Konten dari Pengguna

Masyarakat Indonesia Mayoritas Masih Tergolong Masyarakat Bicara

Dicky Ismail
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
17 Januari 2024 16:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Ismail tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media sosial. Foto: Tracy Le Blanc/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media sosial. Foto: Tracy Le Blanc/Pexels
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia saat ini masih mudah termakan berita hoax. Apalagi ketika musim pemilu tiba, berita hoax tersebar secara masif. Namun, yang disayangkan adalah sikap masyarakat yang belum bisa menyaring banyaknya sebaran berita di internet.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA) yang diterbitkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2018, Indonesia berada di urutan ke 71 dari 77 negara, atau dalam kata lain Indonesia menempati posisi 10 negara dengan tingkat literasi rendah.
Rendahnya tingkat literasi Indonesia membuat masyarakatnya masih tergolong masyarakat "bicara". Artinya, masyarakat masih mudah terpancing provokasi dengan narasi-narasi yang perlu digali lebih dalam kebenarannya. Hal ini mengakibatkan kehidupan masyarakat rentan terhadap perpecahan.
Sebagaimana yang kita saksikan sekarang, media sosial dipenuhi dengan komentar sentimen. Diperparah lagi dengan adanya musim pemilu 2024 membuat situasi semakin memanas. Antar pendukung paslon saling serang dengan komentar-komentar miring. Jika tidak disikapi secara bijak maka akan menimbulkan perpecahan. Tentu, yang kita inginkan adalah suasana yang harmonis.
ADVERTISEMENT
Akibat dari rendahnya tingkat literasi memang menimbulkan banyak dampak negatif, selain menimbulkan perpecahan juga dapat menjadi penghambat kemajuan bangsa.
Dikutip dari Jurnal Post, ada empat hal yang menjadi sebab rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Pertama, penggunaan teknologi informasi elektronik yang lebih canggih sehingga buku tidak lagi menjadi media utama untuk mendapatkan informasi yang diharapkan. Kedua, sarana dan prasarana pendidikan yang belum merata.
Ketiga, kemampuan daya beli masyarakat terhadap buku yang belum menyeluruh. Keempat, perkembangan kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dari pemerintah yang masih belum sesuai dari harapan.
Selain itu, pola pikir sebagian besar masyarakat masih memandang membaca buku bukan sebagai kebutuhan, melainkan hanya sebagai kegiatan ‘iseng’ semata. Sehingga kegiatan membaca belum bisa tumbuh sebagai kebiasaan (habit).
ADVERTISEMENT
Untuk bisa naik level dari masyarakat "bicara" menjadi masyarakat "pendengar dan pembaca" maka perlu adanya peningkatan literasi. Agar upaya untuk meningkatkan tingkat literasi menjadi optimal, perlu adanya kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah.
Sebagai masyarakat mulailah bijak dalam mengkonsumsi informasi. Ada ungkapan mengatakan, "Saring dulu sebelum sharing". Jangan dulu menanggapi informasi sebelum kita mengetahui isi, konteks, dan sudut pandang secara utuh. Kemudian dengan memperbanyak membaca buku dapat membuat kita memiliki wawasan yang lebih luas. Sehingga tidak mudah terpancing provokasi dengan narasi-narasi yang beredar di media sosial.
Lalu pemerintah sebagai pemangku kebijakan dapat mendorong terciptanya sarana dan prasana yang mendukung serta memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengadakan kegiatan yang dapat membangkitkan minat baca masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, sinergi antara masyarakat dan pemerintah dapat mempercepat upaya peningkatan literasi di Indonesia. Sehingga level masyarakat Indonesia naik dari masyarakat "bicara" menjadi masyarakat "pendengar dan pembaca".