Konten dari Pengguna

Sejarah Pagebluk di Tatar Sunda (2)

Dicky Budiman, dr MScPH PhD
PhD, Medical Doctor, Epidemiologist, Researcher and practitioner on Global Health Security Policy at the Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Policy adviser to Minister of Tourism Creative Economy Indonesia
14 Juli 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Budiman, dr MScPH PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sanghyang Sasana Maha Guru”
“Yata duka kunang tribwana lwaka ngaranya. Kahuruan dayeuh, burung tahun, eleh ku sasalad, larukangkang salah masa, sarba pala tan pawwah, sarba satwa añarak. Yata duka kunang tribwana lwaka ngaranya ma.”
ADVERTISEMENT
Terjemahannya: “Yaitu kesengsaraan di tiga dunia tempat manusia tribwana loka. Negara mengalami kebakaran, gagal panen, hancur karena wabah, musim kemarau berkepanjangan yang tidak pada waktunya, semua buah-buahan tidak berbuah, semua binatang musnah. Itulah kesengsaraan di tiga dunia tempat manusia”.
Kutipan di atas ini diambil dari naskah Sunda kuna di awal abad ke-16 “Sanghyang Sasana Maha Guru” yang disunting dan diterjemahkan oleh Aditia Gunawan (Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan, 2009). Sanghyang Sasana Maha Guru adalah sebuah teks Sunda Kuna pada masa sebelum Islam datang di tanah Sunda.
Alasan penulis mengutip naskah Sunda kuna di atas karena sangat berkaitan dengan topik tulisan, antara lain terkait bahasan wabah atau sasalad yang bahkan, penulis sebagai orang Sunda yang bergelut di bidang kesehatan, memahaminya sebagai wabah atau epidemi. Artinya, sasalad masih dikenal dalam bahasa Sunda saat ini dalam arti yang relatif sama dengan naskah Sunda kuno di atas.
ADVERTISEMENT
Sasalad dalam naskah kuno tersebut merujuk pada gagal panen yang diakibatkan wabah penyakit yang masif. Hal ini menurut para ahli sejarah Sunda, dapat diartikan bahwa sasalad adalah kata lain dari wabah atau pageblug. Kutipan naskah ini menjadi bukti tertua penggunaan kata sasalad dalam arti wabah dalam bahasa Sunda.
Hal ini juga diperkuat peneliti Sunda, Sierk Coolsma (Soendaneesch-Hollandsch woordenboek, 1884, 1913: 556) yang menuliskan “Sasalad, ong. = pagëboeg, plaag, een heerschende ziekte, epidemie” atau diartikan sebagai wabah, sampar, penyakit menular, epidemi. Selain itu, peneliti lain, F.S. Eringa (Soendaas-Nederlands woordenboek, 1984: 657): menyebutkan bahwa “salad, sasalad: epidemie, besmettelijke ziekte” adalah epidemi atau penyakit menular. R. Sacadibrata (Kamus Basa Sunda, 2005: 134, 272, 347) dan R.A. Danadibrata (Kamus Basa Sunda, 2006: 481, 614) kemudian juga memberikan arti bahwa sasalad adalah wabah penyakit.
ADVERTISEMENT
Bukti penggunaan kata sasalad dapat disimak dari buku Sunda Pandji Woeloeng (1876: 6) karya R.H. Moesa, yang memiliki kalimat “Dumadakan manggih mayit, sakitan keuna sasalad, ceulina dikeureut bae” (Tiba-tiba menemukan mayat, meskipun bekas terkena wabah, telinganya terus dipotong).
Juga dalam Tjarita Djalma Paminggatan (1912: 35) karya R. Ardiwinata, tertulis “... kaula bet katarajang nyeri suku, nya eta sasalad di eta tempat malah loba pisan anu maraot ku lantaran eta panyakit teh” (... saya jadi mengalami sakit kaki, yakni wabah yang berjangkit di tempat itu, bahkan banyak sekali orang yang meninggal akibat penyakit itu). C.M. Pleyte dalam Pariboga: Roepa-roepa Dongeng Soenda (1914: 6) menyampaikan hal yang serupa, dengan kalimat: “Boga bujang keur sahiji teh, paeh katarajang sasalad ...” (Hanya punya satu-satunya pembantu lelaki, malah meninggal karena terjangkit wabah).
ADVERTISEMENT
Tulisan R. Sacadibrata dalam buku Dongeng-dongeng Sasakala Jilid 2 (1952: 164), terdapat kutipan, “Jakasona jeung aki pangebon kaget reh nagara combrek tiiseun, sabab katarajang sasalad banget, nu gering sore, paeh isuk, gering isuk, paeh sore” (Jakasona dan kakek jurukebun merasa kaget karena mendapati kerajaan sepi, sebab terjangkit wabah yang hebat, yang sakit pada sore hari, meninggal esok paginya, orang yang sakit pagi hari meninggal sore harinya). Ini menggambarkan suasana sasalad atau pagebluk yang mematikan dan menyebar dengan cepat.
Bahasa Sunda mengenal kata lain selain sasalad, untuk wabah, yaitu istilah pagebug yang kemungkinan besar ditimba dari bahasa Jawa, pagebluk atau pageblug. Pagebluk sendiri berasal dari kata geblug atau bluk yang baik dalam budaya Sunda ataupun Jawa, diartikan sebagai jatuh, tumbang atau tersungkur. Maksudnya, pagebluk adalah sebuah fenomena yang menyebabkan jatuhnya korban dalam jumlah besar dengan skala yang luas. Karena itu, istilah geblug sendiri memiliki arti yang serupa dengan ledakan.
ADVERTISEMENT

Sejarah Kuna Tanah Sunda terkait Pengendalian Penyakit

Setelah penulis membaca dan meneliti naskah Sunda kuna “Sanghyang Sasana Maha Guru” (SSMG) terjemahan Aditia Gunawan, terdapat beberapa hal terkait upaya pengendalian penyakit yang telah dianjurkan pada masyarakat di tanah Sunda di masa sebelum kedatangan agama Islam. Naskah menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya.
Potensi secara kasat mata ada dalam sepuluh alat persepsi (dasaindriya) yang terdiri dari telinga, mata, hidung, lidah, mulut, kulit, tangan, anus, kelamin, dan kaki. Sedangkan potensi tidak kasat mata, mencakup tiga unsur dalam diri manusia, yaitu bayu (tenaga), sabda (ucapan), dan hedap (pikiran). Pada bagian lain diterangkan bahwa bayu, syabda, dan hedap tidak ada tetapi ada. Ketiga potensi ini meski tidak terlihat, tapi ada dan terasa dalam diri setiap manusia.
ADVERTISEMENT
Pada bahasan tentang dasanaraka, dalam kitab Sunda kuna SSMG secara tegas disebutkan, bahwa penyalahgunaan atau tidak terjaganya perilaku terhadap dasaindriya maka akan berakibat kesengsaraan, yang bisa dalam bentuk berbagai penyakit yang menimpa setiap bagian dari dasaindriya (tangan, kaki, kelamin dll) tersebut.
Hal ini dipertegas pula dalam dasamarga SSMG atau sepuluh cara untuk mengatasi dimensi buruk dari sepuluh indra itu agar mendapatkan dasautama atau sepuluh keutamaan. Di samping itu, naskah Sunda Kuna SSMG juga mengatur tentang etika kesehatan masyarakat Sunda saat itu, seperti larangan buang air besar di pinggir jalan. Ke semuanya ini menggambarkan betapa masyarakat Sunda saat itu, sudah memiliki tatanan yang menjaga dan mencegah terjadinya potensi penyakit atau pun sasalad (wabah).
ADVERTISEMENT

Sejarah Pagebluk Tanah Sunda di Era Kolonialisme

Pagebluk selain pernah terjadi di era sebelum kolonialisme, juga semakin tercatat jelas di masa kolonialisme khususnya era Hindia Belanda. Ada banyak warisan sejarah, baik itu berbentuk tulisan maupun lisan, yang menceritakan kalau penduduk Jawa termasuk Sunda pernah terkena pagebluk di masa lalu. Menurut manuskrip terdapat beberapa jenis pagebluk yang pernah melanda tanah Jawa seperti gudik (kudis), kolera, influenza sampai tuberkulosis.
Cacar variola atau smallpox adalah salah satu pagebluk yang membuat masyarat Pasundan dicekam ketakutan. Bahkan sebagian warga mengaitkan kehadiran penyakit cacar ini dengan munculnya sosok makhluk gaib atau jurig kuris. Het Nieuws Van De Dag pada 20 Maret 1929 memuat pernyatan Dr. Winckel, Inspektur Departemen Kesehatan untuk Jawa Barat, tentang persoalan cacar. Koran itu menulis terdapat 27 kasus cacar di Jabar.
ADVERTISEMENT
Upaya merespons wabah antara lain dilakukan dengan penyediaan lembaga penelitian vaksin. Pada tahun 1896 Hindia Belanda pada akhirnya memiliki lembaga pembuatan vaksin sendiri di tanah jajahannya, dengan didirikannya Parc Vaccinogen Instituut Pasteur, Bandung.
Tahun 1918, lembaga pembuatan vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan Instituut Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur (kini Bernama Biofarma). Kemandirian vaksin ini berhasil mengantarkan Hindia Belanda menyempurnakan vaksin pada tahun 1930-an dengan menemukan vaksin kering oleh dr. Louis Otten. Setelah penemuan tersebut, Hindia Belanda sempat dinyatakan berhasil menangani wabah cacar yang sudah ada selama empat abad.
Selain itu, di tanah sunda, tidak hanya cacar, pagebluk lain yang merenggut banyak nyawa adalah pes atau sampar. Wabah tersebut tercatat dalam sejarah telah menimbulkan kematian dari warga biasa, tenaga medis seperti menteri kesehatan, hingga pejabat pemerintah seperti asisten wedana.
ADVERTISEMENT
Wabah pes atau sampar ini membuat warga ketakutan. Wabah pes di Jabar mulai menyeruak sekitar tahun 1921. Bataviaasch Nieuwsblad dalam beritanya, 19 Desember 1932, menyebut pes di Jabar bermula saat sebuah kapal laut bermuatan beras dari Indocina merapat di Pelabuhan Cirebon pada 1921.
Tikus-tikus dari kapal itu menularkan bibit-bibit pes yang tak hanya menjalar di Cirebon di mana kapal berlabuh, tetapi juga ke Kuningan dan bahkan wabah muncul di Tasikmalaya dan Ciamis pada 1927, Garut pada 1928, Bandung pada 1929, dan juga mencapai Cianjur.
Wilayah Priangan pernah mengalami pagebluk hebat penyakit sampar selama setahun (1933-1934). Akibat penyakit yang disebut juga sebagai pes itu, menurut Terence H.Hull dalam Death and Disease in Southeast Asia (disunting oleh Norman Owen) kurang lebih 15.000 orang meregang nyawa.
ADVERTISEMENT
Berita De Locomotief pada 23 Februari 1935 mencatat, wabah pes atau sampar di Hindia Belanda mencapai 23.267 kasus. Tercatat 20.597 kasus pes terjadi di Jawa Barat saja, dan sebanyak 20.569 di antaranya berakibat kematian. Kasus-kasus pes berujung kematian juga terjadi di Tasikmalaya dan Garut. Dalam pemberitaan De Tijd pada 23 Februari 1936, sebanyak‎ 12.968 orang meninggal akibat wabah pada 1935 di seluruh Hindia Belanda.
Sementara di Jabar mencapai 10.304 orang, termasuk di Garut dengan 4108 orang, Bandung 4034 orang, Tasimalaya 1213, dan Sumedang 604. Kasus-kasus kematian dari golongan hamba sahaya, tenaga medis, hingga kaum bangsawan juga terjadi di Tasikmalaya dan Garut.
Berita De Standaard, 25 April 1933, memberitakan kematian Asisten Wedana Kota Garut, Raden Kanduruan Kartanegara, akibat pes. Het Nieuws Van De Dag pada 8 September 1932 dan De Indische Courant pada 11 Juni 1934 masing-masing turut mencatat keganasan pes di Tasikmalaya. Sasalad pes merebak juga di distrik Ciawi dalam catatan Het Nieuws Van De Dag, 22 Agustus 1929. Koran tersebut menulis sebanyak 18 mayat dikubur di Ciawi secara sembunyi karena dugaan mengidap pes.
ADVERTISEMENT
Pagebluk dahsyat pes dihadapi Pemerintah Kolonial Belanda dengan membongkar rumah-rumah warga yang dianggap tak sehat. Namun kebijakan tersebut tidak disertai dengan penyediaan rumah yang lebih sehat, yang artinya menimbulkan masalah baru.

Wabah Penyakit Zaman Belanda

Begitu traumanya orang-orang Priangan hingga mereka selalu merasa jijik dengan binatang tikus yang dikatakan sebagai pembawa patogen yersinia pestis (penyebab sampar). Dalam bencana itu, Garut termasuk kawasan yang menyumbangkan korban agak besar. Dalam catatan Adrianus Bonnebaker dalam Over Pest, selama setahun wabah sampar merajalela, ratusan warga Garut telah meregang nyawa akibatnya. Tragedi itu menimbulkan trauma yang mendalam hingga puluhan tahun kemudian.

Penggunaan Senjata “Biologis” di Tatar Sunda

Pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1949), tentara Indonesia yang berada di Garut, tercatat menggunakan bakteri yersinia pestis sebagai senjata biologis untuk meneror mental prajurit-prajurit Belanda. Ketakutan tentara Belanda terbukti, sehingga mereka sangat menghindari apa pun yang terkait dengan 'hantu sampar', termasuk tikus-tikus.
ADVERTISEMENT
Namun bagi para pejuang Indonesia di Garut, situasi itu menjadi peluang untuk perang urat syaraf. Komandan Kesatuan Pasoekan Pangeran Papak (PPP) yang kali pertama memiliki ide untuk menjadikan tikus sebagai senjata biologis, dengan cara karung-karung berisi tikus dibawa ke wilayah pos-pos militer Belanda saat malam hari.
Kemudian, binatang pengerat itu dilepaskan dan dibiarkan masuk ke markas pasukan Belanda. Hal ini dilakukan berulang setiap minggu. Termasuk untuk mencegah pengejaran yang dilakukan militer Belanda terhadap pejuang tanah air.