Menimbang Rencana Pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan

23 Mei 2017 10:08 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Galeri Pajak di Kantor Ditjen Pajak. (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
Pemerintah tengah melakukan reformasi perpajakan guna meningkatkan penerimaan negara. Selain itu juga untuk membangun sistem perpajakan yang ideal, yakni adil, transparan, dan akuntabel. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan Tata Cara Perpajakan.
ADVERTISEMENT
Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUP yang telah disampaikan pemerintah ke DPR, memang terlihat banyak perubahan, baik stuktur maupun isi dari payung hukum perpajakan tersebut.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, sejak bab pertama RUU tersebut, sudah banyak perubahan definisi baru.
Pada Pasal 1 ayat 2 RUU KUP misalnya, disebutkan bahwa orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sendiri dan/atau sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak dengan ketentan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan adalah Pembayar Pajak. Sedangkan pada undang-undang saat ini, definisi tersebut yakni Wajib Pajak.
Pasal 1 ayat 2 juga disebutkan, Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP) adalah nomor yang diberikan kepada Pembayar Pajak sebagai sarana pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas pembayar Pajak. Dalam undang-undang saat ini, definisi itu masih disebut sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
ADVERTISEMENT
Pada RUU KUP juga membahas mengenai definisi baru tentang pajak. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sementara definisi pajak hingga saat ini adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan mendapatkan imbalan secara tidak langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, pada RUU KUP juga mengatur definisi baru untuk sanksi, yakni hanya berupa sanksi administratif. Sedangkan hingga saat ini, sanksi pajak meliputi sanksi administratif, sanksi bunga, dan denda kenaikan.
ADVERTISEMENT
"Jika dulu dibedakan dengan bunga, denda, dan kenaikan, kini hanya disebut sanksi administratif untuk kemudahan dan menghindari kerancuan dengan pemahaman agama," ujar Prastowo kepada kumparan (kumparan.com), Selasa (23/5).
Gedung Ditjen Pajak (Foto: setkab.go.id)
Pada Pasal 1 ayat 8 RUU KUP disebutkan definisi pembukuan yang berbeda dengan saat ini. Pada RUU KUP, pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan/atau informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi komprehensif atau yang dipersamakan dengan itu untuk periode Tahun Pajak tersebut.
ADVERTISEMENT
"Pembatasan definisi pembukuan seperti ini akan menyulitkan industri yang laporan keauangannya tidak melaporkan modal, posisi keuangan, dan laba rugi komprehensif. Efeknya bagi industri migas akan dituduh tidak menyelenggarakan pembukuan hingga bisa ter-expose diterapkan nama penghitungan oleh Pemeriksa Pajak," jelasnya.
Dalam RUU KUP juga ada beberapa definisi yang dihilangkan atau ditambahkan dari UU saat ini, seperti mengenai penelitian dan penilaian. Jika pada RUU KUP, penelitian sama sekali tidak dibahas, padahal menurut Prastowo, penelitian atau verifikasi penting untuk mengatur cara atau mekanisme penetapan pajak yang efektif dan adil tanpa melalui pemeriksaan.
Sedangkan penilaian, pada Pasal 45 RUU KUP kali ini disebutkan bahwa Kepala Lembaga berwenang melakukan penilaian dalam rangka melaksanakan pengawasan, pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penagihan, dan penyidikan pajak. Tata cara penilaian juga diatur dengan peraturan Kepala Lembaga.
ADVERTISEMENT
Pada Pasal 41 ayat 1 RUU KUP, Kepala Lembaga berwenang melakukan pemeriksaan pajak. Sementara pada Pasal 29 UU KUP, disebutkan bahwa Ditjen Pajak berwenang untuk menguji pemenuhan kepatuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain. Artinya, pemeriksa pajak diberi kebebasan untuk mengakses dan meminta semua data dan infromasi yang diperlukan.
"Namun untuk menghindari penyalahgunaan prosedur, sebaiknya ketika mengakses data, memasuki atau memeriksa ruangan, serta melakukan penyegelan, pemeriksa perlu didampingi oleh pihak ketiga independen, misalnya polisi atau akuntan publik, yang dibuatkan berita acara yang ditandatangani semua pihak," jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, RUU KUP juga mengatur transformasi kelembagaan Ditjen Pajak menjadi sebuah lembaga. Sedangkan Dirjen Pajak akan diganti menjadi Kepala Lembaga.
ADVERTISEMENT
Transformasi ini memisahkan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan melalui pembentukan lembaga baru.
"Lembaga pemerintah non kementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Problemnya, sinkronisasi dengan UU lain, misal UU Keuangan Negara, UU Kementerian Negara, dan UU ASN (Aparatur Sipil Negara)," imbuhnya.
Lembaga tersebut, alternatif penamaannya adalah Badan Pemeriksa Perpajakan (BPP), akan berada langsung di bawah presiden. Menteri Keuangan hanya bertindak sebagai Dewan Pengawas lembaga tersebut.
Meski demikian, Kepala BPP nantinya tetap wajib melapor ke Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan akan mengkoordinasi sisi penerimaan dan pengeluaran.
"Catatan krisis saya pembentukan BPP perlu diikuti peta jalan lain yang jelas, sehingga menjamin efektivitas lembaga baru dalam pemungutan pajak," pungkasnya.
ADVERTISEMENT