan Tangkap
Kedua kata itu, sadap dan tangkap, bukan hanya hari-hari ini saja menghiasi berita utama kehidupan kita. Keduanya sebenarnya rutin muncul, dan setiap kali hadir pasti membuat heboh dan bingung.
Salah satu skandal penyadapan yang mendunia adalah Watergate yang berujung dengan mundurnya Presiden Richard Nixon, sebelum terlanjur dimakzulkan oleh Senat Amerika Serikat.
Beberapa waktu lalu, penyadapan kembali menjadi berita hangat ketika Wikileaks membocorkan beberapa kepala negara menjadi korban penyadapan intelejen Amerika Serikat. Di tanah air, penyadapan dalam bentuk rekaman pembicaraan sempat memunculkan berita utama “Papa Minta Saham”.
ADVERTISEMENT
Sedangkan kata ‘tangkap’ rutin menjadi perbincangan utama ketika KPK berhasil melakukan OTT, operasi tangkap tangan. Utamanya jika target operasi adalah tokoh nasional dan terkenal.
Hari-hari ini kata ‘sadap’ kembali riuh ketika kemarin Pak SBY membuat pernyataan pers merasa pembicaraan teleponnya dengan Kiai Ma’ruf Amin disadap. Sedangkan, kata tangkap diperdebatkan pemaknaannya ketika minggu lalu Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menjadi target OTT KPK.
Dalam setiap babak drama politik-hukum itu, makna kata ‘sadap’ dan ‘tangkap’, yang sebenarnya sederhana dan mudah, berubah menjadi rumit dan membingungkan. Para pihak memberi makna atas kedua kata itu sesuai dengan maksud dan kepentingannya masing-masing.
Adalah tugas kita sebagai rakyat, yang menonton segmen drama tersebut, untuk bersikap cerdas, pandai memilih dan memilah, pemaknaan siapa sebenarnya yang tepat, adil, dan sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Jika kita tidak hati-hati, maka kita akan terjebak dengan berita hoax, tidak akurat, dan manipulatif.
Soal Penyadapan
Penyadapan sebagai konsep memang adalah pisau bermata dua. Sehingga dia bisa digunakan untuk menangkap penjahat oleh aparat penegak hukum; ataupun dijadikan argumen untuk lepas dari jeratan hukum, dengan alasan penyadapan dilakukan secara illegal (illegal interception).
Maka, ketika bicara soal penyadapan, sikap kritis kita harus diletakkan dengan tepat. Kepada aparat penegak hukum kita harus mengkritisi bagaimana prosedur penyadapan dilakukan. Sedangkan, kepada obyek penyadapan kita harus mengkritisi subtansi hasil sadapan.
Penyadapan yang baik adalah yang dilakukan oleh pihak yang berwenang, sehingga dapat menjadi alat bukti yang sah di hadapan proses penegakan hukum. Persoalannya, hingga kini memang belum ada undang-undang khusus yang mengatur soal penyadapan, sebagaimana diamanatkan oleh beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Tidak terlalu jelas juga lembaga mana sajakah yang saat ini berwenang melakukan penyadapan. Dalam satu kesempatan wawancara, Menkominfo di era Pak SBY menyatakan hanya ada lima lembaga yang boleh menyadap, yaitu KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BIN, dan BNN.
Dalam praktiknya, di samping kelimanya ada informasi bahwa BAIS dan BNPT juga melakukan penyadapan. Di luar itu, menurut UU-nya, Komisi Yudisial juga diberi kewenangan untuk meminta aparat penegak hukum melakukan penyadapan terkait pengawasannya atas perilaku hakim.
Tidak terlalu jelas pula bagaimana pertanggungjawaban dari kewenangan penyadapan di masing-masing lembaga tersebut. Saya hanya mendengar bahwa kerja-kerja penyadapan KPK pernah diaudit oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya harus secara tegas mengatur: siapa yang berwenang menyadap; kapan penyadapan dapat dilakukan; untuk kepentingan apa penyadapan boleh dilakukan; dan bagaimana prosedur pertanggungjawaban atau audit kinerja penyadapan tersebut.
Dalam hal dugaan penyadapan yang dirasakan Presiden Ke-6 SBY, saya sependapat bahwa aparat kepolisian sebaiknya segera mengambil langkah menyelidiki kejelasan peristiwa hukum tersebut.
Wajar kalau Pak SBY merasa khawatir kalau ia telah disadap, karena pembicaraannya dengan Kiai Ma’ruf Amin dilakukan dengan telepon. Wajar pula kalau Ahok dan Kuasa Hukumnya menyatakan mereka tidak berwenang menyadap.
Kalaupun terjadi penyadapan, saya yakin bukan mereka yang melakukannya. Selain tidak berwenang, mereka tentu tidak memiliki peralatan sadap yang harus canggih.
Soal peralatan sadap yang tidak mudah dioperasikan ini, salah satu mantan Pimpinan KPK pernah bercerita kepada saya bahwa, ada satu institusi penegak hukum yang alat sadapnya tidak bisa dioperasikan karena kesalahan perencanaan dan penggunaan teknologi yang tidak kompatibel.
ADVERTISEMENT
Penyelidikan kepolisian harus segera dilakukan—tanpa menunggu laporan, karena bukan delik aduan—untuk memperjelas apakah benar telah terjadi penyadapan atau tidak? Kalau benar, siapakah yang melakukan penyadapan?
Jika yang melakukan penyadapan adalah institusi yang berwenang, apakah alasan penyadapannya sah secara hukum? Jika yang terjadi adalah penyadapan ilegal maka pelakunya harus dijerat secara hukum.
Sebaliknya, jika yang melakukan penyadapan dan alasannya adalah sah secara hukum, maka pelakunya pun harus dibebaskan dari semua jeratan hukum.
Sekaligus penyelidikan kepolisian itu dapat menjawab dengan terang bagaimana isi pembicaraan telepon antara Pak SBY dengan Kiai Ma’ruf Amin. Benarkah ada pesanan fatwa MUI untuk kasus Ahok, sebagaimana yang coba dikonstruksikan pembelaannya oleh Ahok dan Kuasa Hukumnya?
ADVERTISEMENT
Jika tidak benar, Ahok dan kuasa hukumnya tentu harus mempertanggungjawabkan dugaan tersebut di hadapan hukum.
Tanpa adanya penyelidikan aparat kepolisian yang profesional, isu penyadapan ini hanya akan menjadi drama politik, tanpa ada solusi hukum. Padahal hanya dengan penegakan hukum yang tepat isu penyadapan ini dapat diredam dan dicarikan jalan keluarnya.
Saya sendiri, sudah mendengar soal isu penyadapan pembicaraan Pak SBY dengan Kiai Ma’ruf Amin ini sejak lama. Hal itu sudah menjadi pembicaraan intens di antara para Indonesianis di Melbourne, Australia.
Salah satu wartawan media nasional mengatakan, memang ada pembicaraan yang terekam di antara keduanya. Namun, ketika saya tanyakan apa isi pembicaraan disadap, rekan jurnalis ini berkata, “Itu yang masih belum jelas”.
ADVERTISEMENT
Politik memang tidak akan sepi dari berita dan rumor. Adalah tugas penegakan hukum untuk menyelidiki agar jelas mana yang fitnah, mana yang fakta.
Sebagai penutup terkait penyadapan ini, saya ingin mengulas satu soal yang tidak mudah dipecahkan. Bagaimana kalau terjadi penyadapan ilegal atas tindak pindana yang memang benar terjadi. Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 yang dimohonkan Setya Novanto menegaskan bahwa penyadapan yang ilegal tidak dapat dijadikan alat bukti.
Pertanyaannya, bagaimana kalau memang yang direkam adalah suatu tindak pidana, dan rekaman dan isinya adalah fakta yang tidak terbantahkan. Karena saya bukan ahli pidana, maka saya tidak akan menjawab pertanyaan itu.
Soal Penangkapan
Minggu lalu masalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas Hakim Konstitusi Patrialis Akbar diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Di akun facebook saya ada yang bertanya, di mana letak OTT-nya kalau penangkapan dilakukan pada tempat dan waktu yang berbeda, dan tidak ada serah terima uang di antara para pelaku saat penangkapan dilakukan?
Jawaban guyon saya, namanya juga Operasi Tangkap Tangan (OTT), bukan Operasi Tangkap Basah (OTB).
Jadi, sudah benar kalau yang ditangkap penyidik KPK adalah tangan pelakunya. Memang, pemahaman OTT oleh publik yang awam adalah operasi yang dilakukan dengan menangkap pelaku korupsi yang sedang melakukan transaksi suap-menyuap.
Maka OTT dilakukan pada waktu dan tempat yang sama, dan ada uang tunai yang disita sebagai barang bukti. Apalagi, selama ini dalam beberapa OTT, KPK melakukan konferensi pers dengan menunjukkan uang suap yang telah disita.
ADVERTISEMENT
Maka, dengan pemahaman demikian, OTT tidak harus dilakukan pada tempat ataupun waktu yang sama. Karena pemberi dan penerima suap bisa saja melakukan transaksi, tanpa bertemu langsung, ataupun berkomunikasi langsung.
Sudah jamak bahwa pemberi dan penerima suap akan mencoba mengaburkan tindak kejahatannya dengan melibatkan perantara yang melakukan transaksi. Saya menduga dalam hal ini yang menjadi perantara pemberi suap adalah NG Fenny (Sekretaris Basuki Hariman) sedangkan perantara penerima suap adalah Kamaludin. Basuki dan Patrialis boleh jadi tidak membicarakan uang suap, dan tidak melakukan serah terima apapun secara langsung.
ADVERTISEMENT
Namun bagi hakim konstitusi bertemu, main golf, dan mendiskusikan soal kasus dengan pihak ketiga sudah merupakan pelanggaran etika, dan sekaligus indikasi adanya tindak pidana.
Basuki boleh jadi bukan pemohon dalam pengujian undang-undang, tetapi sebagaimana pengakuannya sendiri, dia berkepentingan agar pengujian undang-undang tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Memakai perantara untuk meminta dan memberi suap—ataupun menggunakan tangan orang lain untuk mengajukan suatu laporan, gugatan, atau dalam hal ini pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, adalah modus operandi suap yang kerap kali terjadi.
Lalu, bagaimana dengan tidak adanya uang tunai pada saat penangkapan?
KPK menjelaskan ada tiga penyerahan, dua sudah dilakukan, satu belum diserahkan. Tentu penyidik KPK mempunyai pertimbangan kenapa penangkapan tidak dilakukan saat penyerahan terjadi. Mungkin khawatir OTT justru akan gagal karena sudah diketahui pelaku, atau alasan lainnya.
ADVERTISEMENT
Yang pasti, dengan telah diserahkannya uang suap sebelumnya, dan telah disiapkan pembayaran ketiga, saya memang berpandangan suap-menyuap telah terjadi.
Jadi, dari soal kata ‘Sadap’ dan ‘Tangkap’ ini kita kembali belajar bahwa suatu peristiwa hukum memang dapat dimaknai beragam, tergantung dari siapa yang menjelaskannya.
Bagi Pak SBY beliau adalah korban penyadapan. Bagi Ahok dan Kuasa Hukumnya, komunikasi telepon Pak SBY dan Kiai Ma’ruf Amin adalah bukti bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama, karena Fatwa MUI-nya adalah pesanan.
Sama halnya, dengan kasus OTT. Patrialis Akbar mengatakan ia didzalimi, tidak pernah menerima dan membicarakan uang, serta Basuki bukan pemohon perkara.
ADVERTISEMENT
Maka, adalah tanggung jawab KPK untuk membuktikan di persidangan bahwa yang terjadi adalah modus biasa suap-menyuap melalui perantara dengan komoditas dagangan yang ditransaksikan adalah pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi
Akhirnya, apakah benar ada Sadap, adakah yang akan kena Tangkap, mari kita tunggu babak film politik-hukum selanjutnya.
Yang pasti berbeda dengan film menghibur “Kejarlah Daku, Kau Kutangkap” ataupun “Catch Me If You Can”, saya tidak yakin babak-babak selanjutnya dari soal dugaan penyadapan telepon Pak SBY maupun penangkapan Patrialis Akbar adalah tontotan yang nyaman dinikmati.