Konten dari Pengguna

Sejarah Pagebluk di Tatar Sunda (3)

Dicky Budiman, dr MScPH PhD
PhD, Medical Doctor, Epidemiologist, Researcher and practitioner on Global Health Security Policy at the Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Policy adviser to Minister of Tourism Creative Economy Indonesia
15 Juli 2024 10:28 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Budiman, dr MScPH PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mural tentang pandemi COVID-19 Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Mural tentang pandemi COVID-19 Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Persoalan buruknya sanitasi lingkungan, meningkatnya aktivitas perekonomian antar wilayah dan populasi warga yang merangkak naik ditengarai menjadi musabab berbagai wabah mendera Jawa Barat (Jabar). Dalam buku karya Us Tiarsa berjudul ”Basa Bandung Halimunan”, disebutkan pagebluk cacar merebak pada tahun 1950-an di Bandung.
ADVERTISEMENT
Loba pengeusi Bandung nu katarajang kuris, ceuk kolot mah usum pagebuk cenah, da loba pisan nu geuring, pangpangna keuna ku sasalad cacar “ (banyak warga Bandung terserang cacar, orang-orang tua saat itu menyebutnya musim pagebluk karena banyaknya yang terserang cacar).
De Preanger Bode menulis dua kejadian pagebluk cacar, yaitu tahun 1949, dengan 23.719 kasus cacar terjadi di Jawa Barat, dan 2.240 di antaranya berakibat kematian. Serta ledakan kasus cacar pada 1950, dengan 3.747 kasus cacar terjadi, yang 198 di antaranya mengakibatkan kematian. Java Bode melaporkan tahun 1954 terjadi penurunan kasus cacar menjadi 32 kasus dengan satu orang meninggal di Jabar.
Kasus-kasus tersebut banyak terjadi di Kabupaten Garut yang tindakan pencegahannya belum terwujud dengan baik. Namun, korban meninggal di Jabar kembali melonjak hingga 514 orang dalam pemberitaan ‎ Het Vrije Volk yang mengutip Reuter pada 9 November 1962.
ADVERTISEMENT
Kabupaten Sukabumi, adalah salah satu wilayah endemis Malaria. tingkat Plasmodium falciparum dan P. vivax malaria telah meningkat sejak tahun 1998. Di Kabupaten Sukabumi dilaporkan satu kasus malaria di 1998, namun pada tahun 2003 jumlah tersebut meningkat menjadi 1.790 kasus (Kemenkes RI, data tidak dipublikasikan). Di 2003 ada 17 kematian akibat P. falciparum di Simpenan kecamatan saja. Semua kasus malaria mematikan di Sukabumi berada di desa pesisir. (Stoops et al., 2009).
Vektor utama malaria di Jawa Barat adalah Anopheles aconitus, Anopheles maculatus, dan Anopheles sundaicus. Anopheles aconitus ditemukan di dataran tinggi yang berasosiasi dengan sawah terasering, An. maculatus berasosiasi dengan daerah perbukitan dengan larva yang ditemukan di aliran sungai dan kolam kecil lainnya, dan An. sundaicus adalah spesies pesisir yang berasosiasi dengan tempat perkembangbiakan air payau. Di Sukabumi, An. maculatus bisa ditemukan sepanjang tahun, eksofilik dengan puncak gigitan antara pukul 23:00-24:00 malam.
ADVERTISEMENT
Penyebab pagebluk malaria seperti yang terjadi di Sukabumi, adalah karena urang sunda yang aktif dan bekerja di berbagai tempat, bepergian ke pulau-pulau lain untuk bekerja, seperti Kalimantan atau Papua, dengan tingkat penularan malaria yang lebih tinggi, dan banyak diantara mereka yang terinfeksi malaria dan kembali untuk tinggal bersama keluarga mereka di Sukabumi. Faktor inilah yang menjadi alasan di balik pagebluk lokal penyakit Malaria pada tahun 2003.
Indonesia adalah salah satu negara hiper-endemik Demam Berdarah (DBD / DHF / Dengue Haemorrhagic Fever dengue di Asia Tenggara di mana keempat serotipe dengue bersirkulasi, sehingga menyebabkan risiko infeksi yang lebih besar dan lebih tinggi beban penyakit. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang paling banyak penduduknya di Indonesia, dan kasus infeksi demam berdarah juga sangat endemik di tatar Sunda.
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2000-an, kejadian tersebut telah meningkat secara dramatis dari 13/100.000 pada tahun 2000 menjadi 79/100.000 pada 2016. Semua kabupaten dan kota di provinsi ini berisiko tinggi untuk penularan DBD. (Astuti et al., 2019). Mayoritas Infeksi DBD terjadi lebih tinggi selama musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau, menyoroti bahwa iklim berperan peranan penting dalam penularan DBD di wilayah ini.
Jawa Barat merupakan provinsi di Indonesia yang paling parah terkena dampak wabah HPAI H5N1 (Flu Burung) pada 2011-2015, karena memiliki kepadatan unggas tertinggi, perdagangan unggas intensif dan sektor unggas terdiri dari berbagai jenis unggas, termasuk itik. KLB terjadi di tujuh kabupaten Provinsi Jawa Barat : Bandung, Ciamis, Indramayu, Subang, Sukabumi, Purwakarta dan Tasikmalaya
ADVERTISEMENT
Paska wabah Flu Burung, tahun 2015-2016 HPAI A(H5N1) dinyatakan masih endemik di Jawa Barat, khususnya pada itik dan pada ayam pekarangan. Meskipun sirkulasi endemik, morbiditas dan mortalitas yang tercatat dan diamati masih tinggi. Selain itu, adanya interaksi yang tinggi antara manusia dan unggas, akibat mengunjungi peternakan unggas berkorelasi dengan kemungkinan infeksi HPAI (Karo-karo et al., 2019).

Pagebluk COVID-19 di Tatar Sunda

Kasus pertama infeksi COVID-19 Indonesia dilaporkan dari wilayah Jawa Barat. Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Pasien 01 dan 02 yang diketahui memiliki hubungan ibu-anak itu terlacak di Depok, Jawa Barat.
"Orang Jepang yang ke Indonesia kemudian tinggal di Malaysia dan dicek di sana positif Corona, tim dari Indonesia langsung telusuri. Orang Jepang ke Indonesia bertamu ke siapa, bertemu siapa ditelusuri dan ketemu," kata Presiden saat memberikan keterangan di Istana Negara. Merespons temuan ini, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil segera menetapkan status siaga satu pada hari yang sama.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kabupaten dan kota se-wilayah Jabar merespons penetapan status siaga tersebut dengan langsung bergerak melakukan berbagai langkah mulai dari menyiapkan rumah sakit dengan fasilitas ruang isolasi hingga imbauan agar masyarakat tetap tenang. Disusul dengan dibentuknya Pusat Informasi dan Koordinasi COVID-19 Jabar pada 4 Maret 2020. Pemerintah daerah di Jabar pun diinstruksikan untuk membuat gugus tugas sekaligus membuka layanan informasi satu pintu, berkaitan dengan wabah COVID-19.
Saat itu, Gubernur Jabar menginstruksikan agar sekolah menunda kegiatan study tour, pentas siswa (pensi) atau kegiatan apa pun yang berada di luar ruangan dan berkerumun. Namun, belum ada kebijakan untuk menerapkan pembelajaran dari rumah, kendati sejumlah kampus mulai melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Penyebaran virus penyebab Covid-19 yang semakin masif, membuat pemerintah menganjurkan warga Jabar untuk “kerja di rumah, belajar di rumah, dan ibadah di rumah”. Itu semua dilakukan dalam rangka untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Berbagai imbauan pemerintah terkait penanganan dan pencegahan Pandemi Covid-19, mulai dilakukan, dan masyarakat Jabar mulai mengenal istilah “social distancing” (pembatasan sosial) dan “physical distancing” (pembatasan jarak fisik).
ADVERTISEMENT
Sudah barang tentu imbauan tersebut, disadari atau tidak berdampak terhadap aktivitas rutin kehidupan masyarakat Jawa Barat pada umumnya, seperti berdagang di pasar tradisional, berjualan di sekolah, dan kegiatan – kegiatan lain untuk mencari nafkah, seperti transportasi online (ojek online). Begitu pun kegiatan di kantor pemerintahan, dan swasta, semuanya terdampak situasi pagebluk COVID-19. (Budiman, n.d.)
Masyarakat, termasuk warga Sunda dan Jawa Barat umumnya merupakan penopang dan sekaligus pendukung terhadap setiap upaya penyelesaian persoalan kehidupan. Oleh karena itu, dukungan setiap lapisan masyarakat dalam upaya pemerintah memutus rantai penyebaran virus corona, merupakan bagian tidak terpisahkan dalam menekan dan mengendalikan pagebluk COVID-19. Sehingga, pemerintah setiap tingkatan harus merangkul dan memberdayakan masyarakat luas agar kebijakan – kebijakan yang diambil pemerintah dalam penanganan pagebluk COVID-19 dipahami, dilaksanakan dan didukung masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan tiga tahun masa pagebluk COVID-19, penulis melihat peran budaya dan tradisi Sunda turut berpengaruh dalam keberhasilan masyarakat Jawa Barat mengendalikan sasalad atau pagebluk COVID-19.
Pituah Sunda karuhun yang merefleksikan kearifan masyarakat Sunda banyak menggambarkan tentang pentingnya memahami semua kejadian karena kehendak Allah SWT, "Mulih ka jati, mulang ka asal" (semua yang berasal dari maha kuasa, maka akan kembali kepada-Nya). Selain itu, pituah karuhun Sunda juga mengingatkan tentang pentingnya harmonisasi manusia dengan alam. “Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna.” (Burung terbang dengan sayapnya, manusia hidup dengan akalnya).
Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut, yaitu setiap makhluk masing-masing telah diberi cara atau alat untuk melangsungkan kehidupannya. "Bobot pangayun timbang taraju." (Apa yang akan kita lakukan harus dipertimbangkan terlebih dahulu). Oleh karena itu, manusia dilarang merusak alam, karena akan merusak ekosistem yang sudah dibangun secara alami. Akibat dari ekosistem yang rusak, keseimbangan alam menjadi tidak stabil.
ADVERTISEMENT
Dari alam yang tidak stabil, akan menimbulkan bencana di mana-mana, antara lain pagebluk. Bencana alam dan pagebluk yang terjadi selama ini di dunia, Indonesia dan tanah Sunda, antara lain karena ekosistem alam yang sudah rusak sebagai akibat ulah manusia.
Ulah sok ngaliarkeun taleus ateul jeung nyieun pucuk ti girang ambeh hirup teu pada mikangéwa.” (Jangan suka menyebarkan masalah dan membuat persoalan, supaya hidup tak dibenci orang lain). Akibat dari bencana alam itu pada gilirannya bisa menimbulkan konflik dan penderitaan, karena kehidupan masyarakat jadi tidak menentu dan penuh kepanikan.
Beberapa perwujudan dari nilai luhur kesundaan juga terlihat saat masyarakat Sunda mengenal dan mempraktekkan himbauan pemerintah seperti memakai masker, menjauhi kerumunan, dan menjaga jarak.
ADVERTISEMENT
Nilai luhur Sunda "Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih." (agar menjadi bisa, kita harus terus mencari tahu dan belajar tentang suatu hal tersebut), hal ini terlihat di masyarakat saat mulai belajar membiasakan memakai masker dan menaati beragam aturan pembatasan selama pandemi.
Hal ini juga dilakukan masyarakat karena mereka sadar bahwa perilaku menjaga kesehatan itu akan melindungi orang tua, anak-anak dan orang yang berisiko tinggi yang ada di sekitar mereka. Ini sesuai dengan prinsip "Kudu silih asih, silih asah jeung silih asuh." (harus saling mencintai, memberi nasihat, dan mengayomi).
Sehingga, kita dapat menyaksikan ketaatan masyarakat Sunda dan jawa Barat umumnya dalam beragam aturan baru bermasyarakat selama pagebluk dan tidak terlihat aksi protes atau demonstrasi seperti di negara barat. Karena masyarakat Sunda memiliki nilai luhur "Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa" (harus mengacu kepada hukum, menjunjung negara dan mufakat untuk kebaikan bersama) dan “Ulah geuleuh kana peupeujeuh, ulah ngéwa kana papatah ngarah hirup teu tunggul dirarud catang direumpak kawas kuda leupas ti gedogan” (jangan pernah tak senang pada pepatah atau hikmah, semoga hidup tak melaksanakan hal-hal yang melanggar hukum (biar selamat).
ADVERTISEMENT
"Gagalna mangrupikeun konci pikeun kasuksesan sareng unggal kasalahanna ngajarkeun urang pangaweruh." (Kegagalan adalah kunci kesuksesan. Setiap kesalahan mengajarkan kita ilmu. Pandemi covid-19 memberi pelajaran penting untuk Jawa Barat bahwa ancaman terhadap keamanan kesehatan berdampak serius terhadap sektor penting lainnya seperti ekonomi, politik dan sosial.
Kesadaran akan dampak ikutan ini sangat penting di wilayah Jawa Barat, di mana perhatian terhadap legitimasi politik, ketahanan ekonomi dan sosial mendominasi tiap proses pengambilan kebijakan, dan akan bersaing dengan tanggung jawab wilayah Jawa Barat dengan penduduk terbanyak kedua terhadap tatanan kesehatan global yang mampu mendeteksi dan merespons ancaman keamanan dan ketahanan kesehatan global (global health security). (Dixon, 2000)