Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Undang-undang Pilkada, Warisan Terburuk Presiden SBY
12 Februari 2025 12:23 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Didik Supriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keterangan pers terkait KLB Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3/2021). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gdpdwbatp8q0q3cxsgtprv13.jpg)
ADVERTISEMENT
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) sepanjang 2015-2024 diselenggarakan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-undang (UU No 1/2015).
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017), UU No 1/2015 lebih berantakan, baik dari sistematika maupun substansi. Saking banyaknya masalah yang terkandung di dalamnya, undang-undang ini mengalami dua kali perubahan signifikan, melalui UU No 8/2015 dan UU No 10/2016. Perubahan ketiga melalui UU No 6/2020 untuk mengatasi penyelenggaraan pilkada masa pandemi.
Selain itu, UU No 1/2015 dan perubahannya, juga termasuk undang-undang yang paling sering digugat atau di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga 31 Desember 2024, terdapat 123 gugatan ke MK, terdiri dari 18 gugur, 40 tidak diterima, 42 ditolak, dan 23 dikabulkan. Bandingkan dengan UU No 7/2017: 12 gugur, 56 tidak diterima, 57 ditolak, dan 17 dikabulkan.
ADVERTISEMENT
UU No 1/2015 merupakan bentuk lain dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu No 1/2014). Perppu ini dikeluarkan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 Oktober 2014, atau 18 hari sebelum mengakhiri masa jabatan di periode keduanya.
Perppu No 1/2014 dikeluarkan untuk mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 22/2014), yang disahkan pada 27 September 2014. UU No 22/2014 mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Sebelumnya, sejak 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
SBY tidak menyangka bahwa persetujuannya atas pengembalian kepala daerah dipilih oleh DPR melalui UU No 22/2014 mendapat tantangan keras dari rakyat. Sejak undang-undang tersebut disahkan, protes rakyat berlangsung di berbagai daerah, bahkan hingga ke luar negeri saat SBY didemo WNI di negara yang dikunjunginya. SBY dikecam sebagai perusak demokrasi.
ADVERTISEMENT
SBY mempercepat kunjungannya ke luar negeri, dan sesampainya di Istana Negara, dia langsung memerintahkan kepada menterinya menyiapkan perppu untuk mencabut UU No 22/2014. Jadilah Perppu No 1/2014 yang digarap dalam beberapa hari, yang kemudian diundangkan pada 2 September 2014.
Setelah melalui tawar menawar politik–di antaranya SBY setuju Partai Demokrat mendukung Koalisi Merah Putih (yang mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta) untuk merebut kursi pimpinan DPR/MPR– perppu ini disetujui menjadi undang-undang melalui Sidang Paripurna DPR pada 20 Januari 2014, yang lalu menjadi UU No 1/2015.
Karena Perppu No 1/2014 atau UU No 1/2015 digarap dalam waktu singkat, ada banyak problem di dalamnya: kesalahan, kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi redaksional, sistematika, maupun substansi.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, dalam naskah UU No 1/2015 terdapat sebelas kesalahan ketik atas angka, kata, dan frasa. Sistematika undang-undang tidak disusun sebagaimana lazimnya undang-undang pemilu sehingga sulit dipahami. Selain itu, terdapat pokok bahasan penting yang tidak dijadikan bab, sebaliknya terdapat pokok bahasan tidak penting dijadikan bab.
UU No 1/2015 memuat tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak. Pengaturan tujuh substansi baru itu tidak jelas dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu juga bisa ditafsirkan melanggar konstitusi sehingga berpotensi dikoreksi MK. Namun materi muatan bermasalah tidak terbatas pada tujuh substansi baru tersebut, tetapi juga terdapat dalam materi muatan lain. Jika melihat pemilu yang kompleks lalu disederhanakan menjadi empat aspek (sistem, aktor, manajemen, dan hukum), maka materi muatan UU No 1/2015 benar-benar berantakan.
ADVERTISEMENT
Dari sisi sistem, penggunaan formula calon terpilih hanya membebani anggaran negara karena dibuka peluang putaran kedua. Dari sisi aktor, model calon tunggal mengundang konflik, baik dalam proses penyelenggaraan maupun pemerintahan pasca-pilkada.
Dari sisi manajemen atau pelaksanaan tahapan, terdapat tahapan penting seperti pendaftaran pemilih dan penetapan hasil dihilangkan, sementara kegiatan yang tidak penting seperti uji publik justru dibuatkan tahapan. Dari sisi penegakan hukum, penyelesaian sengketa penetapan calon dan penyelesaian sengketa hasil pilkada terlalu lama sehingga menimbulkan ketegangan politik berkepanjangan
UU No 1/2015 mengatur pemungutan suara serentak atau pilkada serentak. Pengaturan jadwal Pilkada serentak 2015 dan 2018 menimbulkan masalah jika dikaitkan dengan jadwal pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pertama, pemilih jenuh karena jarak antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 dengan Pilkada Serentak 2020 hanya satu tahun.
ADVERTISEMENT
Kedua, penyelenggara menanggung beban tidak merata, karena dua tahun sibuk mengurus pemilu, tiga tahun berikutnya tidak ada pekerjaan. Ketiga, partai politik terlibat konflik berkepanjangan, karena konsolidasi pasca-pencalonan pemilu legislatif dan pemilu presiden belum tuntas sudah diikuti konflik lagi akibat pencalonan pilkada.
Agar segera bisa digunakan sebagai dasar hukum Pilkada 2015, UU No 1/2015 segera diubah UU No 8/2015. Setelah dipraktikkan, terjadi banyak komplikasi sehingga dilakukan perubahan signifikan melalui UU No 10/2016.