Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Potret Pendidikan Anak Pekerja Migran di Malaysia
8 Juli 2018 1:28 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari dian ratri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: Dokumen Pribadi
Subuh tadi mata saya mendadak sembab saat membuka pesan di salah satu grup yang setia saya ikuti sejak kepulangan dari tugas di Konsulat RI Tawau, Agustus 2016 lalu. Haru, begitu mendengar kalau 123 anak-anak pekerja migran Indonesia di Sabah berhasil mendapatkan beasiswa ke berbagai Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia melalui Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) 2018.
Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Sebagian dari mereka adalah anak-anak lulusan Community Learning Centre atau dikenal dengan CLC, yaitu sekolah terbuka yang digelar pemerintah Indonesia di pelosok ladang sawit Sabah, Malaysia untuk melayani anak-anak TKI dari tingkat SD hingga SMP. Perasaan bahagia menyeruak mengingat kembali drama perjalanan mereka yang begitu panjang hingga akhirnya bisa kembali ke Indonesia guna mengejar cita-cita.
Bermula dari ide nekat dua orang guru Indonesia yang bertandang ke rumah di suatu sore awal Januari 2015. Mereka risau dengan kelanjutan nasib anak didik mereka selepas lulus CLC SMP. Mau jadi apa mereka kelak? Kembali menjadi buruh ladang? Menikah dini? Gembong narkoba? atau dreba (supir)? Akankah cita-cita mereka tertutup rimbun pohon sawit di tanah rantau? Padahal banyak dari anak-anak itu cemerlang potensinya. Sangat bergairah belajarnya.
ADVERTISEMENT
Kegelisahan para guru tersebut sama dengan kegelisahan saya. Penugasan di fungsi sosial budaya memberi tanggung jawab kepada saya untuk melakukan pembinaan terhadap warga negara Indonesia di wilayah kerja. Tak hanya bagi WNI atau diaspora Indonesia, ada banyak anak-anak TKI yang sebenarnya berdasarkan aturan tidak diizinkan tinggal di Sabah. Pihak imigrasi tidak bisa lagi menerbitkan izin tinggal bagi anak pekerja yang bergaji di bawah RM 5000.
Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 23.000 anak di Sabah yang saat itu sudah dilayani akses pendidikannya baik melalui CLC maupun bekerja sama dengan Pusat Bimbingan Humana, sebuah Non-Goverment Organisation (NGO) Malaysia. Pemerintah Sabah menyebut mereka Sabah Inland Foreigner.
Anak-anak itu lahir dari pernikahan di bawah tangan para TKI yang sebagian besar sudah 2-3 generasi tinggal dan bekerja di sana. Orang tuanya tak punya catatan nikah, pun karena itu sang anak tak punya surat lahir maupun dokumen pokok lainnya. Beberapa yang masih kecil akan dititipkan di kandang budak atau tempat penitipan anak kemudian setelah agak besar disekolahkan di Pusat Bimbingan Humana atau CLC.
ADVERTISEMENT
Namun, tak banyak yang seberuntung itu. Layanan pendidikan yang sudah digelar pemerintah sejak 2006 belum mampu menjangkau seluruh kawasan perladangan di Sabah. Tahun 2015 saja, ada sekitar 975 lulusan CLC SD dan 650 CLC SMP, sementara daya tampung sekolah menengah di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu waktu itu hanya 100-an saja. Mau dikemanakan sisanya? Saya terdiam sesaat begitu guru-guru itu mengajukan proposalnya.
Kembali saya tertegun.
Camp ala Kadarnya
Rupanya segelintir muda-mudi ini tak patah arang, jelang Ramadan mereka kembali bertandang. Mereka sudah siap dengan proposal lengkap bersama segala rencana, susunan acara, anggaran, dan detail kegiatan lainnya. Sabah Bridge , demikian mereka namakan gagasan itu. Sebuah gerakan yang bercita-cita menjembatani anak-anak TKI kembali ke Indonesia secara legal dan mengembalikan harkat martabat mereka sebagai manusia melalui pendidikan setingkat SMA.
ADVERTISEMENT
Ramadan pun tiba. Proposal SB Camp sudah saya sampaikan ke Kepala Perwakilan beberapa minggu sebelumnya. Rupanya beliau sangat concern dengan program ini. Lama beliau duduk berbagi rembug untuk mendiskusikan jalan keluar berbagai halnya.
Camp perdana itu pun terselenggara. Dengan dana patungan, lokasi gratisan dan makanan hasil patungan justru membuat acara ini sarat makna. Walau baru kali pertama jumpa, dengan cepat, 28 anak itu saling berkenalan dengan gembira. Masing-masing menggaungkan cita-cita mereka yang hingga kini masih lekat dengan ingatan saya.
Salah satunya adalah Riana, si gadis imut dengan percaya diri lantang bersuara ingin jadi Presiden. Alhamdulillah kini ia diterima di jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin UNM. Ada juga Johan yang malu-malu namun bersuara merdu dan bercita-cita jadi guru. UGM kini siap menempanya di jurusan Manajemen.
Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Misi Penuh Drama
Sesak dada ini mengingat peliknya perjuangan mereka saat akan melangkahkan kaki ke Indonesia. Tak mudah berpisah dengan orang tua sebelia itu. Apalagi jarak yang ditempuh membentang dari Sabah hingga pulau Jawa.
Terlebih lagi, salah satu kontrak yang disusun tim Sabah Bridge adalah agar anak-anak tersebut tak dulu kembali ke Sabah hingga setahun berikutnya. Bahkan kalau bisa hingga selesai sekolah tingkat menengahnya.
Urusannya rumit. Karena tak punya identitas, langkah pertama adalah menyiapkan segala dokumen sang anak. Para guru memainkan peran besar mewakili orang tuanya wara-wiri ke konsulat. Perjalanan ada yang harus ditempuh 2-6 jam dari ladangnya. Kebijakan khusus disiapkan konsulat untuk memudahkan urusan.
Selain bisa kolektif, persyaratan bisa dikirim via email sehingga anak-anak tinggal datang untuk foto paspor saja. Dokumen berupa surat keterangan lahir, pindah domisili, keterangan tidak mampu, dan surat lainnya disiapkan agar kepindahan anak-anak ke tanah air tak terkendala.
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di situ, permasalahan terpelik adalah di imigrasi Malaysia. Anak-anak itu harus keluar dengan special pass yang diberikan sebagai pengecualian bagi anak-anak TKI yang lahir di Sabah saja. Bagi orang dewasa yang ketahuan sebagai pendatang ilegal atau overstayer, bisa keluar secara resmi dari Sabah dengan membayar denda RM 3000 (sekitar 10 juta) atau bisa juga tanpa membayar sebesar itu tapi akan kena black list kunjungan 5 tahun berikutnya.
Rumitnya urusan ini seringkali membuat orang memilih lewat jalur belakang atau jalur tak resmi yang sangat beresiko. Seperti nampak dalam kecelakaan speedboat di perairan Sebatik baru-baru ini yang berakhir dengan hilangnya nyawa.
Hangusnya 13 Tiket
Komunikasi intensif dilakukan segenap fungsi di Konsulat kepada pihak terkait agar pengurusan dokumen anak-anak tersebut bisa berjalan dengan baik. Drama belum berakhir walau bulan ramadhan sudah di penghujung akhir. Kisah hangusnya 13 tiket pesawat anak-anak ke Jawa menambah sedu sedan para pengurus.
ADVERTISEMENT
Izin dari imigrasi belum keluar sedangkan jadwal orientasi di sekolah sudah di depan mata. Berbagai lobi, negosiasi, dan skenario pengganti didiskusikan bertubi oleh segenap yang terlibat. Alhamdulillah, walau uang bisa hilang tapi asa dan semangat tak akan lekang.
Rupanya perjuangan dari awal justru memacu semangat anak-anak itu terus mengupayakan yang terbaik. Kendala budaya, transisi bahasa, rasa minder, perbedaan cara belajar, terlebih rasa rindu keluarga mendera jiwa, membuat mereka harus menjadi juara, setidaknya atas diri mereka. Berbagai prestasi tertoreh.
Tengoklah Annastasia dan Elisabeth. Ibunya meninggal saat dekat jadwal ujian. Menjadi yatim tak kemudian membuat mereka cengeng. Penguatan dari sekolah dan lingkungan asrama membawa mereka melawan rasa sedih dan takutnya untuk terus berkarya.
Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Kini, masing-masing mereka siap membentangkan sayap, terbang melesat menuju cita-cita. Saya berharap mereka kelak bisa menjadi agen perubahan di lingkungan asal mereka.
Mengajak anak-anak ladang agar kembali mengenal Indonesia, mengajak adik-adik serta rekannya agar terus mau belajar sehingga mereka bisa keluar dari kungkungan mata rantai pekerja migran ilegal yang menghantui kehidupan masyarakat di sekitar tempat lahirnya.
Pekerjaan rumah masih banyak. Masih ada ribuan anak-anak TKI di Sabah. Sebagian masih tak terlihat, tak tersentuh, padahal di tubuhnya mengalir darah Indonesia. Mereka butuh uluran tangan, atau setidaknya setitik kepedulian.
Walau pernah menerima anugerah Hasan Wirajuda Award 2017, Sabah Bridge tak mungkin bisa sendirian. Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kuala Lumpur telah demikian banyak membantu, terutama dalam memfasilitasi pemberian Beasiswa ADik bagi anak-anak TKI di Malaysia.
ADVERTISEMENT
Sekolah Indonesia Kota Kinabalu, KJRI Kota Kinabalu, Konsulat RI Tawau, khususnya para guru di lapangan tak pernah jemu bahu membahu memastikan layanan pendidikan bagi anak-anak terselenggara karena itu adalah hak mereka sebagai bagian Indonesia.
Foto: Dokumen Pribadi
Tak kalah penting dukungan masyarakat Indonesia untuk sekedar berbagi dukungan moril, donasi apalagi kesediaan sebagai orang tua asuh akan sangat berarti bagi ribuan anak-anak di Sabah sana. Saya pun akan terus berbisik kepada mereka, “Kembalilah ke Indonesia kita.”
Foto: Dokumen Pribadi