Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Aku Benci Mama, Tapi...
27 Desember 2021 18:11 WIB
Tulisan dari dianisarizkika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aku tak tahu harus bagaimana mengungkapkan gambaran sosok pejuang tangguh dan pahlawan yang selalu mendampingiku. Yang aku tahu sosok ini ku panggil dengan sebutan 'mama' sejak aku lahir. Mama adalah orang pertama yang ada di pikiranku, mengisi relung hatiku dan selalu kusebut dalam kondisi apapun. Tentu saja, sepenting itu 'jabatan' mama di sepanjang hidupku dan mungkin sama halnya dengan peran seorang ibu yang begitu penting untuk seorang anak di muka bumi ini.
ADVERTISEMENT
Ma, kini aku sudah beranjak dewasa, sudah menikah dan sudah memiliki putri kecil yang cantik. Tapi, aku menyimpan sebuah rahasia yang aku tutup rapat. Ya, rahasia bahwa aku membencimu. Mama tahu tidak bahwa aku berulang kali membenci dirimu sampai dengan usiaku 27 tahun ini? Kebencianku dan rasa sayangku padamu kadarnya berimbang. Entah mengapa ketika aku mengungkapkan hal ini dadaku menyeruak sakit. Sakit sekali.
Ma, aku benci ketika muncul ingatan tentang kenangan - kenangan bersamamu yang mengisi penuh otakku. Aku tak sanggup membendung rasa benci karena kagum kepadamu. Tentang betapa mulia dirimu yang tak peduli peluh bercucuran mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga. Tentang betapa hebatnya perjuanganmu menjalani dua peran sekaligus, menjadi seorang ibu dan seorang ayah secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Ma, aku benci setiap kali kau harus pergi dinas untuk memenuhi tuntutan pekerjaan dan aku dan adikku terpaksa dititipkan ke eyang kami tersayang. Bagaimana tidak, dari usiaku yang masih sangat kecil, mama bekerja dari mulai matahari masih terbit malu-malu hingga larut malam. Kau pun dengan gagahnya mengambil resiko besar melakukan dinas di daerah perbatasan negara, meninggalkan kedua anakmu untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhanku serta adikku. Aku yang masih kecil menjadi saksi atas perjuangan hebatmu. Dan tidak peduli seberapa melelahkan itu, mama selalu pulang dengan tersenyum.
Ma, aku benci dirimu yang selalu mendahulukan kedua anakmu di atas kepentingan dan kesehatan dirimu. Aku tahu, sering kali darah tinggi yang kau idap kambuh dan mengganggu aktivitasmu. Aku benci ketika kamu tidak pernah mengeluh. Setiap kesulitan yang mama lalui, kau selesaikan sendiri lalu bangkit demi kedua anaknya.
ADVERTISEMENT
Ma, aku benci ketika tanpa sengaja aku melihatmu duduk bersimpuh sambil bercucuran air mata menghadap Ilahi di keheningan malam. Pada hari itu terdengar rintihan do'amu. Aku tahu mama mengalami depresi dengan tumpukan beban hidup, namun semua itu terjadi hanya sekejap saja. Dan di depan anak-anakmu kau bisa menutupi semua kesedihan dan lukamu dengan senyum tipis penuh kehangatan.
Ma, aku benci ketika harus mendengarkan ocehan nasihatmu bak episode sinetron yang tak kunjung selesai. Padahal isinya nasihat berulang yang tentunya sering kali membosankan. Akan tetapi, setelah aku menjadi seorang ibu, aku benci menyadari bahwa nasihat-nasihat itulah yang menjadikan pedoman hidupku dan yang membuatku kuat menghadapi berbagai cobaan hidup. Dan anehnya, sewaktu aku harus menuntut ilmu di kota orang dan setelah berkeluarga, ocehan dan celotehan mama menjadi satu-satunya suara yang aku rindukan.
ADVERTISEMENT
Ma, aku benci ketika aku jatuh sakit dan harus terpaksa menjalani tindakan operasi besar yang menelan biaya puluhan juta hingga bisa naik haji. Semua berawal dari kecerobohanku yang menyepelekan saluran sinusku yang robek, hingga untuk mencegah penyakit meningitis yang hampir menghampiriku, aku harus dioperasi. Kau korbankan tabunganmu untuk kesembuhanku. Aku mengutuk penyakit ini dan mempertanyakan kenapa harus aku Tuhan. Tapi, lagi-lagi mamakulah yang memelukku. Menenangkanku dan menyakinkanku bahwa kita bisa menghadapi ini semua.
Ma, aku mau jujur. Kebencianku bertambah ketika merasakan ketulusanmu mencintaiku dan adikku tanpa syarat, apalagi tanpa menuntut balasan. Di saat mama terpaksa bekerja keras karena keadaan, aku dan adikku tetap merasakan perhatian dan kasih sayangmu. Atas segala perjuanganmu, kami berdua tumbuh besar dengan baik, sehat dan mampu menyelesaikan pendidikan di universitas negeri ternama.
ADVERTISEMENT
Jangan.. Jangan kau pikir kebencianku ini bisa hilang begitu saja,ma. Kebencianku terkunci dalam pikiran dan hati selama-lamanya bersamaan dengan cintaku dan keinginanku membalas semua jasa - jasamu. Sampai saat ini, aku pun masih terpikirkan bagaimana lagi aku membalas jasamu dengan pantas setelah menerima semua cintamu? Ma, kaulah pahlawan hidupku dan keluargaku. Sudah waktunya kebahagianmu yang kau pikirkan. Kini, giliranku dan adikku lah yang mengukir senyum bahagia di wajahmu.