Ambiguitas Penguatan Organisasi Masyarakat Sipil bagi Partai Politik

Dicky Riandy
Mahasiswa Politik Pemerintahan, FISIPOL UGM
Konten dari Pengguna
30 Juli 2021 10:13 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Riandy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Organisasi Masyarakat Sipil (LSM). Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Organisasi Masyarakat Sipil (LSM). Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Membahas mengenai ambiguitas penguatan gerakan masyarakat sipil khususnya dalam perumusan kebijakan publik, maka menarik untuk ditelusuri terlebih dahulu mengapa gerakan organisasi masyarakat sipil itu sendiri dapat muncul dan menguat di permukaan di Indonesia. Setidaknya ada dua alasan yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, konsekuensi logis dari adanya demokratisasi terhadap institusi negara khususnya parlemen. Lay (2017) menyatakan bahwa terjadi transformasi dalam proses pembuatan kebijakan publik oleh parlemen di mana warga negara dibutuhkan dan didorong sebagai subjek – melalui audiensi – dalam kerangka pembangunan demokrasi (partisipasi dan legitimasi rakyat). Artinya, parlemen kemudian membutuhkan sekaligus memanfaatkan berbagai sumber masukan termasuk dari masyarakat (LSM).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, LSM pada gilirannya menjadi aktor yang cukup sentral dalam perumusan kebijakan mengingat peranannya yang dapat mengakomodasi kebutuhan serta kepentingan masyarakat luas. Lalu, LSM sendiri dapat menjadi kanal alternatif bagi masyarakat dalam mengartikulasikan dan mengawal aspirasi dalam perumusan kebijakan.
Kedua, mandeknya partai politik dalam menjalankan kerja dan fungsinya. Kemandekan ini singkatnya dipengaruhi oleh kecenderungan akan kesamaan spektrum politik yang ditunjukkan oleh partai politik. Aspinall, dkk (2018) memaparkan bahwasanya partai politik mengalami situasi yang kontradiktif – heterogeneous public yet homogeneous parties.
Dalam konteks ini, partai politik yang ada hanya dibedakan dengan ideologi antara Islam dan non-Islam, tidak terkait dengan perbedaan programatik yang mendasar yaitu kebijakan sosial-ekonomi. Akibatnya, hal tersebut menimbulkan celah bagi masyarakat dalam hal menentukan preferensi politiknya sehingga LSM kemudian masuk untuk mengisi celah tersebut. Seperti yang diketahui juga, LSM dikenal dapat menyediakan kanal alternatif yang menjalankan fungsi artikulasi sekaligus agregasi kepentingan.
Ilustrasi Parlemen dan Partai Politik. Foto: Freepik
Namun demikian, keberadaan LSM dalam perumusan kebijakan publik tidak sepenuhnya berimplikasi positif. Justru, menguatnya LSM menimbulkan ambiguitas tersendiri. Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua alasan mengapa LSM menunjukkan ambiguitasnya terlebih dihadapkan dengan partai politik. Pertama, adanya bias fungsi advokasi dalam perumusan kebijakan. Perlu diketahui, sudah semestinya partai politik menjalankan kerja dalam merumuskan kebijakan publik seperti konsep tiga wajah partai. Akan tetapi, LSM dalam perkembangannya pun turut terlibat dalam perumusan kebijakan dan tidak jarang lebih vocal dibandingkan partai politik. Akibatnya, hal ini dapat menimbulkan kebingungan bagi masyarakat dalam hal artikulasi kepentingan serta kebutuhan. Masyarakat lantas sulit untuk membedakan antara partai politik dan LSM lantaran keduanya memiliki fungsi yang hampir serupa – menyediakan saluran. Selain itu, masyarakat pun sulit menjatuhkan pilihan atas preferensi politik yang dimiliki dengan mempercayakannya kepada partai politik atau LSM.
ADVERTISEMENT
Kedua, hadirnya situasi yang overlapping dalam perumusan kebijakan. Sebagaimana yang diketahui, partai politik memiliki kapasitas untuk mengontrol kebijakan dalam ranah parlemen. Pada saat yang bersamaan, LSM dapat mengawal dan mendorong suatu isu dalam rumusan kebijakan. Artinya, hal tersebut mengantarkan pada situasi di mana partai politik dan LSM dimungkinkan untuk saling bersaing dalam mengambil alih peran. Padahal, semestinya keduanya bergerak dalam ranahnya masing-masing di mana LSM berkutat dengan input kebijakan (ide dan gagasan), sementara itu partai politik lebih mengurus terkait output kebijakan (implementasi). Pendeknya, ambiguitas penguatan gerakan organisasi masyarakat sipil berkaitan dengan kecenderungannya terhadap pengerdilan peran partai politik dalam merumuskan kebijakan publik.
Referensi
Aspinall, E., Fossati, D., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2018). Mapping the Indonesian Political Spectrum. 1-7.
ADVERTISEMENT
Lay, C. (2017). Political linkages between CSOs and parliament in Indonesia: a case study of political linkages in drafting the Aceh Governance Law. Asian Journal of Political Science, 130-150.