Konten dari Pengguna

Jejak Panjang Inggris dan Diskriminasi dalam Industri Olahraga

Dhima Wahyu Sejati
Penulis kadang-kadang, kadang serius tapi santai, kadang santai tapi serius.
18 Maret 2021 19:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhima Wahyu Sejati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti dengan trofi juara All England 2020. Foto: Dok PBSI
zoom-in-whitePerbesar
Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti dengan trofi juara All England 2020. Foto: Dok PBSI
ADVERTISEMENT
Pihak PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) mengeklaim wakil yang dikirim Indonesia ke All England adalah yang terkuat, ini masuk akal, "jadi kalau saya katakan dengan persiapan kami sekarang, kami adalah kandidat terkuat juara." Kata Agung Firman, ketua umum (ketum) PBSI dalam jumpa pers (18/03/2021).
ADVERTISEMENT
PBSI memang secara kelembagaan cukup baik untuk memanajamen pemain. Sehingga pemain bulu tangkis kita juga cukup berbahaya di level internasional. Tepat seperti apa yang dikatakan ketum PBSI, "kita kandidat juara paling kuat yang sudah (pernah) mengalahkan Inggris."
Ada yang menarik dari celetukan ketum PBSI ini, ia sempat mengatakan, "saya kurang paham apakah ini diskriminasi atau tidak". Dari situ kemudian muncul pertanyaan adakah kemungkinan diskriminasi itu?

Isu Imigran di Inggris

Saya ingin berangkat dari hasil referendum 23 Juni 2016 oleh Inggris yang memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa, satu komunitas internasional yang lahir pasca PD II, lembaga ini bertujuan agar tercipta hubungan demokratis antar anggota.
Salah satu alasan kenapa Inggris keluar dari Uni Eropa adalah karena isu imigran. Sebab konsekuensi menjadi anggota Uni Eropa adalah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk orang luar agar bisa masuk ke Inggris, lalu mencari kehidupan dan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Dengan kebijakan itu banyak imigran yang masuk ke Eropa, termasuk di Inggris, data (dikutip dari jurnal politik UNRI) bulan Desember 2016 menunjukkan 596.000 orang masuk ke inggris, dan 323.000 yang keluar. Jika dihitung, maka ada 273.000 imigran masuk ke Inggris.
Data ini jelas mempengaruhi dinamika sosial di Inggris. Bayangkan ada orang asing yang berbeda secara budaya, ras, dan warna kulit. Kemungkinan besar akan terjadi konflik sosial.
Supaya kita bisa lebih mudah paham konteksnya bagaimana gambaran konflik sosial yang terjadi di Inggris; coba bayangkan pandangan kebanyakan masyarakat suku Jawa terhadap orang keturunan China. Berapa banyak cerita diskriminatif orang Jawa terhadap orang China?
Di Inggris, perilaku diskriminatif itu biasanya menimpa imigran dari Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Dilaporkan oleh media Inggris, The Sun—di tahun yang sama ketika Inggris keluar dari Uni Eropa (2016), polisi setempat mencatat ratusan imigran dari Suriah terlibat kejahatan, termasuk perkosaan dan perampokan. Ini membuat masyarakat Inggris tidak nyaman dan merasa terancam terhadap para imigran.
Atas isu imigrasi dan keamanan negara inilah, menjadi salah satu penyebab Inggris keluar dari Uni Eropa. Ditambah, semakin banyak warga dari negara konflik di timur tengah turut menjadi imigran dan masuk ke Inggris.
Isu imigran ini bisa menggambarkan secara umum pola hubungan orang-orang yang ‘asli’ Inggris dengan orang yang ‘bukan asli’ Inggris.
Ditambah masyarakat mengkonsumsi pola berita seperti The Sun tadi, akan timbul rasa khawatir dan punya kecenderungan menjauhi para imigran, lalu kemungkinan terburuknya mengarah pada diskriminasi
ADVERTISEMENT
Jika kita baca sekilas saja berita The Sun yang saya kutip atas, berjudul SYRIA CRIME WAVE Hundreds of Syrians in UK arrested over string of offences including rape and child abuse.
Terlihat pada judul, titik penekanan berita adalah ‘syiria crime', di situ ada penekanan ras; lalu kata 'Hundreds' mempertegas jumlah yang seolah 'besar', meski dipresentasi mungkin tidak sampai 5%, dan kata 'rape and child abuse' untuk penekanan tindak kejahatan.
Jadi, pola beritanya kira-kira begini; orang Inggris menjadi korban kekerasan dan kejahatan, sementara orang Suriah menjadi pelaku. Ini tentu bisa ditelaah secara Ilmiah menggunakan Analis Wacana Kritis ke media-media di Inggris, apakah punya kecenderungan yang sama.
Saya akan mengasumsikan bahwa kecenderungan media Inggris memang demikian. Asumsi saya sebenarnya mengarah pada bagaimana orang Inggris kebanyakan menganggap imigran, terutama orang Suriah (Timur Tengah secara umum) adalah 'teroris'. Media tentu turut membentuk persepsi itu.
ADVERTISEMENT
Nah, dari persepsi media menjadi persepsi publik, dalam teori Komunikasi disebut Agenda Setting. Dari situ akan timbul generalisir bahwa imigran itu membawa dampak buruk. Bukan tidak mungkin persepsi ini akan berubah menjadi tindakan yang diskriminatif

Diskriminasi dalam Olahraga

Diskriminasi ini berujung ke mana-mana, dalam berbagai sektor kehidupan, juga industri olahraga. Di English Premier League misal, kasta tertinggi sepak bola di Inggris ini banyak mencatat kasus diskriminasi.
Pernah Luis Suarez ketika masih memperkuat Liverpool, ia melakukan tindakan diskriminatif ke Patrice Evra, salah satu bek kiri Manchester United. Suarez, enggan bersalaman dengan Evra. Suarez kemudian memanggil Evra dengan sebutan 'niga', satu panggilan rasis yang mengarah ke warna kulit.
Lebih sering lagi, Mario Bolotelli, pria keturunan Ghana, berwarga negara Italia ini kena cemooh rasis ketika ia memperkuat Manchester City. Bahkan ketika ia bermain di Italia, negaranya sendiri, cemooh itu tidak pernah usai.
ADVERTISEMENT
Ironinya, itu terjadi hanya ketika ia berada di industri olahraga (sepakbola), "ketika saya belum terkenal, saya memiliki banyak teman, nyaris mereka semua orang Italia. Rasisme hanya dimulai ketika saya mulai bermain sepakbola." Dikutip dari goal.com.
Meski ada orang-orang seperti Nelson Mandela atau Martin Luther King Jr, yang memperjuangkan kesetaraan. Masih saja tindakan diskriminatif itu masih ada.
Barangkalai latar historis—yang menganggap orang kulit putih (atau ras dari negara tertentu) itu lebih unggul dari kulit hitam, membuat jalan panjang menghentikan rasisme dan diskriminasi menjadi sulit.
Di level perorangan mungkin rasis bisa saja kita atasi bersama dengan pencegahan sosial, seperti aksi demo (perang tagar) di twitter, misal.
Tapi ketika yang melakukan itu adalah lembaga pemerintah, atau lembaga yang lebih kecil, seperti federasi olahraga, atau lembaga kesehatan publik Inggris, tentu saja kita tidak mengharapkan itu benar-benar terjadi. Apa yang bisa diperbuat jika National Health Service (NHS) melakukan diskriminasi?
ADVERTISEMENT
Sebab, satu lembaga akan jauh lebih sulit diantisipasi dan akan lebih samar dalam melakukan diskriminatif, karena cara-caranya bisa saja menjadi di-legal-kan oleh peraturan. Termasuk di-legal-kan atas nama protokol kesehatan yang mengharuskan pemain bulu tangkis Indonesia melakukan isolasi dan gugur di All England tanpa pertandingan.
“Ini adalah satu-satunya (cara) agar Indonesia tidak menang”, kata Agung Firman dalam jumpa pers (18/03/2021), raut mukanya sangat kesal, tatap matanya sangat tajam.