Konten dari Pengguna
Tubuh Perempuan Bukan Konsumsi Publik: Saat Standar Kecantikan Jadi Alat Kontrol
8 Juni 2025 13:50 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Diandra Aprillia Mayra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Tubuh perempuan seolah jadi ruang publik. Bisa dikomentari siapa saja, kapan saja, bahkan tanpa diminta.
ADVERTISEMENT
Mulai dari iklan sabun yang memutihkan kulit dalam 7 hari, sampai komentar “kok kamu gendutan?” dari kerabat di acara keluarga, tekanan terhadap tubuh perempuan hadir di mana-mana. Kadang datang dari orang asing di media sosial, kadang justru dari orang terdekat.
Masalahnya bukan hanya soal fisik, tapi soal hak untuk mengontrol tubuh sendiri, atau yang sering disebut sebagai body autonomy.
Dari Lemak ke Luka: Standar Kecantikan yang Tak Realistis
Media kerap menyajikan citra “perempuan ideal” sebagai sosok dengan tubuh langsing, kulit putih mulus, rambut panjang terurai, dan wajah tanpa jerawat.
Citra ini bukan cuma tak realistis, tapi juga menyisakan luka psikologis. Data dari Komnas Perempuan (2023) menunjukkan bahwa 73% perempuan muda di Indonesia merasa tidak puas dengan penampilan fisiknya. Banyak dari mereka mengalami gangguan citra tubuh (body image) hingga stres dan depresi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, industri kecantikan terus meraup untung dari ketidakamanan perempuan, menjual solusi instan dalam bentuk krim, serum, atau diet ekstrem.
Dianggap Milik Publik, Tubuh Perempuan Jadi Komoditas
Perempuan sering kali tidak punya kendali penuh atas tubuhnya. Dari cara berpakaian, pilihan gaya rambut, hingga keputusan untuk menikah atau punya anak — semua bisa jadi bahan perdebatan publik.
Fenomena ini diperparah dengan maraknya body shaming di media sosial. Entah itu selebritas yang dihujat karena naik berat badan, atau netizen biasa yang diledek karena stretch mark.
Di balik itu semua, ada sistem patriarki yang masih mengakar — yang menilai nilai perempuan dari tampilan luar, bukan isi kepala atau kontribusinya.
Saatnya Bicara Hak atas Tubuh Sendiri
Body autonomy bukan hanya soal memilih pakai makeup atau tidak. Ini adalah hak dasar manusia: untuk merasa nyaman, aman, dan bebas dari tekanan atas tubuhnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Itu artinya:
Perempuan punya hak untuk menolak komentar atas bentuk tubuhnya.
Punya hak untuk merasa cantik dalam definisi sendiri, bukan dari majalah mode.
Punya hak untuk tidak selalu tampil “menarik” sesuai standar orang lain.
Perlawanan Bisa Dimulai dari Hal Kecil
Melawan standar kecantikan tidak harus lewat orasi atau demo. Bisa dimulai dari:
Tidak ikut-ikutan mengomentari tubuh orang lain.
Berani bilang “nggak sopan” saat tubuhmu dikomentari.
Mengisi media sosial dengan narasi positif tentang keragaman bentuk tubuh.
Perempuan tidak lahir untuk memenuhi ekspektasi siapa pun. Dan tubuh perempuan bukan ladang opini, apalagi bahan hiburan.
Karena tubuh kita, ya hak kita. Bukan urusan siapa-siapa.