Belajar City Branding dari Jogjakarta

dian ardiansyah
Penulis adalah seorang pranata humas di Badan Informasi Geospasial (BIG), saat ini disamping kegiatannya dalam melayani publik spasial, penulis juga berusaha untuk belajar menulis berbagai artikel ringan
Konten dari Pengguna
5 Juni 2023 11:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dian ardiansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Koleksi pribadi, Tugu Yogyakarta, dikenal juga dengan nama Tugu Pal Putih
zoom-in-whitePerbesar
Koleksi pribadi, Tugu Yogyakarta, dikenal juga dengan nama Tugu Pal Putih
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat disebut nama Jogjakarta atau Yogyakarta, hampir pasti tiap orang punya ingatan kuat tentangnya. Ingatan yang baik maupun buruk. Yang baik, bisa tentang jalan Malioboro, Keraton Jogjakarta, Tugu 0 Km, Gudeg yang khas, aneka brand Bakpia Pathok, Angkringan nasi kucing, Kopi Klotok, hingga Kaliurang dengan Monumen Jogjakarta Kembalinya. Sedangkan ingatan yang buruk terbentuk oleh kenangan letusan Gunung Merapi, Gempa Jogjakarta yang menelan banyak korban dan Klitih, kejahatan sadis yang melibatkan anak-anak di bawah umur. Seluruhnya berhamburan jadi gambar yang menari-nari saat Jogjakarta disebutkan. Nama kota dengan berbagai ingatan yang melekat tentangnya, lazim disebut sebagai city branding.
ADVERTISEMENT
City branding, menurut Gustiawan (2011), merujuk pada strategi negara atau kota untuk menancapkan citranya. Citra yang tertanam luas ini, memberi efek pengenalan bagi yang mendengarnya. Mampu mengundang kunjungan wisata ke kota yang melakukan branding.
Koleksi pribadi, papan nama jalan Malioboro
Yang terjadi dengan Jogjakarta, merupakan keterkaitan logis. Secara sistematis maupun tanpa disadari, terdapat upaya melekatkan Jogjakarta sebagai kota budaya, pariwisata, maupun pendidikan. Tujuannya, menaikkan kesejahteraan masyarakatnya. Ini ditempuh lantaran Jogjakarta yang tak kaya sumberdaya alamnya, maupun aktivitas pabrikasi, seperti wilayah lain di sekitarnya. Sumber-sumber pendapat nontangible jadi andalan.
Ini kemudian jadi pertanyaan, bagaimana agar pencapaian yang diraih Jogjakarta dapat diterapkan di kota-kota lainnya. Tentu agar kesejahteraan yang didapatkan masyarakatnya, bisa dinikmati masyarakat kota-kota lainnya?
ADVERTISEMENT

Kekuatan tagline sebagai branding

Jogjakarta di sekitar tahun 2002, menggagas city branding dengan tagline Jogja Never Ending Asia. Ini melekat hingga 13 tahun kemudian, saat diganti dengan Jogja Istimewa. Tagline yang disematkan ini, tak hanya berorientasi lokal, namun menjangkau hingga asia. Citra yang digemakan, bertahan kuat di ingatan khalayak. Saat mengalami perubahan di tahun 2015, tagline yang lama pun, masih tertancap kuat. Tak serta merta digantikan oleh yang baru.
Koleksi pribadi, pasar Beringharjo, salahsatu ikon menarik di jalan Malioboro
Jogja Istimewa, memang terasa istimewa. Ini sesuai penuturan penggagasnya, Herry Zudianto. Istimewa membawa semangat keistimewaan kottanya yang terus berkembang, berintegritas, dan memiliki diferensiasi yang kuat, dibanding daerah lain. Kekuatan tagline lama perlahan-lahan beranjak digantikan
Sebelum Jogjakarta Istimewa disepakati sebagai tagline baru, saat pandemi berlangsung tahun 2020, sempat dirilis tagline: Jogja Wajar Anyar. Konteksnya sebagai penyesuaian diri di situasi new normal. Namun penggunaannya tak berlangsung lama. Demikian pula yang terjadi pada Oktober tahun 2021, Yogyakarta mencoba tagline Jogja Keren (YK) dan The City of Creative.
ADVERTISEMENT
Saat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno meluncurkan tagline itu, disebutnya sebagai awal kebangkitan pariwisata dan ekonomi kreatif Kota Jogjakarta. "Jogjakarta tak boleh kalah. Jogjakarta-The City of Creative,". Dengan brand baru itu, diharapkan Jogjakarta bisa setara dengan kota-kota maju lain di dunia. Sebut saja New York, dengan slogannya 'The City That Never Sleep'. Paris dengan 'The City of Love'. Juga Los Angeles dengan 'The City of Angels'.

Kenali dan Petakan

Belajar dari Pemerintah Jogjakarta, city branding harus direncanakan dengan sistematis. Didahului dengan penyusunan tim yang mampu melakukan berbagai penelaahan di segala aspek. Juga ujicoba yang mendalam pada keputusan yang dipilih. Potensi kota yang dimiliki maupun keunggulannya diinventarisasi terlebih dahulu. Demikian pula dengan ancaman dan kelemahannya. Hasilnya, berupa peta kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang yang dimiliki kota.
ADVERTISEMENT
Seluruhnya sesuai dengan pemikiran Dan Salganik, mitra pengelola visualfizz.com, dalam artikelnya “The Ultimate Guide to Branding a City, Smart City, or Municipality”. Ia menyampaikan, melakukan branding ataupun rebranding di sebuah kota, membutuhkan banyak pertimbangan. Salganik yang mengacu pada data Forbes mengungkapkan, banyak kampanye branding gagal, angkanya tak kurang dari 86%, karena banyak kota yang mencoba mengubah citranya tanpa adanya uji coba yang cukup. Juga penelitian yang memadai. Terdapat beberapa Langkah melakukan city branding ataupun rebranding, menurut ahli identitas kota ini: pertama, memastikan tujuan yang jelas. Kedua, mengetahui target pasarnya. Ketiga, mengenali dan memahami potensi yang dimiliki. Keempat, terdapat standar atau pembanding. Dan kelima, adanya strategi media yang selaras.
Titik kritis dari 5 hal yang dikemukakan Salganik adalah menentukan tujuan dan target pasar yang jelas. Ini harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki. Juga mengetahui dan memahami kondisi kota yang aktual. Seluruhnya memerlukan identifikasi jujur, terkait aspek positif maupun negatif, yang melekat pada kota. Bila tahap pengenalan di atas sudah dilalui dan datanya sudah memadai, langkah berikutnya adalah pemetaan.
ADVERTISEMENT
Menjadi penting di tahap perencanaan maupun pengembangan, pemerintah kota memetakan berbagai informasi city branding ke dalam aplikasi yang mudah diakses pihak-pihak yang berkepentingan. Semua potensi positif ataupun negatif, terpetakan secara spasial. Ini penting, agar berbagai potensi yang dimiliki dapat direncanakan penanganannya, sesuai lokasi, permasalahan maupun data yang tersedia.
Komponen spasial dalam perencanaan city branding, merupakan jawaban bagi keraguan terhadap keberhasilan penyusunan city branding. Akan terlihat secara jelas, berbagai program yang direncanakan di berbagai wilayah maupun lokasi tertentu. Kemungkinan terjadinya tumpang-tindih pekerjaan, kelebihan anggaran, maupun ketaksesuaian perencanaan, dapat dicegah. Aplikasi perencanaan penting city branding adalah peta perencanaan Kawasan. Bisa berupa rencana tata ruang dan wilayah. Juga bentuk rencana detail tata ruangnya. Hal ini berguna untuk menghasilkan perencanaan yang menyeluruh, dan mengikat semua pihak yang terlibat dalam proses city branding.
ADVERTISEMENT

Kolaborasi Semua Pihak

City branding, bukan semata program pemerintah. Keberhasilan perencanaannya harus didukung semua pihak. Karenanya, kolaborasi maupun sosialisasi harus melibatkan berbagai pihak, yang terkait langsung maupun tidak. Seluruh aparat pemerintah di berbagai unit kerja, masyarakat umum, akademisi, maupun swasta haruslah mendukung, menciptakan keterpaduan.
Perlu adanya kerjasama di antara pembuat kebijakan, pelaku usaha, lingkungan pendidikan, maupun masyarakat. Semuanya jadi bagian dari program, jadi bagian sejarah pembentukan city branding Kolaborasi dan keterlibatan pada program inilah, yang bisa dengan mengubah sebuah daerah, sesuai dengan tujuan city branding.
Melibatkan berbagai pihak sesuai tugasnya, juga merupakan wujud sosialisasi program, agar tepat sasaran. Hanya saja metode ini membutuhkan biaya operasional yang tinggi. Karenanya berbagai upaya kreatif diperlukan untuk mengurangi tingginya biaya itu. Jalan yang dapat ditempu saat ini, dengan melibatkan media sosial sebagai alat sosialisasi dan promosi.
ADVERTISEMENT
Sebagai pernyataan penutup, keberhasilan city branding bukanlah pekerjaan cepat jadi, yang dibuat hari ini dan segera bisa dinikmati hasilnya. Seturut telaahan pada artikel ini, pemahaman, mulai apa itu city branding, perencanaan, pelibatan berbagai pihak hingga aktualisasi penerapannya mutlak dipahami. Walaupun merupakan kerja yang Panjang dan mutlak melibatkan berbagai pihak yang dalam pelaksanaannya, upayanya tak pernah boleh berhenti. Harus ada kerjasama. Yang melibatkan pembuat kebijakan, pelaksana teknis pemangku kepentingan, akademisi, pelaku usaha, dan masyakarat.