Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melihat Hubungan dan Isu Internasional Melalui Kacamata Feminisme
22 Oktober 2024 11:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Desak Gede Putri Satyawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hubungan Internasional adalah ilmu yang mempelajari mengenai hubungan aktor-aktor di dunia internasional. Aktor-aktor yang dimaksud dalam hal ini adalah negara, organisasi internasional, hingga individu. Teori-teori di Hubungan Internasional, seperti realisme dan liberalisme, mengatakan bahwa sistem internasional adalah anarki yang artinya tidak ada hierarki kekuasaan yang disetujui atau tidak ada aktor yang memiliki kuasa atas aktor-aktor lainnya. Dalam sistem yang anarki ini, aktor-aktor pun melakukan tindakan-tindakan untuk dapat memenuhi kepentingan nasional mereka. Tindakan-tindakan aktor-aktor ini, yang disebut sebagai hubungan internasional (tanpa huruf kapital) dapat kita analisis melalui teori feminisme. Oleh karena itu, sesuai dengan judul artikel, di dalam artikel ini saya akan membahas mengenai bagaimana teori feminisme memandang hubungan internasional.
ADVERTISEMENT
Menurut Cynthia Enloe, penulis buku Bananas, Beaches, and Bases tentang feminisme dalam hubungan internasional, teori feminisme dalam Hubungan Internasional (HI) adalah pendekatan yang mengkaji peran gender dalam dinamika politik dan ekonomi global. Teori ini menyoroti bagaimana ketidaksetaraan gender mempengaruhi hubungan internasional, serta bagaimana pengalaman dan perspektif perempuan sering kali diabaikan dalam analisis kebijakan luar negeri dan studi tentang konflik . Feminisme dalam HI berupaya untuk mengungkap dan mengkritik struktur kekuasaan patriarkal yang mendominasi, dan mendorong untuk memasukkan suara dan pengalaman perempuan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal, nasional, dan global.
Feminisme juga berargumen bahwa isu-isu seperti kekerasan seksual, perdagangan manusia, dan ketidakadilan sosial tidak hanya merupakan masalah individu, tetapi juga fenomena yang terikat pada struktur sistemik dan hierarki kekuasaan yang ada, sesuai dengan slogan feminisme yakni "personal is political" yang artinya masalah individual memiliki hubungan erat dengan bagaimana sistem di dunia berjalan.
ADVERTISEMENT
Masalah individual di Hubungan Internasional yang berkaitan dengan feminisme adalah masalah kesenjangan gender yang terjadi saat adanya peperangan. Contohnya adalah menggunakan kelemahan fisik perempuan sebagai salah satu alat peperangan. Contoh kasus yang terjadi baru-baru ini dapat dilihat dari Perang Kongo.
Di dalam Perang Kongo yang masih berlangsung di saat artikel ini ditulis, terjadi pemerkosaan terhadap wanita-wanita dari pihak-pihak yang berperang. Di dalam video interview oleh VICE News ini , seorang warga Kongo mengatakan bahwa pemerkosaan pada perempuan dilakukan oleh pihak-pihak yang berperang sebagai strategi dengan menanamkan ketakutan dan teror. Melalui teori feminisme dapat dilihat bahwa perempuan hierarki di bawah saat peperangan karena fisik mereka yang lemah hingga dapat disalahgunakan. Menurut Cynthia Enloe, pengalaman-pengalaman perempuan ini sering diabaikan saat terjadinya peperangan sementara pengalaman-pengalaman ini sebenarnya menunjukkan adanya kesalahan dalam sistem internasional. Maksudnya, karena perempuan rentan terhadap pemerkosaan saat adanya perang, seharusnya ada kebijakan untuk mempersenjatai perempuan saat perang dan sebagainya. Namun, kebijakan itu tidak ada yang artinya sistem internasional masih tidak peka akan masalah gender.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bagaimana solusi atas kesenjangan gender yang terjadi di hubungan internasional yang sudah dilihat dengan teori feminisme? Menurut Julie L. Arostegui di dalam artikelnya yang berjudul Gender and the Security Sector: Towards a More Secure Future, salah satu tindakan yang dapat diambil adalah dengan menambahkan partisipasi perempuan di dalam pembuatan kebijakan . Saat ini, di Indonesia, solusi ini sedang dalam proses dengan bertambahnya jumlah perempuan yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat kebijakan . Selain itu, organisasi internasional pun semakin peka terhadap kesenjangan gender dan berusaha untuk menarik perspektif perempuan, seperti dengan adanya UN Women yang diprakarsai oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2010. Dengan menambahkan partisipasi perempuan di dalam pembuatan kebijakan, perspektif perempuan pun dapat terdengar sehingga kebijakan yang muncul pun lebih inklusif terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT