Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dua Persoalan Mendalam Manchester United
13 November 2017 13:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
Tulisan dari Deny Gunawan Susandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fans Manchester United mungkin harus sedikit bersabar bila ingin melihat tim idolanya mengangkat piala Liga Inggris untuk yang pertama kali semenjak ditinggal Sir Alex Ferguson. Tim yang bermarkas di Old Trafford tersebut nyatanya masih “betah” menyimpan segudang permasalahan yang diwariskan Ferguson dan tak kunjung memperbaikinya.
ADVERTISEMENT
Mendatangkan sejumlah nama beken dalam lima tahun terakhir seperti Angel Di Maria, Bastian Schweinsteiger, Eric Bailly, hingga The Lion Zlatan Ibrahimovic, Manchester United masih belum bisa memenangkan Liga Inggris. Padahal, Sir Alex Ferguson tidak pernah belanja besar-besaran ketika ia menangani tim Setan Merah. Apa yang menjadi kekurangan tim di musim sebelumnya, pasti akan langsung ditambal sebelum musim berikutnya dimulai.
Sebagai contoh ketika Manchester United gagal menjuarai Liga Inggris pada musim 2011/2012. Saat itu United kalah selisih gol dari pemuncak klasemen, si tetangga berisik, Manchester City. Sir Alex membaca “musibah” ini dan menerjemahkan menjadi satu kesimpulan bahwa Manchester United butuh sosok mesin gol seperti Aguero di City. Hasilnya? Musim 2012/2013 striker haus gol Robin Van Persie datang ke Old Trafford. Van Persie mengakhiri musim dengan menyabet gelar top scorer dengan 26 gol.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pelatih-pelatih Setan Merah selanjutnya tidak sejeli Sir Alex dalam menganalisis persoalan krusial dalam tim.
Berikut dua permasalahan mendalam Manchester United yang harus segera diselesaikan oleh pelatih-pelatih setelah Sir Alex Ferguson.
1. Pertahanan
Persoalan yang ditinggalkan Sir Alex dan seharusnya diperbaiki adalah lini pertahanan. Tidak percaya? di akhir musim 2012/2013, Manchester United adalah tim dengan jumlah kebobolan terbanyak di antara tim penghuni big four. Yang paling nyata adalah bagaimana United harus susah payah mengimbangi West Bromwich Albion dengan skor 5-5.
dan sialnya, Sir Alex menunjuk David Moyes sebagai penerusnya.
Akhirnya, sebuah persoalan luar biasa United tidak selesai. Bahkan memburuk dan membuat Manchester United kehilangan nama besarnya. Moyes seperti tidak tahu harus melakukan apa ketika ia menjadi manager Manchester United. Justru hal paling “lawak” ketika Moyes menangani Manchester United terkuak.
ADVERTISEMENT
Nemanja Vidic dan Rio Ferdinand dianggap Moyes belum cukup mumpuni dalam hal bertahan. Moyes pun meminta mereka berdua untuk belajar bagaimana caranya bertahan yang benar dari pemain bertahan Everton, Phil Jagielka, yang notabene merupakan mantan anak buah Moyes. Apa yang terjadi selanjutnya? Ferdinand justru tertawa dan bercerita kepada Vidic dengan mengatakan:
"Saya tidak mengerti apa maksud dia meminta kita melakukannya."
2. Lini Tengah
Persoalan lini tengah United sebenarnya sudah terlihat ketika Paul Scholes “dipaksa” untuk kembali dari masa pensiunnya dan memperkuat setan merah kembali. Namun, bukan berarti bahwa United tidak memiliki stok pemain tengah. Persoalannya adalah United adalah tipikal tim yang bergantung pada pemain tengah bertipikal seperti Scholes: hebat dalam menyerang dan bertahan.
ADVERTISEMENT
Pada era setelah Sir Alex pensiun, tidak ada pemain yang mampu mengemban dua pekerjaan berat seperti itu. Pemain yang bekerja keras di sata bertahan dan menyerang dan memiliki kemampuan duel bola bawah atau bola atas adalah kunci sebuah tim bisa juara. Buktinya adalah N’Golo Kante yang menjadi key player di dua musim (2015/2016 - 2016/2017) dan di dua tim berbeda (Leichester City dan Chelsea).
Kemampuannya berpindah-pindah posisi dengan cepat sempat, melakukan interception sebanyak 256 kali, memenangkan duel sebanyak 517, dan 69% tackle success sejauh ini, membuat ia sempat menjadi pemain sentral dalam tim. Leichester City pun terlihat begitu kehilangan Kante di musim 2016/2017. Tampil superior di musim sebelumnya, Jamie Vardy dan kawan-kawan hanya bisa finish di peringkat ke 12 di musim ke 2016/2017.
ADVERTISEMENT
Sepeninggalan Sir Alex Ferguson, Manchester United tidak memiliki gelandang yang mampu menjalankan tugas mengalirkan bola seperti Scholes. Michel Carrick mungkin sedikit banyak bisa mengobati kerinduan fans terhadap gaya bermain Scholes, namun Carrick lebih sering dipinggirkan dan bermain bila benar-benar tidak ada gelandang “kesukaan” pelatih yang bugar. Herrera bermain begitu labil, kadang bermain begitu baik, kadang menyebalkan.
Harapan sebenarnya ada pada Henrikh Mkhitaryan dan Bastian Schweinsteiger (pada saat itu sebelum pemain ini dijual) . Namun Mourinho terlalu sering menampatkan Mkhitaryan lebih ke sayap ketimbang sebagai pemain nomor 10 dalam tim. Padahal kemampuan Mkhitaryan yang cukup “lumayan” bisa muncul dan memberikan perbedaan pada tim ketika ia bermain di posisi tersebut. sedangkan Schweinsteiger, sudahlah, pemain ini mau sebagus apapun juga tidak mendapat tempat di hati Mourinho.
ADVERTISEMENT
Matic dan Pogba sebenarnya adalah duet yang dapat diandalkan. Namun Matic, di saat Pogba cedera seperti saat ini, tidak bisa menjalankan dua peran sekaligus. Matic begitu superior dalam membantu pertahanan dan membangun serangan.
Matic tidak bisa hanya bekerja sendiri, sedangkan Pogba adalah pemain yang dapat menghubungkan antara pemain dan pemain. Masih ingat bagaimana posisi Pogba musim 2016/2017? Ia ditempatkan terlalu belakang oleh Mourinho guna membantu pertahanan dan sedikit sekali melihatnya tampil mengkreasikan serangan seperti saat ia berseragam Juventus.
Bagaimana dengan Fellaini? Pemain yang seolah kini menjadi anak emas Mourinho sebenarnya bertipikal sama dengan Roy Keane. Bermain keras, mudah merebut bola, memenangkan duel-duel udara, dan agresif saat membayangi tim lawan. Namun, umpan-umpan yang dilepaskan Fellaini ternyata tidak bisa memanjakan teman-temannya, ia juga sering kali tersulut emosi dan akhirnya merugikan tim sendiri. Masih ingat bagaimana penalti di menit-menit akhir Everton musim 2016/2017?
ADVERTISEMENT
Jadi begini...
Sebenarnya banyak hal yang menarik untuk dibahas di artikel ini, termasuk bagaimana Van Gaal lebih senang memainkan Di Maria sebagai Striker ketimbang posisi aslinya di sayap atau jarangnya ia mengubah strategi walau tim sedang diacak-acak lawan.
Namun, percayalah, persoalan lini belakang dan lini tengah adalah persoalan yang harus segera diselesaikan Manchester United. Akan percuma rasanya bila Setan Merah memiliki striker-striker bintang namun tidak memiliki gelandang yang mampu memanjakan para strikernya.
Akan sangat percuma juga bila Manchester United mampu menyetak banyak gol namun juga di saat yang bersamaan harus memungut bola dari gawang sendiri dengan jumlah yang tidak sedikit.
Sepertinya Setan merah harus mulai berpikir belanja jor-joran di sektor pertahanan, setidaknya sampai mereka bisa sedikit mengurangi rasa panik ketika satu dua bek tengah mereka mulai cedera. Jika tidak, mungkin bek tengah seperti Lindelof, yang jarang bermain dan sekalinya bermain langsung memberikan “hadiah” dua blunder berujung gol, harus coba dimainkan.
ADVERTISEMENT
Hitung-hitung, agar gaji dan biaya yang dikeluarkan untuk membelinya di jendela musim panas lalu tidak sia-sia.