Konten dari Pengguna

Aturan Jam Kantor, Penyebab Rendahnya Produktivitas dan Buruknya Kinerja ASN

Diana Rahmawati
Ibu Rumah Tangga, Mantan ASN Ditjen Pajak Kemenkeu, Mahasiswa Sastra Inggris @ Universitas Terbuka, Menekuni Hobi Menulis
2 September 2023 9:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diana Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi PNS. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PNS. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
“Mbak Diana, dari mana saja kok baru muncul?" sapaan bernada teguran itu menggema di ruangan. Saya yang baru datang dari istirahat makan siang, seketika disambut bos, padahal belum lagi sampai di meja kerja. Kejengkelan beliau tentu saja cukup beralasan, mengingat saya pergi melebihi jatah istirahat yang seharusnya hanya satu jam.
ADVERTISEMENT
Siang itu, ceritanya saya ngambek. Sebagai petugas front office, yang melayani para stake holder dari pagi sampai sore, saya merasa kelelahan. Dalam kondisi hamil di trimester ketiga, pasti ingin selalu mengubah posisi untuk mengurangi rasa pegal di sekujur badan.
Tapi tugas yang saya emban memaksa agar saya terus duduk di belakang meja, suatu dilema yang harus saya hadapi sehari-hari. Sementara itu, saya amati ada partner yang bekerja lelet, yang lain lagi seperti sengaja tidak tertib melaksanakan jam jaga loket.
Dengan ritme kerja lambat dan mengurangi waktu bertugas seperti itu, otomatis antrean jadi lebih panjang. Konsekuensi lainnya, saya yang biasa menyegerakan dalam pemberian pelayanan akan mengerjakan lebih banyak perekaman pelaporan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini saya merasa dirugikan oleh partner-partner yang kurang perform tersebut. Di sisi lain atasan nampak tidak peduli dan tidak responsif, ketika kami stafnya menyampaikan aduan atau masukan.
Saking sudah terakumulasinya rasa dongkol di hati, hari itu saya protes dengan aksi nyata. Mbolos bertugas di paruh kedua, dari setelah jam istirahat hingga sore menjelang absen pulang. Teman saya mengadu, dan kali itu bos bertindak.
Omelan bos pun saya jawab dengan penuh kepuasan hati, “Saya tidak terima diperlakukan tidak adil begini. Kalau Bapak ingin tahu siapa di loket yang kerjanya paling banyak, sini saya tunjukkan pelaporannya!”
***
Ilustrasi Aparatur Sipil Negara (ASN). Foto: Shutter Stock
Saya seorang mantan ASN, dulu populer dengan sebutan PNS, dan ditugaskan pada salah satu kementerian selama tujuh belas tahun. Kini saya adalah ibu rumah tangga, setelah pada 2017 lalu melepas status tersebut, yang konon menjadi dambaan hampir setiap orang di tanah air.
ADVERTISEMENT
Menjadi bagian dari sistem birokrasi, kala itu saya melihat ada beberapa hal yang rasanya tidak pas dan perlu dibenahi. Salah satunya adalah tentang aturan jam kerja pegawai.
Tentu kita semua tahu, bahwa ASN terikat dengan aturan untuk berada di lingkungan tempat bekerja selama waktu yang ditentukan. Keluar kantor tanpa izin ataupun tidak dengan alasan yang jelas, artinya pelanggaran dan akan menuai konsekuensi.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan selama dulu bekerja, salah satunya seperti yang saya ilustrasikan pada pembukaan di atas, saya berpendapat bahwa aturan jam kerja bagi ASN itu adalah salah satu biang keladi rendahnya produktivitas dan buruknya kinerja pegawai.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa tidak semua ASN memiliki kualifikasi sesuai standar. Pegawai yang punya kompetensi pun, di kemudian hari bisa luntur etos kerjanya. Hal tersebut bisa dikarenakan iklim di tempat bekerja, sistem pembayaran gaji yang pukul rata (kerja gak kerja tetap digaji sama), juga karena aturan jam kerja.
ADVERTISEMENT
Dalam instansi tempat dulu saya berkarier, selama kami mematuhi jam kantor, mau kerja atau sekadar ongkang-ongkang belaka, bukan hanya gaji tapi tunjangan yang dibayarkan tiap bulan pun, utuh tanpa potongan. Menakjubkan bukan?
Bagi sebagaian orang, hal tersebut menjadi daya tarik untuk berlomba-lomba menjadi ASN lewat berbagai cara. Dari mulai masuk sekolah kedinasan, seleksi masuk yang wajar, hingga praktik-praktik jalan belakang.
Namun bagi sebagian lain, kondisi yang saya sampaikan tersebut merupakan sebuah ironi di tengah masih banyaknya pengangguran terpelajar dalam lingkup masyarakat luas, sekaligus menjadi masalah besar bagi birokrasi di Indonesia.
Aturan jam kantor yang ketat, memang menjadi pemicu bagi ASN untuk mematuhi—walau sering sambil mengakali kelemahan sistem absensinya juga. amun sayangnya tidak serta merta diimbangi dengan peningkatan kinerja.
ADVERTISEMENT
Penerapan aturan jam kerja tidak hanya kurang efektif dalam penegakan disiplin, tapi juga berpotensi menghambat munculnya performa pegawai. Alih-alih produktivitas organisasi meningkat, yang ada justru pekerjaan yang diulur-ulur.
Kalimat seperti, “Kalau bisa nanti-nanti, untuk apa dipercepat?”, adalah bentuk ungkapan yang seolah memberikan gambaran, bahwa bekerja lambat telah menjadi tradisi yang tanpa sadar telanjur mendarah daging dalam tubuh instansi-instansi pemerintah di negeri kita.
Reformasi birokrasi yang sudah lama berlangsung, cukup efektif di beberapa bidang. Akan tetapi, dalam segi pembenahan kualitas sumber daya manusianya, saya kira masih menyisakan PR besar bagi pemerintah.
Dalam habitat ASN perkantoran, bukan hal yang asing lagi saat dijumpai adanya pegawai dengan performa tinggi dieksploitasi untuk mengerjakan tugas-tugas teman-temannya yang dinilai lambat. Tak jarang, bahkan mereka pun, dipaksa mengemban tanggung jawab atasannya yang tidak kompeten.
ADVERTISEMENT
Sangat gemas rasanya menyaksikan orang-orang dengan gaya petentang-petenteng sok gaya, menerima penghasilan bulanan lebih dari lumayan, dengan hanya setor jari setiap hari. Datang pagi untuk absen, selanjutnya tak jelas apa aktivitas produktifnya. Sore, absen pulang.
Saya tak hendak mengatakan sistem pengawasan kinerja tidak dibuat, tentu saja itu ada. Namun sekali lagi, kelemahan masih ada di mana-mana, kadang malah seperti buat formalitas saja. Tak heran saat melihat teman yang tidak bekerja sesuai standar, tapi menerima penghasilan sama atau bahkan lebih dari kita hanya karena pangkat/jabatannya, demotivasi itu hadir menggoda.
Rasanya kok konyol saja begitu, dan ingin ikut-ikutan seenaknya saja. Jika hal tersebut terjadi meluas, tak pelak akan berdampak negatif bagi organisasi secara keseluruhan. Sebab kita tak bisa mengharap pegawai dengan etos tinggi itu, semua memaknai kerja sebagai ibadah, bagaimana pun, sistem dalam sebuah instansi harus dirancang dengan mengadopsi pola reward and punishment secara tegas.
ADVERTISEMENT
Perubahan dalam penerapan aturan jam kerja di lingkungan instansi pemerintah, perlu dilakukan. Perombakan perlu disegerakan, demi tercapainya produktivitas yang akan mendongkrak citra kantor-kantor biru ini. Terapkan pengaturan jam bertugas sesuai keperluan, selebihnya fokuskan pengawasan pada target kinerja yang telah ditentukan bagi masing-masing pegawai.
Situasi yang terjadi sejak mulai merebaknya Covid-19, seharusnya bisa dijadikan bahan evaluasi oleh pihak berwenang dalam mengambil langkah-langkah kebijakan terkait hal ini.
Lihatlah, bagaimana mereka, para ASN yang kapabel setelah melalui masa adaptasi, mampu mengerjakan tugas-tugasnya dari rumah, ketika pola WFH (working from home) diberlakukan. Perhatikan sebagian lain yang ternyata tidak perform, ambil tindakan seperlunya lalu berikan pembinaan serta pelatihan.
Pembenahan sistem pada suatu organisasi yang berskala besar memang mengandung risiko tidak ringan. Akan tetapi, mempertahankan suatu pola yang telah terbukti tidak efektif, sama saja artinya dengan membiarkan sebuah ancaman besar yang akan menghambat kemajuan, yang ingin dicapai di masa depan.
ADVERTISEMENT