Konten dari Pengguna

AI dalam Bisnis: Meningkatkan atau Degradasi Kapasitas Kita?

Dianta Hasri N Barus
Dosen dan Praktisi Pemasaran di Universitas Katolik Parahyangan
2 Mei 2025 3:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dianta Hasri N Barus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: www.pexels.com
ADVERTISEMENT
Menyeruput secangkir kopi di sore hari seusai memberikan konsultasi kepada salah satu pelaku bisnis secara daring, saya mendengarkan sebuah podcast di YouTube yang bercerita tentang bagaimana Gen AI dapat melakukan otomasi operasional bisnis dari hulu hingga hilir. Saya berpikir, "wow, betapa efisiennya nanti berbisnis ya!”. Di sisi lain, saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, apakah ini sebetulnya meningkatkan kapasitas seorang pekerja, atau justru memberikan degradasi dalam kemampuan mereka?
ADVERTISEMENT
Teknologi AI terus berkembang secara drastis dalam kurun dua tahun terakhir. Menurut saya terdapat dua faktor yang mendorong laju pertumbuhan ini, yaitu perkembangan teknologi hardware dan software. Walaupun kita dihadapkan pada perkembangan yang cukup mengesankan, para ahli berpendapat bahwa kita masih berada di tahap awal. Gen AI (Generative AI) adalah salah satu topik paling panas yang dibicarakan saat ini. Gen AI mampu melakukan hal-hal luar biasa, cukup dengan menuliskan suatu kalimat prompt Gen AI bisa menciptakan gambar, musik, video, hingga berbagai konten yang umumnya kita anggap memakan waktu, tenaga, dan biaya. Kemampuan Gen AI untuk menciptakan berbagai jenis konten ini didukung menguatnya perusahaan-perusahaan yang secara fundamental tengah mengembangkan model-model AI mereka.
ADVERTISEMENT
Secara potensi nilai bisnis, McKinsey dalam laporannya yang berjudul The Economic Potential of Generative AI: The Next Productivity Frontier menuliskan bahwa Gen AI berpotensi menambah nilai ekonomi global sebesar 2,6 hingga 4,4 triliun Dolar per tahun, yang dimana angka tersebut bahkan melampaui PDB Inggris Raya pada 2021 lalu.
Namun ledakan potensi itu tidak hadir tanpa paradoks. Survei World Economic Forum memprediksi adopsi AI di tempat kerja akan mencapai 75% perusahaan global pada 2027. Sekaligus menempatkan Advertising, Marketing & PR dalam deretan bidang dengan kemungkinan terdampak otomatisasi tertinggi. Di saat yang sama, riset Pew Research Center mengungkap 52% pekerja merasa lebih cemas mengenai nasib mereka di tengah penetrasi AI.
Penelitian National Bureau of Economic Research (NBER) terhadap lima ribu agen layanan pelanggan menunjukkan lonjakan produktivitas rata-rata 14% setelah memakai asisten AI. Salesforce juga menemukan bahwa 63% pemasar global kini menggunakan Gen AI untuk otomatisasi konten dan personalisasi skala besar. Efisiensi juga merupakan bagian yang tak terbantahkan dari penggunaan Gen AI, berdasarkan laporan yang dipublikasi oleh Deloitte pada Januari 2025 lalu, ditemukan bahwa seperlima perusahaan yang mengadaptasi Gen AI berhasil mencapai ROI sebesar 30%.
ADVERTISEMENT
Di tingkat makro, Indonesia tampaknya kecolongan narasi produktivitas. Berdasarkan Dokumen Horizon Pembangunan Digital Kementerian Kominfo, ekonomi nasional yang digerakkan kecerdasan buatan (AI) diperkirakan baru menyentuh 1,5 miliar dolar pada 2024. Angka ini terlampau kecil jika merujuk pada inovasi teknologi yang sudah ter-deploy di berbagai sektor.
Gartner mencatat penurunan rata-rata anggaran pemasaran global dari 9,1% menjadi 7,7% pendapatan perusahaan pada 2024, artinya tim pemasaran dituntut lebih banyak menghasilkan dengan lebih sedikit anggaran, dan banyak CMO berharap AI menjadi penyelamat. Di balik harapan itu, vendor teknologi menaikkan harga lisensi hingga 30% gara-gara dilabeli AI-powered, menyebabkan sejumlah proyek melebihi 35% dari total belanja TI tahunan. Dilema efisiensi pun muncul apakah perusahaan sungguh menurunkan biaya, atau justru memindahkan beban belanja dari tenaga kerja ke vendor software?
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, persoalan kapasitas manusia muncul dalam bentuk deskilling. Studi NBER menunjukkan karyawan yang paling berpengalaman justru hampir tidak menikmati kenaikan performa, bahkan menunjukkan sedikit penurunan kualitas interaksi. Fenomena ini memperingatkan bahwa AI dapat mengambil alih tugas-tugas rutin, sehingga pekerja senior kehilangan kesempatan melatih intuisi dan craftsmanship yang dulu terbentuk lewat repetisi. Artikel Harvard Business Review tentang reskilling menegaskan perlunya organisasi menggabungkan kemampuan teknis (seperti prompt-engineering) dengan kompetensi lintas disiplin, narasi, etika, dan empati agar talenta tak tersisih.
Kendati demikian, maraknya teknologi ini diyakini akan menyebabkan pergeseran kompetensi di lapangan. Di level paling dasar, insan di Indonesia setidaknya perlu lapang dada untuk menghadapi teknologi baru ini. Sudah saatnya semua pihak di industri apapun (apalagi pemasaran) untuk mendiskusikan risiko dan peluang yang dapat dioptimasi melalui teknologi ini.
ADVERTISEMENT
Penelitian yang dilakukan IBM terhadap 3000 CEO di 30 negara di seluruh dunia menemukan bahwa 64% CEO percaya bahwa kunci keberhasilan penerapan Gen AI lebih merupakan masalah adaptasi organisasi dibandingkan kecanggihan teknologi itu sendiri. Accenture melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa program AI yang sukses dimulai dari sesuatu yang berlawanan dengan teknologi: manusia yang akan terpengaruh oleh keputusan yang dibuat oleh AI. Jembatan antara manusia dan mesin dibangun berdasarkan program yang mempersiapkan manusia menghadapi realitas baru yang akan mereka hadapi.
Di tengah segala dinamika, ada pelajaran penting bagi kita. Pertama, AI adalah akselerator, bukan pengganti total. Ia menghapus bottleneck analitik dan produksi konten, tetapi tetap membutuhkan sentuhan manusia untuk framing wawasan, memahami konteks budaya, dan menjaga keotentikan merek. Kedua, investasi terbesar bukan pada lisensi perangkat lunak, melainkan pada pembelajaran berkelanjutan; mengasah literasi data sambil mempertajam kreativitas naratif. Ketiga, perusahaan perlu metrik baru yang menilai tidak hanya ROI finansial, tetapi juga ada dampak pada trust publik dan kesejahteraan karyawan, sebab reputasi yang rusak bisa menghapus seluruh efisiensi biaya dalam sekejap.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, jalan terbaik adalah menerima bahwa AI bukan sekadar alat, melainkan medium kolaborasi. Tanggung jawab kita sebagai insan yang berkembang adalah merancang orkestrasi Human-AI, di mana algoritma menangani repetisi dan komputasi, sementara manusia berfokus pada empati, etika, dan inovasi makna.
Saya teringat pepatah Abraham Lincoln yang masih relevan hingga saat ini: "The best way to predict the future is to create it." Jika kita memilih untuk proaktif: membangun kompetensi, memelihara nilai-nilai moral, dan menciptakan tata kelola diri dan organisasi yang bijaksana. AI akan menjadi katalisator untuk meningkatkan kapasitas kita, bukan menurunkannya.
Pilihan ada di tangan kita hari ini, sebelum algoritma menulis cerita untuk kita.