Mengenal 'Helicopter Parenting' dalam Film 'NKCTHI', Apa Efeknya?

Dien Nurdini Nurdin
Menamatkan pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Psikologi UI, kini berprofesi sebagai Psikolog bersertifikat HIMPSI, dosen Fakultas Psikologi UI, dan ibu dari tiga anak.
Konten dari Pengguna
10 Januari 2020 7:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dien Nurdini Nurdin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Adegan di Film 'NKCTHI' Foto: YouTube/Visinema Pictures
zoom-in-whitePerbesar
Adegan di Film 'NKCTHI' Foto: YouTube/Visinema Pictures
ADVERTISEMENT
Kalau dulu keluarga yang bermasalah identik dengan ketidakhadiran orang tua di rumah, orang tua yang suka memukul, atau keluarga yang broken home, tidak kali ini dengan isu yang diangkat di film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI).
ADVERTISEMENT
Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko ini bercerita tentang keluarga yang lengkap, ayah yang senang memasak dan mengutamakan keluarga, ibu yang selalu ada di rumah, tapi setiap anggota keluarga memikul tabungan emosinya masing-masing. Diceritakan masing-masing anak, Angkasa, Aurora, dan Awan memiliki karier dan pendidikan yang baik, namun jauh di dasar hati mereka tidak bahagia. Kok bisa ya?
Perseteruan Awan dan Ayahnya di Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini.
Dalam teori psikologi, pola pengasuhan pertama kali diungkapkan oleh Baumrind di tahun 1960-an. Baumrind membaginya ke dalam pola asuh otoriter, autoritatif, permisif, dan lalai. Pola asuh autoritatif merupakan pola asuh yang dianggap terbaik, karena mengedepankan arahan orang tua dengan disertai kehangatan keluarga.
Namun, pendapat mengenai pola asuh ini menuai protes, karena pada praktiknya pola asuh itu sendiri sangat dipengaruhi situasi, waktu, usia anak. Ditambah lagi, pengasuhan jaman sekarang melibatkan semakin banyak sosok yang menjadi pengasuh, tidak hanya orang tua, tetapi juga kakek/nenek, daycare, babysitter, dan lainnya yang masing-masing dapat menerapkan gaya pengasuhan sendiri.
ADVERTISEMENT
Metode pengasuhan kekinian pun semakin berkembang menyesuaikan tuntutan dan persaingan yang ada. Salah satunya, metode pengasuhan Helicopter Parenting. Sebagaimana halnya helikopter, orang tua dalam pengasuhan ini sangat mengawasi gerak gerik anak. Orang tua memilih terlibat langsung dengan kehidupan anak, berusaha agar anak tidak sampai merasakan sedih, kecewa, marah, dan mengalami kegagalan. Mereka mencoba membimbing, membujuk, bahkan memaksa anak melakukan sesuatu yang dianggap “terbaik” untuknya.
Helicopter Parenting, ilustrasi google.
Istilah helicopter parenting ini mulai muncul di era ketika baby boomers menjadi orang tua. Pada masa itu, setelah perang dunia, kehidupan membaik dari berbagai aspek. Orang tua (para baby boomers) yang di masa lalu kesulitan tidak ingin anak-anaknya mengalami kejadian serupa. Ekonomi yang berputar membaik, membuat persaingan di dunia kerja pun semakin ketat. Orang tua merasa perlu lebih terlibat dalam mengarahkan anaknya agar bisa bersaing di masa depan.
ADVERTISEMENT
Brooks (2019) mengutarakan perbedaan helicopter parenting dan pola asuh autoritatif. Yang pertama, kasih sayang yang ditunjukkan pada helicopter parenting tidak muncul setiap waktu. Hanya ketika anak dianggap memenuhi tuntutan dan harapan orang tuanya. Akibatnya, anak menjadi fokus pada hasil dan bukan proses. Anak bisa saja berprestasi di sekolah tanpa paham maknanya apa.
Perbedaan selanjutnya, pada helicopter parenting, orang tua terus menganggap anak yang tumbuh dewasa sebagai anak kecil yang perlu dilindungi. Padahal, seiring umur yang bertambah, anak juga berhak untuk memperoleh ruang yang dapat mendewasakan.
Helicopter Parenting tidak kenal usia, sampai dewasa orang tua tetap penuh pengawasan.
Di film NKCTHI misalnya, terlihat ciri-ciri helicopter parenting. Awan yang tidak boleh naik angkutan umum, Awan yang selalu dibantu ketika mengerjakan tugas, bahkan sampai ia dewasa kebiasaan ini terus berlanjut. Orang tua juga berusaha ikut campur bahkan dengan kesempatan karier yang dimiliki oleh Awan.
ADVERTISEMENT
Tidak heran anak dengan pola asuh helicopter parenting kurang mandiri ketika dewasa, walau secara karier terlihat baik-baik saja. Bukan hanya isu kemandirian, dalam jangka panjang akan mempengaruhi faktor psikologis yang terasanya baru ketika dewasa.
Ryan dan Deci (2018), melalui penelitian terbarunya mengungkap tiga kebutuhan psikologis dasar yang mempengaruhi kebahagiaan dan motivasi. Tiga hal tersebut adalah Relatedness (hubungan sosial), Competence (keberhasilan), Autonomy (kemandirian).
Dalam hal competence, pola asuh helikopter menunjukkan keterlibatan orang tua dalam setiap rintangan. Di satu sisi, anak menjadi ambisius dan selalu berusaha memperoleh pengakuan terbaik. Di sisi lain, ia tidak bisa memberikan argumen yang kuat dari ide-idenya karena terbiasa dibantu orang lain. Di film NKCTHI terlihat bahwa Awan menjadi lulusan terbaik di angkatannya, namun tidak menunjukkan performa yang baik ketika memasuki dunia kerja dan bekerja sama dalam tim. Dalam hal ini, faktor competence atau menjadi ahli di bidang yang ia pilih kurang dapat terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam hal autonomy. Ketika dewasa, Awan memiliki hidup yang nyaman namun merasa kosong dalam dirinya. Ia bercerita bahwa kekosongan itu berasal dari setiap aspek di kehidupannya selalu diarahkan oleh orang lain. Meskipun berada di nasib yang “terbaik” saat ini, ia merasa kurang puas karena selama ini tidak pernah diberikan ruang untuk memilih. Terlebih lagi, keterlibatan orang tua membuat anak melihat kesuksesan yang dicapai bukan atas jerih payahnya sendiri.
Kurangnya kesempatan untuk mandiri ini juga memunculkan efek psikologis lain, seperti kecemasan dan takut keluar dari zona nyaman. Awan digambarkan takut mencoba hal-hal baru termasuk yang berkaitan dengan trauma masa lalunya yaitu naik motor.
Adanya gap antara kebutuhan psikologis ini yang nantinya akan memunculkan konflik baik dengan dirinya maupun lingkungan setelah dewasa.
ADVERTISEMENT
Nah, bagaimana jika sudah terlanjur besar dengan pola asuh helicopter parenting seperti Awan? Komunikasi yang terbuka adalah kuncinya. Pada akhirnya Awan pun saling jujur dengan keluarganya. Orang tua pun sadar kalau ekspresi cinta yang diberikan selama ini salah.
Saatnya saling jujur karena #SetiapKeluargaPunyaRahasia
Selanjutnya tinggal merajut kembali rasa percaya dan mengizinkan diri untuk mengalami kegagalan-kegagalan yang mendewasakan. Selamat melangkah, Awan!
(DienNurdini)