Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Pilkada oleh DPRD: Tidak Konstitusional dan Pasti Ditolak Rakyat
26 Februari 2025 14:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Didik Supriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Menyatukan Undang-undang Pilkada ke dalam Undang-undang Pemilu, berarti memastikan bahwa pilkada tetap oleh rakyat. Padahal Presiden Prabowo ingin pilkada oleh DPRD. Bagaimana ini?
ADVERTISEMENT
=====
Artikel saya yang tampil di kanal ini pekan lalu, Penyatuan Undang-undang Pilkada ke Dalam Undang-undang Pemilu, mendapat komentar kawan. “Yakin, pilkada akan tetap dipilih langsung oleh rakyat? Kan presiden dan elite partai setuju dengan pilkada oleh DPRD. Biar hemat, katanya.”
Gara-gara pertanyaan kawan lewat Whatsapp itu, rencana saya menulis topik macam-macam metode penyatuan undang-undang, saya tunda. Saya hendak menyakinkan terlebih kepada mereka yang berpikiran, bahwa pilkada oleh DPRD adalah jalan buruk. Apalagi sekadar untuk menghemat uang.
Landasan hukum yang sering dikutip oleh mereka yang berpikiran bahwa pilkada oleh DPRD tidak melanggar konstitusi adalah bunyi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945: “Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,”
ADVERTISEMENT
Para politisi dan birokrat, juga sejumlah akademisi, memaknai “dipilih secara demokratis” itu bisa dipilih langsung oleh rakyat, bisa juga dipilih oleh DPRD. Mereka menunjuk praktik di negara-negara demokratis, di mana wali kota, gubernur, dan bahkan perdana menteri dipilih oleh parlemen masing-masing.
Ya, mereka merujuk sistem pemerintahan parlementer atau parlementarisme, di mana perdana menteri diangkat oleh parlemen. Sesuai tingkatannya, parlemen provinsi dan kota juga mengangkat gubernur dan wali kota.
Pertanyaannya, apakah konstitusi kita menganut sistem pemerintahan parlementer? Jawabnya jelas, tidak. Pasal 6A UUD 1945 menegaskan, bahwa presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Itulah ciri pokok sistem pemerintahan presidensial atau presidensialisme. Makanya, ketika UUD 1945 (naskah asli) diubah dari presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR menjadi dipilih melalui pemilu, pengubahan itu disebut purifikasi atau pemurnian presidensialisme.
ADVERTISEMENT
Ya, betul pemerintahan nasional menggunakan presidensialisme. Itu klir di konstitusi. Tetapi, bukankah sistem pemerintahan daerah tidak harus menggunakan model sistem pemerintahan presidensial atau model sistem pemerintahan parlementer, atau bahkan model sistem pemerintahan lain?
Dus, tidak melanggar konstitusi apabila “dipilih secara demokratis” itu tidak dimaknai dipilih oleh rakyat. Bisa juga dipilih oleh DPRD, atau dipilih dengan model lain selama itu demokratis. Lha, yang dimaksud “demokratis” itu apa?
Makna demokratis bisa kita lacak dari praktik di Athena pada masa Pericles (495-429 SM). Waktu itu Pericles berhasil membangun sistem pemerintahan Athena Democratia, yaitu pemerintahan oleh rakyat banyak atau demokrasi.
Demokrasi berasal dari kata demos dan kratos; demos berarti kekuasaan, dan kratos berarti rakyat. Kata demos-cratos atau jamaknya demokratia berarti kekuasaan oleh rakyat atau pemerintahan oleh rakyat. Praktiknya, rakyat berkumpul dalam Sidang Dewan Ecclesia yang digelar sedikitnya 10 kali dalam satu tahun. Dewan inilah yang mengangkat Dewan Jenderal (urusan perang), Dewan Limaratus (urus pemerintahan sehari-hari) dan Mahkamah (pengadilan).
ADVERTISEMENT
Jadi, kepala daerah dipilih DPRD, tidak memenuhi arti demokrasi sebagaimana dipraktikkan Athena. Tetapi mengapa parlementarisme disebut demokratis?
Inilah yang tak disadari oleh para pengusung pilkada oleh DPR, bahwa dalam parlementarisme perdana menteri, gubernur, atau wali kota adalah anggota parlemen sesuai tingkatannya. Mereka yang dipilih oleh parlemen untuk menjadi pejabat eksekutif adalah orang-orang yang dipilih rakyat (terlebih dahulu) baru kemudian dipilih untuk menjabat perdana menteri, gubernur, atau wali kota.
Dengan demikian parlementarisme jelas memenuhi kriteria demokrasi (dipilih rakyat), sedangkan kepala daerah yang dipilih DPRD tidak jelas asal usulnya.
Tentang argumen kedua, bahwa tidak ada keharusan konstitusional bahwa sistem pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota harus menduplikasi sistem pemerintahan presidensial di tingkat nasional. Ya betul, tetapi ingat, praktik presidensialisme tingkat nasional di banyak negara, seperti di Amerika Latin dan Eropa Tengah, selalu diikuti model presidensialisme di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Jarang sekali –kalau tidak boleh dikatakan tidak ada– presidensialisme di tingkat nasional diikuti parlementarisme di provinsi atau kabupaten/kota. Yang terjadi justru sebaliknya, misalnya di Inggris, parlementarisme nasional tapi sejak 2000 Walikota London dipilih langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh parlemen kota.
Selanjutnya, demi memperjelas makna “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, perlu ditengok kembali pembahasan Perubahan Kedua UUD 1945, khususnya Pasal 18 UUD 1945 (naskah asli) sebagaimana tertulis dalam Dalam Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan.
Dalam dokumen tersebut pada bagian pembahasan pemerintahan daerah, perumus konstitusi jelas-jelas menghendaki agar kepala daerah dipilih oleh rakyat. Bahwa rumusan menjadi “dipilih secara demokratis” karena dua pertimbangan: pertama, terdapat daerah khusus atau istimewa yang kepala daerahnya tidak dipilih rakyat; kedua, perumusan model pemilihan kepala daerah ini harus menunggu perubahan pemilihan presiden secara langsung melalui pemilu yang akan dilakukan pada Perubahan Ketiga.
ADVERTISEMENT
Jadi, gagasan pilkada oleh DPRD jelas tidak konstitusional, baik secara tekstual maupun original intens. Bahwa yang konstitusional adalah pilkada oleh rakyat juga sudah disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya.
Nah, kalau Presiden Prabowo dan pimpinan partai politik pendukungnya, nekat mengajukan RUU Pilkada oleh DPRD, ya silakan saja. Mereka pasti akan menghadapi perlawanan rakyat yang tidak mau kehilangan hak politiknya. Ingat, Presiden SBY sampai harus mengeluarkan Perppu No 1/2014 untuk mencabut UU No 22/2014 yang mengatur pilkada oleh DPRD. Mau Prabowo mengulangi kesalahan SBY? Mau pemerintah menghadapi aksi rakyat berjilid-jilid?