Memahami Redenominasi Rupiah

31 Mei 2017 10:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Desain baru uang pecahan lima puluh ribu rupiah. (Foto: Aditia Noviansyah)
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter mengatakan saat ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia melakukan redenominasi mata uang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang dituliskan bahwa “Perubahan harga Rupiah diatur dengan Undang-Undang”. Perubahan harga rupiah yang dimaksudkan tersebut yakni redenominasi.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata denominasi /de·no·mi·na·si/ adalah harga surat berharga (sertifikat bank dan sebagainya) yang tercantum di dalam surat itu. Dengan demikian yang dimaksud dengan redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut.
Misalnya, uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Baca Juga:
ADVERTISEMENT
Uang rupiah desain baru yang diterbitkan BI (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sebagai ilustrasi, bila terjadi redenominasi 3 digit, maka uang Rp 6,5 tetap dapat membeli 1 liter bensin premium.
Namun demikian, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Samual mengatakan, untuk merealisasikan redenominasi diperlukan kondisi makroekonomi yang relatif stabil, seperti laju inflasi yang terkendali. Sebab, jika dilakukan ketika inflasi tinggi, harga barang-barang tinggi, maka redenominasi justru membuat penjual membulatkan ke atas barang dagangannya.
"Kalau misalnya dilakukan ketika harga tinggi, misalnya volatile food, maka akan mendorong masyarakat untuk menaikkan harga, apalagi kalau sentimen harga belum stabil mungkin akan memperparah inflasi yang sudah tinggi," ujar David kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (31/5).
ADVERTISEMENT
Redenominasi berbeda dengan pemotongan pecahan uang (sanering).
Pada tahun 1959, pemerintah memutuskan menurunkan jumlah uang beredar dengan cara memotong dua uang kertas yang memiliki nilai pecahan terbesar saat itu (sanering), yaitu Rp 500 yang bergambar macan dan Rp 1.000 bergambar gajah. Nilai masing-masing tersebut diturunkan hingga tinggal 10 persennya saja.
Uang Macan yang semula mempunyai nilai Rp 500 berubah menjadi Rp 50 sedangkan uang gajah yang semula Rp 1.000 berubah menjadi Rp 100. Namun pemotongan nilai uang ini tidak terjadi dengan nominal-nominal yang lebih kecil.
Menurut David, saat dilakukan sanering itu, kondisi masyarakat menjadi sangat kacau. Mereka bahkan berlomba-lomba menukarkan uang lamanya ke bank.
Kebijakan yang sama juga pernah dilakukan Orde Lama pada tahun 1965. Ketika itu, laju inflasi menyentuh titik tertingginya, mencapai 600 persen.
ADVERTISEMENT
"Perekonomian juga enggak bagus waktu itu, kurs kita malahan semakin melemah," katanya.
David juga mengatakan, sanering menjadi kebijakan yang memang harus diambil pemerintah ketika harga-harga melambung tinggi atau hyper inflation dan uang yang beredar juga berlebih.
"Sanering bisa dilakukan secara tiba-tiba enggak harus ada masa transisinya. Tentu berbeda dengan redenominasi," jelasnya.
Ilustrasi Uang Rupiah (Foto: Thinkstock)
Untuk lebih jelasnya, berikut perbedaan redenominasi dan sanering:
1. Dampak ke Masyarakat
Redenominasi: Tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama.
Sanering: Menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis.
2. Tujuan
Redenominasi: Menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam transaksi. Dan mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional.
Sanering: Mengurangi jumlah uang beredar akibat lonjakan harga-harga.
ADVERTISEMENT
3. Nilai Uang Terhadap Barang
Redenominasi: Tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan.
Sanering: Nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya.
4. Kondisi Ekonomi Saat Dilakukan
Redenominasi: Dilakukan saat kondisi makroekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Sanering: Dilakukan dalam kondisi makroekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi.
5. Masa Transisi
Redenominasi: Dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Bahkan BI menyebut masa transisinya bisa 7-8 tahun.
Sanering: Tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba.
6. Ilustrasi
Redenominasi: Bila terjadi redenominasi 3 digit (tiga angka nol), maka uang Rp 6,5 (Rp 6.500) tetap dapat membeli 1 liter bensin premium.
ADVERTISEMENT
Sanering: Bila terjadi sanering Rp 1.000 menjadi Rp 1, maka uang Rp 6,5 hanya dapat membeli 1/1.000 atau 0,001 liter bensin premium.