Kasus Mahasiswa Bunuh Diri Terjadi Lagi, Apa yang Salah?

Desti Novianti
Mahasiswa S1 Sastra Arab Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2022 5:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desti Novianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pixabay/doctor-a
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pixabay/doctor-a
ADVERTISEMENT
Rasa lelah, tekanan mental dan akademik, lingkungan yang bebas merupakan momok menakutkan yang harus dihadapi mahasiswa terlebih di masa-masa awal memasuki jenjang perkuliahan. Situasi yang jauh berbeda dari masa SD, SMP, dan SMA merupakan tantangan bagi para maba (baca: mahasiswa baru) saat melewati transisi menuju dunia kampus. Belum lagi bagi mereka yang merantau dari luar pulau, kultur dan kondisi sosial masyarakat di tempat baru akan menjadi PR tambahan. Jika di rumahnya terbiasa dalam perhatian dan kasih sayang orangtua, sebagai perantau ia harus mampu mengelola dirinya sendiri dan mencari teman baru yang dapat menstimulus semangatnya saat beban-beban kuliah berdatangan mendorongnya pada rasa ingin menyerah.
ADVERTISEMENT
Memang banyak yang akan berhasil melalui fase awal itu. Namun, tidak sedikit pula para mahasiswa yang dirundung cemas, takut, dan bingung karena belum adanya kesiapan menghadapi ritme kehidupan yang semakin sulit. Di saat-saat seperti itulah mahasiswa diuji secara psikologis dan menentukan lolos tidaknya mereka dari seleksi alam. Memang, ada pepatah orang tua yang mengatakan bahwa masa muda belum ada apa-apanya dibandingkan kehidupan selanjutnya yang semakin pelik. Tapi, berangkat dari berbagai problematika yang cukup kompleks dihadapi mahasiswa saat ini, tak ayal jika kabar kematian dari kalangan mahasiswa ramai terdengar, entah melalui berita yang disiarkan langsung atau dari mulut ke mulut karena pihak (baca: oknum) kampus berusaha menutup-nutupi demi menjaga citranya.
Tegar, seorang mahasiswa UGM yang baru-baru ini dikabarkan meninggal secara mengenaskan setelah menjatuhkan diri dari lantai 11 sebuah hotel di daerah Jogja, ternyata tidak setegar namanya. Dalam tas milik maba angkatan 2022 ini, ditemukan sebuah surat yang diduga mengindikasikan pada kondisi psikologisnya yang tidak baik-baik saja, Dalam benak seorang Tegar ini mungkin sudah tidak terlintas tentang rasa sakit, bersalah dan juga kesedihan yang harus diterima oleh orang-orang di sekelilingnya jika ia mengakhiri hidup dengan cara tragis, karena bisa saja dia tidak lagi memiliki keberanian untuk hidup.
ADVERTISEMENT
Tindakan bunuh diri hampir selalu menjadi pelarian atas masalah yang tidak kunjung menemukan titik solusi hingga keputusasaan datang. Potensi besar penyebabnya adalah keluh kesah yang terus menerus dipendam dan merasa hidup dalam kesendirian. Terlepas dari konflik internal maupun eksternal yang dialami, sebuah fakta bahwa mental dan batin yang mengalami cedera atau terluka sangat rentan mengantarkan pada pikiran-pikiran putus asa.
Dinamika hidup mahasiswa adalah momen yang cukup krusial dalam proses pendewasaan. Bagaimana tidak, mahasiswa tidak bisa terlepas dari tempaan akademik maupun non akademik beserta bayang-bayang tentang masa depan yang mulai menghantui. Pada dasarnya rasa ingin bersenang-senang masih berkobar dalam jiwa-jiwa muda di fase dewasa ini. Perasaan tersebut terkadang menutupi kesadaran mahasiswa untuk tetap belajar. Ketika seorang mahasiswa tidak bisa menyeimbangkannya, aktivitas perkuliahan akan terasa melelahkan. Jika hal itu berlangsung lama tanpa penyelesaian, sedikit demi sedikit bisa berujung depresi. Depresi inilah pemicu besar bunuh diri terjadi.
ADVERTISEMENT
Kasus bunuh diri di tengah mahasiswa seharusnya menjadi concern bagi seluruh civitas di lingkungan kampus, khususnya pihak yang bertugas pada bidang advokasi dan kesejahteraan mahasiswa. Meski penyebab bunuh diri itu tidak bisa dilihat hanya dari satu faktor, universitas sebagai lembaga pendidikan mempunyai andil yang berpengaruh entah dalam mencegah maupun menangani kejadian bunuh diri mahasiswanya. Bahkan dalam proses berlangsungnya pendidikan, standar kampus yang tinggi identik dengan beban akademik yang tinggi pula. Hal ini berpeluang memforsir tenaga, fisik, dan mental mahasiswa yang pada akhirnya memicu ketidakseimbangan dalam bertahan hingga akhir masa studi.
Sebuah pelajaran bagi kita, untuk tidak mengejar kesempurnaan. Tidak membayangkan berlebihan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Sadari dan validasi semua bentuk emosi yang kita rasakan. Terkadang ketakutan diciptakan oleh diri sendiri. Alih-alih merutuki kekurangan berakibat menurunkan kepercayaan diri, membangun afirmasi positif akan menguatkan kita menjalani hidup. Menyederhanakan definisi kebahagiaan. Menghargai setiap hal kecil yang kita miliki dan lakukan.
ADVERTISEMENT
Pun dengan simpati dan empati untuk orang lain, sudahkah ditanamkan dalam diri kita? Hati-hati dengan apa yang kita katakan dan perbuat kepada orang lain. Setiap kita adalah saudara, maka alangkah baiknya jika saling bergandengan tangan satu sama lain, bukan menyakiti. Lebih mendengarkan daripada berbicara menghakimi benar atau salah.