Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
BLOOD BRICKS: Perubahan Iklim Menjebak Pekerja Anak di Kamboja dalam Perbudakan
22 Oktober 2022 9:53 WIB
Tulisan dari Dilla Aisyah Damayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebuah survei terhadap 464 tempat pembakaran batu bata oleh Builders and Wood Workers Trade Union Federation of Cambodia (BWTUC) menemukan hampir 4.000 anak tinggal di pabrik pembakaran batu bata, dengan sekitar satu dari enam di antaranya mengatakan mereka bekerja di sana, bahkan angka itu bisa lebih tinggi karena anak-anak sering digunakan sebagai pekerja lepas selama periode tertentu.
ADVERTISEMENT
Sejak 2018, tempat pembakaran batu bata telah menjadi titik fokus permasalahan pekerja anak di Kamboja. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?
Penduduk Kamboja pada dasarnya merupakan masyarakat yang sangat bergantung pada sektor pertanian, namun dalam beberapa tahun terakhir, Kamboja terus menghadapi ancaman kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Penelitian oleh Royal Holloway menunjukkan bahwa keluarga petani di pedesaan berisiko lebih tinggi untuk menjadi pekerja di pabrik pembakaran batu bata. Hal ini dikarenakan tingginya biaya penyewaan peralatan pompa, pembelian bahan bakar, dan pengeboran sumur untuk irigasi setelah kekeringan melanda negaranya, menyebabkan mereka pada akhirnya memilih untuk berutang dan menjadi tenaga kerja yang terikat di sektor batu bata.
Setelah peminjaman pertama ditekan, lingkaran setan di antara kemiskinan, penyakit, dan utang akan terus mengelili mereka. Pemilik pabrik pembakaran batu bata yang menawarkan pinjaman pada mereka, pada akhirnya memanfaatkan utang untuk menjebak mereka dan kerabatnya sebagai asuransi di dalamnya. Anak-anak adalah salah satu dari sekian golongannya.
ADVERTISEMENT
Phnom Penh, ibu kota dari negara Kamboja yang menawarkan segala keindahan ledakan konstruksi dan industri menjadi saksi bisu dari pencapaiannya. Industri di dalamnya bergantung pada tenaga kerja multi-generasi, anak-anak menjadi salah satu korban yang terjebak dalam jeratan utang dari perbudakan modern yang ada. Pada akhirnya, kemegahan yang ada menimbulkan pertanyaan, “Untuk siapa kota itu dibangun jika harus mengorbankan banyak kehidupan lain di dalamnya?”
Masalah ini mendapat daya tarik lebih lanjut ketika seorang gadis berusia 14 tahun bernama Phea Chantheng kehilangan lengannya saat bekerja di tempat pembakaran batu bata. Setelah kecelakaan itu terjadi, dia mengatakan takut untuk melihat tangannya sendiri. Mengutip laporan CNN World, hal ini tidak hanya terjadi pada Chanteng, beberapa kejadian juga terjadi pada mesin yang sama dibeberapa tempat.
ADVERTISEMENT
Selain tindakan amputasi yang harus di hadapi oleh para pekerja akibat mesin cetak batu bata yang tidak dalam kondisi aman. Pekerjaan ini juga berkontribusi besar pada berbagai masalah kesehatan. Salah satu dampak kesehatan serius yang dilaporkan oleh para pekerja adalah penyakit pernapasan yang didorong oleh inhalasi asap pembakaran dan debu batu bata tanpa peralatan pelindung. Berbagai dampak kesehatan dari pembakaran batu bata yang ada pada akhirnya mencegah para pekerja untuk melakukan pekerjaan seperti biasa dan menyebabkan biaya pengobatan tambahan. Alih-alih memberikan kompensasi kepada para pekerja dan keluarganya atas cedera kesehatan yang terjadi di tempat kerja, pemilik pabrik lebih memilih untuk memaksa mereka mengambil utang kembali untuk membayar biaya kesehatan. Pada akhirnya, dampak kesehatan yang terjadi menyebabkan peningkatan utang dan membuat keluarganya harus membayar dengan menjadi pekerja dipembakaran batu bata setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana pelunasan utang berjalan? Pada intinya, makin produktif Anda, makin banyak batu bata yang dapat Anda cetak dan pindahkan, makin banyak Anda akan dibayar. Karenanya, banyak keluarga yang pada akhirnya mengorbankan anak-anak mereka untuk melunasi utang lebih cepat. Yim Chanty merupakan salah satu contoh korban dari lingkaran ini, dia berusia 13 tahun ketika dia mulai bekerja dengan orang tuanya untuk melunasi utang kepada pemilik pabrik. Chanty mengatakan bahwa setiap keluarga memiliki setidaknya 2 sampai 3 anak untuk membantu mereka ketika cukup besar. Semua anak membantu keluarga mereka tanpa dibayar.
Thomson Reuters Foundation melakukan penyelidikan berkaitan pekerja anak di tempat pembakaran batu bata di Kamboja pada tahun 2020. Yayasan ini memaparkan fakta bahwa anak-anak tersebar luas bekerja di tempat pembakaran batu bata diseluruh negeri. Ketika pemilik pabrik mengizinkan seseorang untuk masuk dan melihat kondisi di dalamnya, Sebagian besar anak-anak menjatuhkan alat kerjanya, dan tampak sadar bahwa seharusnya mereka tidak bekerja. Beberapa di antara mereka mengatakan bahwa usia mereka 18 tahun (usia yang diperbolehkan untuk bekerja), di mana tampaknya dia berusia tidak lebih dari 14 tahun.
ADVERTISEMENT
Apa yang telah Pemerintah Kamboja coba upayakan dalam hal ini? Salah satu upaya besar yang coba dilakukan adalah peluncuran kampanye untuk mengakhiri pekerja anak di industri batu bata pada tahun 2020. Kampanye ini telah dimulai pada 26 Agustus oleh direktur Departemen Pekerja Anak Kementerian Tenaga Kerja, Veng Heang. Di dalamnya terdapat seruan bahwa pemerintah akan mendenda pabrik dan mengeluarkan arahan yang melarang anak-anak dari cakupan produksi pembakaran batu bata.
Meskipun dalam prosesnya banyak pengamat yang meragukan bahwa tujuan dari kampanye ini akan berhasil. Lebih lanjut, terdapat banyak faktor yang pada akhirnya tidak menghasilkan perubahan nyata jangka Panjang.
Dr. Nithya Natarasan, seorang dosen pembangunan internasional di King’s College London dalam bukunya yang berjudul “Blood Bricks” mengatakan bahwa terdapat beberapa rekomendasi yang mungkin dapat dilakukan untuk mengakhiri ikatan ini, yaitu dengan meningkatkan perlindungan sosial, mengatur keuangan mikro, dan menegakkan undang-undang ketenagakerjaan dan perdagangan manusia. Selain itu, diperlukan adanya perubahan struktur upah, serta bagaimana utang di lunasi dan bagaimana pekerja dapat membayarnya. Pemilik pabrik pembakaran batu bata juga tidak seharusnya mengambil dua peran, sebagai majikan dan juga sebagai pemberi pinjaman, karenanya harus ada pemisahan di antara keduanya.
ADVERTISEMENT